Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Resep Mudik Bahagia: Lihat Sebagai Game
30 April 2022 9:36 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Eko Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Satu ketika saya pernah masuk kereta lewat jendela. Badan saya di angkat Bapak. Kepala masuk duluan. Lalu tangan saya ditarik orang agar masuk ke kereta. Nangis merangung-rangung. Antara takut dan bingung.
ADVERTISEMENT
Selama perjalanan saya dan bapak dapat kabin istimewa. Di toilet kereta. Saking penuhnya. Itu salah satu kenangan saya tentang mudik. Waktu jaman kereta masih tidak terbatas jumlah penumpangnya. Juga waktu atap kereta masih berfungsi sebagai kabin ke-dua. Pastinya saya masih kecil. Ukuran dan berat badan masih layak masuk jendela.
Mudik kabarnya dari kata “menuju udik”. Sebagian bilang dari kata “mulih dhisik”. Yang artinya sama, pulang ke rumah orang tua. Sebentar. Sesuatu yang sepertinya sangat penting, sakral, dibutuhkan oleh banyak orang. Terlepas sulit danpenuh tantangan, seperti yang diceritakan di berbagai cerpen Umar Kayam. Karenanya setelah 2 tahun dilarang mudik, tahun ini banyak yang sangat semangat. Kabarnya sekitar 85 juta orang akan mudik (sumber: katadata).
ADVERTISEMENT
Bayangkan kita harus menyiapkan game untuk dimainkan 85 juta orang. Menantang pastinya. Apalagi kalau yang bermain kadang lupa kalau kita memainkan ini semua bersama.
Saya mendefinisikan game sebagai segala aktivitas (atau medium) yang menghadirkan peran (roles), peraturan (rules), dan perolehan (results). Untuk mendorong semua yang terlibat menjadi lebih baik.
Mudik menghadirkan peran. Mengingatkan lebih tepatnya. Peran kita sebagai anak, keluarga, manusia yang perlu pulang ke “rumah”. Untuk memenuhi kebutuhan spiritual, sosial, dan budaya. Untuk berbakti. Untuk berbagi. Walau cuma satu tahun sekali. Saking jarangnya, mungkin juga ada yang lupa. Lupa perannya. Lupa objektif pulangnya. Mudik akhirnya cuma basi-basi.
Mudik menghadirkan banyak peraturan. Dari mulai urusan THR. Harga tiket. Ganjil genap. Contra Flow. Rest area 30 menit (mungkin dengan pertimbangan 29 menit buat cari parkir dan 1 menit pipis). Cuti bersama. Plus segala aturan lainnya. Yang dibuat khusus untuk Mudik. Semua peraturan memaksa kita yang mudik untuk berstrategi. Bersiap. Berusaha menghindari macet. Memastikan anak-anak sehat, tidak rewel di perjalanan. Juga agar THR masih bersisa untuk dibagi. Untuk yang muda juga berstrategi menjawab pertanyaan soal kapan lulus? kapan menikah? Untuk saya: kapan kurus?
ADVERTISEMENT
Mudik menghadirkan perolehan. Hasil. Bisa bertemu orang tua, keluarga. Bisa berbagi cerita sukses. Bisa berbagi bahagia. Dalam keadaan rapih, cantik, ganteng. Tidak terlihat kucel karena terjebak macet. Hasil yang ideal. Harapan. Seperti yang digambarkan banyak iklan. Untuk mereka yang merayakan kemenangan. Antara harapan dan kenyataan, bisa berbeda tentunya.
Dengan semua peran, peraturan, dan perolehan di atas, mudik adalah sebuah game. Yang pada dasarnya mendorong kita menjadi lebih baik.
Ketika kita melihat mudik sebagai game, kita sadar untuk menang perlu strategi. Perlu persiapan matang. Perlu paham aturan. Perlu belajar dari mudik sebelumnya. Apalagi tahun ini kita memainkannya bersama 80 juta pemain lainnya. Kalau tidak dipersiapkan, ya harus siap dengan segala konsekuensi.
ADVERTISEMENT
Ketika kita melihat mudik sebagai game, kita tahu akan ada pemain yang baik dan ada pemain yang egois. Tidak perlu kesal berlebih. Apalagi jadi ikutan egois. Melanggar segala aturan. Ingin menang sendiri.
Ketika kita melihat mudik sebagai game, kita akan lebih mudah menghargai pemerintah. Yang coba mendesain mudik. Yang coba menyediakan segala aturan, fasilitas, infrastruktur, dan petugas. Untuk memastikan kita bisa bermain dengan baik, aman, dan (semoga) gembira. Seperti halnya game designer yang cuma mendesain game setahun sekali – seperti saya, gamenya pasti banyak bug-nya. Tidak akan sempurna tentunya. Yang pasti tidak akan bisa memuaskan 80 juta pemain yang terlibat.
Ketika kita melihat mudik sebagai game, kita sadar ada yang jadi pemain ada yang jadi suporter. Yang mudik jadi pemain. Yang menunggu dikunjungi, yang belum bisa mudik, jadi suporter. Kedua peran saling melengkapi. Ketika suporter terlalu banyak menuntut, bikin pemain lebih mudah stress. Begitu juga sebaliknya. Tapi ketika keduanya saling menghargai, menghormati, juga mendoakan, mudik akan semakin berarti. Lebih mudah dinikmati.
ADVERTISEMENT
Ketika kita melihat mudik sebagai game, mungkin kita akan lebih mudah mempersiapkannya dengan baik. Lebih mudah menikmati perjalannya. Lebih mudah bersyukur. Lebih mudah merasa bahagia. Apapun peran kita. Apapun keadaannya. Jika hal ini bisa dibiasakan, ditunjukkan, dan diturunkan – mungkin baik. Agar satu hari mudik bukan lagi sekedar pulang sebentar, tapi pulang untuk lebih baik. Pulang bahagia.
sumber gambar: wikipedia.
Artikel ini sebelumnya dipublikasikan di ekonugroho.id