Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Military Industrial Complex: Pengaruh Investor Terbesar AS Pada Konflik Global
11 Maret 2025 9:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Khanza Satria Wili Eka Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di balik banyaknya konflik dan intervensi yang melibatkan Amerika Serikat, terdapat kekuatan tak terlihat yang tidak hanya mendorong, tetapi juga mengambil keuntungan dari perang—Kompleks Industri Militer (Military-Industrial Complex/MIC). MIC adalah jaringan erat antara militer dan perusahaan pertahanan AS seperti Lockheed Martin, Raytheon, dan lainnya—bukan sekadar penyedia alat perang, tetapi juga investor besar yang memastikan keuntungan dengan mengendalikan kebijakan luar negeri AS. Dengan pengaruh politik yang luas, MIC telah menjadi kekuatan tersendiri dalam menentukan arah diplomasi dan intervensi global.
ADVERTISEMENT
MIC tidak hanya bereaksi terhadap perang—mereka menciptakan kondisi agar perang terjadi. Mereka melobi Kongres untuk menaikkan anggaran pertahanan, mendanai politisi yang pro-militer, dan menciptakan narasi ancaman agar intervensi AS tampak diperlukan. Dari invasi Irak 2003 yang didasarkan pada kebohongan senjata pemusnah massal (WMD) hingga eskalasi Perang Vietnam dan War on Terror, MIC terus mendulang keuntungan dari konflik global dengan memastikan permintaan senjata dan alutsista tetap tinggi melewati kontrak-kontrak mahal dari pemerintahan.
Asal-usul MIC dapat ditarik kembali ke akhir Perang Dunia II, ketika kekuatan militer AS berada di puncaknya dengan kapasitas industri yang luar biasa dalam memproduksi senjata. Pemerintah AS saat itu bekerja sama erat dengan perusahaan swasta untuk memenuhi kebutuhan perang, yang pada akhirnya menanam benih hubungan erat antara sektor pertahanan dan industri swasta. Saat Perang Dingin dimulai, AS membentuk Departemen Pertahanan dan membentuk NATO untuk melawan kekuatan Uni Soviet, yang menjustifikasi peningkatan produksi senjata. Hal ini memperkuat cengkraman MIC dalam kebijakan luar negeri AS. Para pelobi MIC, kontraktor pertahanan, hingga elite politik memastikan bahwa belanja militer AS terus meningkat, bahkan di masa tanpa perang terbuka. Hasilnya? Intervensi terus terjadi, dan konflik menjadi bisnis yang tak pernah mati bagi MIC.
ADVERTISEMENT
Runtuhnya Blok Timur setelah bubarnya Uni Soviet tidak serta-merta menghentikan dominasi MIC. Justifikasi keberadaannya terus berlanjut, terbukti dari intervensi militer AS yang tetap masif bahkan setelah Perang Dingin berakhir. Dari invasi Panama (1989), Perang Teluk di Irak (1991), intervensi di Somalia (1992), hingga keterlibatan AS dalam konflik Bosnia (1995), MIC seakan-akan masih dibutuhkan demi mempersenjatai kebijakan intervensionis AS.
Memasuki abad ke-21, serangan 9/11 menjadi alasan bagi AS untuk meluncurkan War on Terror pada 2001, memperluas operasi militernya di Timur Tengah. Salah satu contoh terbesar manipulasi publik demi kepentingan intervensi adalah invasi Irak 2003, yang dibangun di atas klaim senjata pemusnah massal yang tidak pernah terbukti. Walau banyak kasus dimana intervensi-intervensi ini terlihat sia-sia pada akhirnya, AS tetap menjadi negara dengan belanja militer terbesar di dunia, dengan MIC yang selalu diuntungkan dari setiap konflik yang terjadi. Dikutip dari www.armed-services.senate.gov, keseluruhan anggaran pertahanan AS pada 2024 mencapai $841,4 miliar.
Contoh nyata dari kuatnya MIC adalah perancangan dan penyelesaian program pesawat tempur jet F-35 Lightning II yang mencapai $1,7 triliun, walau mahal dan dikelilingi kontroversi, Departemen Pertahanan tetap dengan penuh kesadaran mendanai program ini tentu dengan lobi dari Lockheed Martin. Dilansir dari AP News, Lockheed Martin menyebarkan produksi pesawat F-35 di 45 negara bagian AS, dan ini mempengaruhi banyak politisi untuk tetap mendukung program F-35 demi prospek lowongan kerja dengan sebanyak 127,000 pekerja yang terikat dengan program ini pada 2010. Penjualan pesawat F-35 ke sekutu-sekutu AS dengan alasan keamanan juga merupakan suatu keuntungan bagi Lockheed Martin dan MIC secara keseluruhan, sama kasusnya dengan penjualan sistem persenjataan AS ke banyak negara di dunia.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak dalam Senat dan Kongres AS menyetujui kontrak-kontrak mahal yang menguntungkan MIC karena think tank yang didanai oleh perusahaan pertahanan swasta memainkan peran besar dalam membentuk persepsi kebutuhan belanja militer. Think tank seperti Center for a New American Security (CNAS), American Enterprise Institute (AEI), dan Atlantic Council sering kali menerbitkan laporan yang menekankan pentingnya kehadiran militer AS di berbagai konflik global. Dilansir dari Common Dreams, AS semakin dalam terlibat dalam perang Rusia-Ukraina karena lembaga think tank ini mendorong narasi bahwa kekalahan Rusia merupakan kepentingan nasional AS.
Dukungan tanpa batas untuk Ukraina, termasuk paket bantuan militer bernilai miliaran dolar, terus dikukuhkan melalui pengaruh kelompok-kelompok ini yang memiliki hubungan erat dengan Pentagon dan kontraktor pertahanan besar seperti Lockheed Martin dan Raytheon yang membuat persenjataan yang dikirim ke Ukraina. Bantuan militer untuk negara-negara berperang seperti Ukraina dan Israel walau merugikan publik AS, tetap menjadi prioritas utama politisi karena lobi-lobi yang terjadi dan dibenarkan oleh think tank.
ADVERTISEMENT
“Militer yang kuat memastikan perdamaian melalui pencegahan” – Laporan CNAS mengenai Tiongkok (2022).
Di sisi lain, pendukung MIC berargumen bahwa belanja militer AS merupakan keperluan demi menjaga keamanan stabilitas global dan untuk menekan kekuatan agresif seperti Rusia dan China, namun data menunjukkan intervensi AS seringkali hanya merusak dan mengacaukan seperti kenaikan ISIS di Suriah dan Irak pada 2013, dan meningkatnya dukungan Taliban di Afghanistan akibat keberadaan pasukan AS di wilayah-wilayah tersebut.
Selalu adanya ancaman juga merupakan strategi MIC untuk memastikan anggaran militer terus meningkat. Narasi ancaman ini berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan zaman—dari Komunisme, Terorisme, hingga kini persaingan militer dengan Tiongkok. Relevansi MIC juga diperkuat melalui budaya pop AS yang semakin militeristik.
Film seperti Transformers secara langsung menggunakan peralatan militer nyata, sementara permainan komputer seperti Call of Duty sering kali bekerja sama dengan Pentagon untuk memastikan akurasi peralatan dan taktik perang. Namun, hal ini tidak lepas dari kontroversi. Seperti di Call of Duty: Modern Warfare 2019, musuh dalam game digambarkan melakukan kejahatan perang yang sebenarnya dilakukan oleh AS di dunia nyata—sebuah narasi yang membantu membenarkan intervensi militer AS di berbagai konflik. Pentagon, sebagai pusat perencanaan kebijakan militer, memiliki banyak petinggi yang sebelumnya merupakan kontraktor MIC, menciptakan hubungan erat antara militer, industri senjata, dan media.
ADVERTISEMENT
Maka jelas MIC merupakan suatu entitas dengan kekuatan politik yang mempengaruhi jalannya kebijakan luar negeri AS, dan seluruh operasi yang mereka lakukan untuk kepentingan sendiri. Secara langsung dan tidak langsung, banyaknya perang yang terjadi merupakan ulah dari MIC yang mengabadikan perang sebagai sumber utama bisnis mereka. Selama MIC tetap berkuasa, perang bukanlah kebetulan–perang adalah industri.