Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pingsan Tapi Gengsi, Motivasi, dan Gamifikasi
5 Mei 2022 11:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Eko Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sore jam 17.00. Dua hari sebelum Idul Fitri. Saya mulai mengayuh sepeda. Menuju rumah Papah di Bukit Dago Utara, Bandung. Ambil rute terdekat: Bojong koneng – Cihalarang – Dago Resot – Bukit Dago. Jaraknya hanya sekitar 8 km. Dengan pemandangan bukit yang indah. Butuh 20-25 menit dengan mobil. Sepertinya hanya butuh 60 menit kalau naik sepeda. Pikir saya sore itu. Percaya diri. Atau lupa diri. Lupa sedang berpuasa. Lupa sudah sebulan tidak bersepeda. Juga lupa setidaknya ada 5 tanjakan cinta. Yang bikin pesepeda amatir seperti saya menuntun sepedanya. Mesra penuh cinta.
ADVERTISEMENT
Selepas tanjakan pertama, kaki sudah tidak kuat. Napas terengah. Mata mulai berkunang-kunang. Detak jantung lebih kencang dari biasanya. Berenti. Turun dari sepeda. Duduk di sepetak tanah pinggir jalan. Bersandar ke pagar bambu. Gak karuan rasanya. Mau pingsan. Tapi gengsi.
Butuh waktu sampai akhirnya mulai bisa berdiri lagi. Keinginan untuk bisa buka puasa dengan teh manis hangat dan gorengan, jadi motivasi. Untuk berdiri, untuk lanjut lagi.
Motivasi ini sesuatu yang menarik. Diyakini sebagai penggerak perilaku kita. Banyak yang coba memahami bagaimana sebenarnya motivasi ini mempengaruhi kita. Juga waktu kita bicara gamifikasi. Yaitu ketika kita coba memotivasi peserta melakukan suatu aksi (baik), dengan memanfaatkan konsep game, di luar game itu sendiri.
Ada banyak teori soal motivasi. Maslow’s Theory of Hierarchical Needs, Hertzberg’s two-factor Theory, McClelland’s Theory of Needs, Alderfer’s ERG Theory, juga beberapa teori lainnya (link referensi ). Setiap teori coba memberikan sudut pandang, bagaimana sebenarnya motivasi ini mungkin mempengaruhi kita. Penting ketika kita berusaha mengoptimalkan potensi diri dalam belajar juga bekerja. Karenanya banyak dibahas dalam konteks pendidikan juga bisnis. Makin menarik ketika kita bicara pendidikan di lingkungan bisnis atau korporasi. Di sana juga gamifikasi jadi tren masa kini.
ADVERTISEMENT
Tahun 2007 lalu. BJ Fogg, seorang behavior scientist di Stanford University, memperkenalkan Fogg Behavior Model.
Yang mengambarkan bahwa sebuah perilaku (behavior) terjadi ketika motivasi (motivation), kemampuan (ability), dan pemicu yang tepat (prompt) hadir pada satu waktu.
Model ini memberikan sudut pandang menarik.
Misal kita kebetulan menjadi Vice Presiden of Human Resources. Atau head of Corporate University. Atau kepala pusdikat. Ingin semua karyawan belajar dengan semangat. Sepenuh hati. Bukan basa-basi. Harus sadar, ini bukan cuma soal memotivasi karyawan. Tapi juga soal memahami kemampuan belajar karyawan. Juga pemicu apa yang bisa dihadirkan sesuai peraturan perusahaan. Lalu coba mengkombinasikan semuanya untuk mendorong perilaku tertentu.
Kombinasi seperti apa yang optimal? tidak ada rumus bakunya. Harus dicoba, dirasa, diperbaiki. Karena itu prosesnyas sebaiknya bertahap. Untuk kemudian bisa diiterasi, disesuaikan, dan dioptimalkan. Bukan SKS (sistem kebut sebulan).
ADVERTISEMENT
Konsep gamifikasi yang baik bisa menghadirkan motivasi tertentu. Juga bisa jadi pemicu. Tapi perilaku apa yang mungkin bisa dihadirkan harus disesuaikan dengan kemampuan target peserta. Jadi gamifikasi bukan soal membuat aplikasi ajaib. Untuk mendorong orang melakukan yang kita harapkan. Apa saja. Dalam sekejap mata.
Gamifikasi adalah soal coba menghadirkan motivasi yang memadai. Soal menghadirkan pemicu yang mumpuni. Untuk itu butuh pemahaman. Soal target peserta. Soal kemampuannya. Soal apa pemicu yang tepat. Juga soal apa yang mungkin memotivasi mereka. Untuk ini semua, menyusun konsep gamifikasi perlu keterlibatan penuh mereka yang punya empati. Yang mau peduli. Bukan sekedar implementasi demi memenuhi KPI.
Sore itu suara adzan sudah terdengar ketika saya baru tiba di SDN Ciburial 01. Baru setengah perjalanan. Berhenti untuk ikut berbuka puasa. Di warung kecil sederhana. Kebetulan ada uang 5 ribu di saku. Cukup untuk sekedar beli teh manis. Tidak disangka, malah disuguhi segala rupa. Gorengan. Pisang. Kue. Juga nasi. Di tambah obrolan hangat nenek dan kakek pemilik warung. Semua jadi rejeki yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Mungkin motivasi, kemampuan, dan pemicu yang hadir di satu waktu memang bisa mendorong kita melakukan sesuatu. Tapi soal rejeki – sepertinya akan selalu jadi misteri
-----
Selamat Idul Fitri. Semoga segala kegembiraan dan kebahagiaan Idul Fitri, menjadi motivasi, menjadi pemicu, untuk kita terus meningkatkan kemampuan belajar kita bersama. Belajar menghadirkan segala perilaku baik untuk bawa perubahan baik - di sekitar kita.
Artikel ini sebelumnya dipublikasikan di ekonugroho.id