Nasionalisme dan Agama: Anda harus memilih salah satu, tidak bisa keduanya

Eko Suprapto Wibowo
CEO dan Founder di Remote Worker Indonesia Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi dan Keuangan UII Jogjakarta Alumni Ilmu Komputer UGM Jogjakarta
Konten dari Pengguna
7 Januari 2017 10:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eko Suprapto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nasionalisme adalah semangat persatuan atas dasar kesamaan geopolitik, untuk hidup bersama-sama di atas negara yang didirikan di atas suatu dasar yang disepakati bersama. Indonesia? Tentu Pancasila.
ADVERTISEMENT
Agama (Islam) adalah tuntunan hidup dunia dan akhirat yang dibawa oleh sosok Nabi Muhammad SAW, diimani turun dari Tuhan secara langsung, yang melampaui intas wilayah geopolitik (hence, Pan-Islamisme), yang pemeluk-pemeluknya sepakat untuk hidup di atas tuntunan kitab suci tersebut.
Mau tidak mau, antara Agama dan Nasionalisme, akan selalu ada titik dimana kedua jenis beliefs ini akan bersimpangan. Anda tidak bisa menganut paham Nasionalisme dan Agama secara keseluruhan, tanpa ada point-point pada beliefs tersebut yang harus Anda tinggalkan, untuk diganti satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh masalah Kepemimpinan.
Anda tidak akan bisa mengatakan, "Saya seorang Nasionalis", dengan pada saat yg bersamaan mensosialisasikan, "Eh, situ yang Kafir ndak boleh jadi pemimpin. Haram"
ADVERTISEMENT
Meski memiliki lebih dari satu dimensi penafsiran, namun jika penafsiran keharaman total pemimpin yang selain Islam dipakai, maka jika Anda berkata, "Saya seorang muslim: saya zikir, puasa, zakat, sedekah, puasa dan juga haji", namun pada saat yg bersamaan juga berkata, "Pemimpin selain beragama Islam? Coba cek UUD'45 Pasal 6 ayat 1. Ada point tersebut? Ndak tho? Maka siapa saja WNI asalkan sanggup dan elektable, silahkan memimpin. Ndak masalah", maka siap-siap saja dikenai pasal murtad, kafir oleh golongan agama yang berpaham tersebut.
Penyatuan Agama dan Nasionalisme, sesungguhnya tidak akan menjadi masalah, jika Persatuan Indonesia dijadikan landasan. Tentu, akan ada ayat-ayat yang ditafsirkan secara lebih lunak. Contoh, Al-Maidah:51 memiliki penafsiran kontekstual tentang masalah pemilihan sahabat dekat di jaman perang, yang akan sangat berbahaya jika sahabat tersebut dari kalangan musuh dalam perang ---hufh, justru cuma tafsir di Indonesia yang berubah menjadi Pemimpin. Namun ushul2 utama KeIslaman tidaklah gugur (5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman).
ADVERTISEMENT
Yang menjadi masalah adalah menginginkan puritas, di Indonesia yang majemuk. Menginginkan penerapan syariat Islam secara total, dengan mengabaikan kemajemukan, yang disosialisasikan dengan kata-kata, "Islam disini mayoritas. Wajib yang minoritas ikut".
Kedengaran make sense bagi Anda? Jika iya, maka saya kasih satu pemikiran, "Founding fathers bangsa ini --yang diantaranya bukan ulama sembarangan--sudah menyetujui penghapusan kata-kata 'Menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'". Ini tidak berarti abai akan ushul-ushul Keimanan dalam Islam, namun waskita atau paripurna dalam menilai kondisi bangsa dan strategi dakwah kedepannya.
"Konstitusi di atas hukum agama". Itu kesimpulan kuatnya.
Why? Karena itulah kesepakatan pendirian bangsa ini. Selama hukum Agama belum menjadi Hukum Negara, namun Anda sudah mensosialisasikan penerapannya secara massive, maka Anda tidak bermain secara fair-play di Negara ini.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya, kehidupan berbangsa dan bernegara akan goyah, dan itu bukan sesuatu yang diinginkan pendiri bangsa ini.
- Eko
7/1/17