Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Rumah Angker
2 Oktober 2022 11:41 WIB
Tulisan dari Eko Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber gambar free dari https://id.depositphotos.com/](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01ge5w8hv7hn8z0vbbxq9v1hgz.jpg)
ADVERTISEMENT
Kejadian ini pernah dialami oleh temanku sebut saja namanya Budi, karena ia tak ingin identitasnya dimunculkan. Peristiwanya sudah lama berlalu, tepatnya ketika dia dan keluarganya menempati sebuah rumah tua di kota Surabaya. Tapi bila mengingatnya, dia kerap merasa ngeri. Meski sekarang dia sudah tidak menempati rumah itu lagi, karena merasa trauma dan tak ingin kembali terulang, tapi sosok rumah angker itu masih sering terbayang-bayang di benaknya. Berikut penuturannya kepada penulis dengan gaya bahasa aku.
ADVERTISEMENT
Waktu itu aku sedang mencari rumah baru untuk keluargaku. Setelah cari informasi sana-sini, akhirnya aku mendapatkan sebuah rumah tua bergaya arsitektur lama dengan harga cukup murah. Lokasinya berada di daerah pinggiran kota. Cukup jauh dari tempat kerjaku. Tapi lumayan dari pada harus sewa rumah di tengah kota yang harganya makin melangit. Toh, yang terpenting ada tempat berteduh buat istri dan kedua anakku yang masih kecil.
Konon, rumah itu peninggalan zaman penjajahan Belanda. Model bangunannya yang besar dan tinggi, dengan ciri khas daun pintu dan jendela berventilasi ukuran besar memakai kusen kayu jati. Meski sudah tua, tapi rumah itu masih terawat baik. Dinding temboknya tidak ada yang cuil atau bolong. Semua masih tampak halus seperti baru. Ruang depan, ruang keluarga, ruang tidur, dapur, dan beranda, semua tampak rapi dan bersih. Ada halamannya juga!
ADVERTISEMENT
“Tapi rumah ini terkesan angker!” komentar istriku saat pertama kali melihatnya.
Memang, rumah itu persis seperti setting rumah yang biasa ditampilkan di film-film horor. Kuno, besar, kelabu, dan jauh dari pemukiman!
Hari-hari pertama menempati rumah baru tak ada kejadian berarti. Semua berjalan biasa dan normal. Istriku menjalankan aktivitas sebagaimana ibu rumah tangga pada umumnya. Memasak, mencuci, mengurus anak-anak, belanja ke pasar, dan beres-beres rumah. Sementara aku bekerja di kantor. Jarak kantorku dengan rumah lumayan jauh, tapi bisa kutempuh dengan mobil dalam tempo tak lebih dari setengah jam.
“Mas, cepat pulang! Ada kejadian…!” Suara istriku lewat telepon dengan nada gugup pada siang itu membuatku kaget dan cemas. Aku bergegas pulang. Sesampai di rumah aku mendapati istriku sedang duduk di beranda sambil memeluk anak-anak. Wajah istriku pucat, tangannya erat memegang Reza dan Nita, seolah tak ingin dilepaskan lagi.
ADVERTISEMENT
“Ada apa, Mi?” cetusku penuh tanda tanya.
“Anak kita, Mas. Nita sepertinya telah melihat penampakan… tadi di kamar dia bicara sendiri… tertawa sendiri… dan matanya menatap dinding, seperti ada seseorang di sana!” jawab Rahmi dengan suara terbata-bata.
Aku tertegun. Tak percaya mendengarnya.
“Tadi Reza juga begitu, Mas. Ketika pulang dari sekolah dan bermain di halaman belakang, dia ditemui sosok tinggi seram. Dia menjerit ketakutan dan lari ke dalam rumah. Dia tidak mau lagi bermain di halaman belakang. Aku takut, Mas. Sepertinya rumah ini ada hantunya!”
Itulah awal kekacauan di rumah baru kami. Anak-anak seolah telah melihat hantu. Istriku takut terjadi sesuatu pada keluarganya. Dia lalu mengajak pindah. Aku mencoba menenangkan. Aku tidak percaya di rumah ini ada hantu. Aku tak percaya hantu itu ada. Apa yang terjadi pada putra-putri kami tak lepas dari proses perkembangan anak usia dini. Anak-anak seusia mereka kerap memperlihatkan perilaku aneh. Mereka suka berkhayal dan berimajinasi.
ADVERTISEMENT
Aku meyakinkan istriku bahwa sebagai orang beragama tak boleh percaya pada hal-hal semacam itu. Aku meminta dia tenang dan jangan paranoid. Rahmi akhirnya mau menuruti nasehatku. Kami tak jadi pindah. Tapi sepertinya kejadian itu masih mempengaruhi pikirannya. Kini, dia jadi lebih penakut. Dia tidak berani berlama-lama berada di dalam rumah, kecuali ada yang menemani. Bahkan tengah malam, dia membangunkanku hanya untuk minta diantar pipis ke toilet!
Namun ada satu lagi sikap paranoid Rahmi yang bikin aku keki. Saat kami sedang bercumbu di kamar, tiba-tiba istriku menginterupsi di tengah acara.
“Ssst, sebentar, Mas!”
“Ada apa?”
“Aku merasa ada yang mengintip…?”
“Ada yang mengintip? Mana?” Aku celingukan ke sekitar. Tapi kulihat semua aman-aman saja. Pintu dan jendela sudah terkunci. Langit-langit kamar tertutup rapat. Tidak ada satu celah lubang pun pada dinding kamar kami.
ADVERTISEMENT
“Mana? Tidak ada orang!”
“Tapi aku merasa ada sesuatu pada dinding kamar ini!” yakinnya.
“Sesuatu apa?”
“Aku seperti melihat ada mata pada dinding itu!”
Aku nyengir kecut. Bisa-bisanya istriku beranggapan pada dinding kamar ada mata yang melihat. Acara intim kami jadi terganggu. Aku merasa tidak enjoy. Gairah yang tadinya menyala-nyala padam seketika. Aku jadi jengkel dibuatnya!
Sikap istriku yang menganggap ada ‘sesuatu’ pada rumah kami tak bisa kubiarkan. Sikapnya itu bisa mempengaruhi anak-anak, lebih-lebih mengganggu hubungan kami sebagai suami istri. Aku lalu mengajaknya periksa ke psikiater. Tadinya dia menolak. Dia marah karena seolah aku menganggapnya gila. Tapi aku meyakinkannya bahwa pemeriksaan di psikiater bukan berarti dia sakit jiwa. Ini hanya untuk mengetahui apakah ada sesuatu pada dirinya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya istriku menurut. Kami pergi ke seorang psikiater. Hasil analisa psikiater, istriku baik-baik saja. Secara fisik dan kejiwaan dia tidak bermasalah. Dia mungkin menghadapi sedikit masalah dengan suasana di rumah baru. Mungkin dia merasa kesepian, karena tidak ada teman bicara. Sementara anak-anak masih kecil. Rumah besar dan tua juga membawa persepsi tersendiri baginya, yang kemudian dihubungkan dengan kesan angker dan seram.
Sebagai solusinya istriku dianjurkan banyak bersosialisasi dengan tetangga dan melakukan kegiatan yang bisa mengalihkan pikirannya dari takhayul. Jangan menonton film horor atau membaca buku-buku misteri. Aku pun disarankan sering menelepon istri di rumah biar dia tidak merasa sendirian saat ditinggal ke kantor. Semua nasehat dari psikiater kami coba terapkan. Aku juga menyewa pembantu dari kampung agar bantu-bantu di rumah sekalian menemani istriku.
ADVERTISEMENT
Sepertinya masalah telah selesai, karena sejak itu aku tak pernah mendengar keluhan apa-apa dari istriku. Dia tidak berpikir paranoid lagi. Dia mulai bisa beradaptasi dengan rumah baru kami. Dia sudah tidak takut lagi. Dia bahkan meminta aku jangan lagi sering menelepon ke rumah. Dia tak mau mengganggu pekerjaanku di kantor.
“Beneran, kamu baik-baik saja?” Aku masih menyangsikannya.
“Bener, Mas. Aku baik-baik saja. Sekarang aku sudah punya temen ngobrol di rumah. Anak-anak juga punya teman bermain. Mereka lucu-lucu…”
“Ya, sudah kalau begitu. Aku senang mendengarnya.”
“Kayaknya aku tak perlu lagi tenaga bik Minah untuk menemaniku, karena sekarang aku sudah tidak takut lagi berada di rumah.”
“Bik Minah tak usah dipecat. Biar dia bantu kamu mencuci atau memasak. Biar kamu tidak kecapekan.”
ADVERTISEMENT
“Tidak usah, Mas. Aku bisa mengerjakan semuanya sendiri, kok.”
“Ya, sudah. Terserah kamu!”
Aku menutup telepon dengan perasaan lega.
Apa yang dikatakan istriku benar adanya. Ketika aku pulang dari kantor, aku tak mendapati lagi ekspresi ketakutan pada wajah istriku. Bahkan kini dia tampak lebih sumringah dan ceria. Bik Minah sudah dipulangkan ke kampung. Istriku mengerjakan sendiri semua tugas rumah tangga. Aku sebenarnya masih belum yakin, tapi Rahmi tampak serius. Buktinya, semua pekerjaan di rumah beres. Rumah terlihat rapi dan bersih.
Hanya saja aku merasa sedikit ada yang aneh. Begitu cepatnya perubahan terjadi pada istri dan anak-anakku. Belum lama mereka dicekam ketakutan, tapi sekarang tidak. Mereka juga tidak mau pindah. Mereka betah tinggal di sini. Mungkin ini berkat teman-teman baru mereka. Benar kata psikiater, istri dan anak-anakku hanya butuh bersosialisasi untuk mengatasi masalah mereka. Dengan memiliki teman, mereka tidak akan merasa sendiri, kesepian, dan terasing.
ADVERTISEMENT
Aku jadi pengen berkenalan dengan teman-teman baru istri dan anak-anakku. Setidaknya aku ingin mengucapkan terima kasih karena mereka telah membantu mengatasi masalah yang dihadapi keluarga kami.
“Nanti suatu saat aku akan perkenalkan mas dengan mereka,” kata Rahmi seperti bisa membaca pikiranku.
“Apakah mereka warga sini?” tanyaku ingin tahu.
“Ya! Mereka tinggal tak jauh dari kita!”
Aku jadi penasaran ingin bertemu mereka. Setiap hari dari pagi hingga malam, waktuku habis di kantor. Aku hanya punya kesempatan berada di rumah sehari penuh pada hari Sabtu dan Minggu, itu pun bila tak ada undangan keluar. Jadi aku hanya bisa menunggu akhir pekan tiba!
Tengah malam aku terjaga. Aku kaget karena tak mendapati Rahmi di sampingku. Dengan mata setengah mengantuk aku turun dari ranjang dan berjalan keluar. Aku mencari istriku di toilet, tapi di sana tidak ada. Aku kemudian menuju ke dapur. Sesampai di depan pintu dapur aku seperti mendengar ada suara orang bercakap-cakap di dalam. Itu seperti suara istriku. Dengan siapa dia bicara? Penasaran, aku segera membuka pintu. Aku kaget karena hanya mendapati istriku sendirian saja duduk di bangku!
ADVERTISEMENT
“Dengan siapa kamu tadi bicara?” tanyaku menyelidik.
“Dengan teman, Mas. Namanya nyonya Sarah. Dia tadi ke sini hendak meminjam beras dan panci,” jawab Rahmi kalem.
“Tengah malam begini…?”
“Ya! Malam ini ada acara di rumahnya!”
“Lalu, di mana dia sekarang?”
“Sudah pergi! Katanya dia malu bertemu dengan kamu, Mas!”
Aku tercenung. Tak percaya. Begitu cepatnya orang itu pergi. Sungguh mustahil dan aneh. Jangan-jangan… ah, aku tak mau meneruskan dugaanku. Aku tak mau ikut-ikutan paranoid. Aku segera mengajak istriku kembali ke kamar.
Keanehan itu tidak hanya kudapati pada istriku, tapi juga pada anak-anak. Sesudah mengantar istriku kembali ke kamar, aku keluar lagi untuk menengok anak-anak. Tapi baru sampai di depan pintu kamar mereka, aku mendengar suara riuh di dalam kamar. Suara tawa cekikikan anak-anak kecil. Dari celah bawah pintu terbias cahaya lampu keluar. Ya, ampun! Tengah malam begini anak-anak masih pada bermain, gerutuku dalam hati.
ADVERTISEMENT
Tapi ketika pintu kubuka, suara tawa cekikikan itu langsung lenyap. Hanya tinggal keheningan. Kulihat Reza dan Nita terlelap di atas ranjang. Astaga! Lalu siapa tadi yang tertawa cekikikan? Di sini tidak ada anak-anak lain. Jangan-jangan… ah, aku kembali menepis pikiranku yang ngelantur. Mungkin tadi aku hanya salah dengar. Aku bergegas kembali ke kamar. Berangkat tidur dan mencoba melupakan semua kejadian tadi.
Pagi harinya aku bangun dengan kepala agak pusing, karena semalaman tak bisa memejamkan mata. Aku berangkat ke kantor dengan perasaan sedikit malas. Aku menyetir mobil perlahan menyusuri jalan kampung. Di tengah jalan aku berpapasan dengan seorang bapak paro baya. Tiba-tiba muncul ide untuk bertanya padanya. Aku segera menghentikan mobil, turun, dan menghampirinya.
ADVERTISEMENT
“Sarah? Di sini tidak ada yang namanya Sarah, Pak. Ada juga Maesaroh atau Saodah,” jawabnya saat kutanya tentang wanita bernama Sarah.
“Tapi baru tadi malam istri saya bertemu dengannya…?”
“O, bapak ini yang tinggal di rumah loji itu, ya? Wah, tidak usah heran, Pak. Siapa pun yang tinggal di rumah itu pasti akan bertemu dengan makhluk dari dunia lain. Tapi tidak usah takut, Pak. Mereka baik-baik. Selama tidak diganggu mereka tidak akan berbuat macam-macam. Mereka justru bisa dijadikan teman!”
Aku tercengang. Seperti tak percaya mendengar keterangan orang itu. Aku segera masuk ke dalam mobil. Memutar haluan, tak jadi ke kantor tapi pulang ke rumah. Aku sengaja menghentikan mobil di depan pintu pagar. Dari kejauhan aku mengawasi aktivitas istri dan anak-anakku. Dari balik jendela rumah aku bisa melihat istriku sedang duduk di sofa ruang tengah. Dia seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang, tapi tak kulihat ada siapa pun di dekatnya.
ADVERTISEMENT
Begitu pun anak-anak sedang bermain di halaman. Reza asyik mengejar bola sambil berteriak-teriak memanggil nama anak-anak lain yang tidak terlihat, sementara Nita bermain ayunan sambil bercakap-cakap dengan papan ayunan di sebelahnya yang juga bergerak sendiri. Seakan-akan ada anak lain duduk di papan ayunan itu. Kepalaku mendadak jadi pusing di buatnya. Ya, Tuhan. Apakah ini nyata atau khayalan? Jangan-jangan, aku yang sebenarnya paranoid!
Begitulah sekelumit kisah yang pernah dialami Budi. (*)