Konten dari Pengguna
Sabar di Kala Sehat dan Sakit: Sebuah Renungan Islami
28 Oktober 2025 11:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Sabar di Kala Sehat dan Sakit: Sebuah Renungan Islami
Sehat dan sakit adalah dua sisi kehidupan yang silih berganti. Sabar di kala sehat berarti tidak menyia-nyiakan nikmat dan menjaganya dengan syukur.Eko Suryo Pranoto
Tulisan dari Eko Suryo Pranoto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dalam kehidupan, manusia senantiasa berada dalam lingkaran nikmat dan ujian. Kadang kita diberi kesehatan yang prima, di lain waktu tubuh ini melemah dan sakit menimpa. Dua keadaan tersebut sejatinya merupakan cara Allah menguji hamba-Nya, apakah kita mampu bersyukur di kala sehat dan bersabar di kala sakit.
ADVERTISEMENT
Seringkali manusia mengira bahwa sabar hanya dibutuhkan ketika ditimpa musibah. Padahal, kesabaran yang lebih berat justru diperlukan ketika kita sehat. Sebab dalam keadaan sehat, seseorang memiliki tenaga, pikiran jernih, dan kesempatan luas untuk berbuat apa saja. Di sinilah godaan itu hadir: apakah nikmat kesehatan itu digunakan untuk ketaatan atau justru untuk kelalaian.
ADVERTISEMENT
Rasulullah pernah bersabda: “Dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu di dalamnya: Kesehatan dan waktu luang” (HR Bukhari). Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa kesehatan adalah nikmat yang sering diabaikan karena manusia terlalu sibuk mengejar dunia. Padahal, kesehatan adalah modal utama untuk melaksanakan ibadah dengan sempurna. Tanpa tubuh yang sehat, amal saleh akan terbatas. Maka, bersabar di kala sehat berarti menahan diri dari menyia-nyiakan nikmat yang Allah berikan, serta menggunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Islam memandang sehat sebagai nikmat besar yang harus disyukuri dan dipelihara. Menjaga kesehatan tubuh bukan hanya urusan duniawi, melainkan bagian dari ibadah. Tubuh adalah amanah yang Allah berikan, karena seorang muslim tidak boleh merusaknya dengan makanan haram, gaya hidup buruk, atau kebiasaan yang merugikan.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Islam, sakit bukanlah sekedar penderitaan. Ia adalah ujian, bahkan sekaligus rahmat. Sakit dapat menjadi penghapus dosa, pengingat kelemahan manusia, dan sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah, meskipun hanya tertusuk duri, melainkan Allah akan menghapus Sebagian dosa-dosanya karenanya” (HR Bukhari-Muslim).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Zad al-Ma’had menegaskan bahwa sakit memiliki dua sisi: sisi duniawi dan sisi ukrawi. Dari sisi duniawi, sakit membuat manusia merasakan kelemahan dan mendorongnya untuk berobat. Dari sisi ukhrawi, sakit melembutkan hati, membersihkan jiwa, dan menjadi jalan taubat. Dengan demikian, sakit bisa menjadi nikmat tersembunyi bila diterima dengan sabar dan ridha.
Dalam sejarah kenabiaan, kita mendapat pelajaran yang berharga dan luar biasa dari Nabi Ayyub. Beliau diuji dengan penyakit parah yang berkepanjangan, hingga tubuhnya melemah dan hartanya sirna. Namun, lisannya tidak pernah berhenti berzikir. Doanya terkenal adalah: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku elah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)
ADVERTISEMENT
Kesabaran Nabi Ayyub menunjukkan bahwa sakit bukanlah aib, merupakan kesempatan untuk lebih dekat kepada Allah. Pada akhirnya, kesabaran itu dibalas dengan kesembuhan dan kemuliaan. Rasulullah juga pernah mengalami sakit menjelang wafatnya. Meski tubuhnya lemah, beliau tetap mengingatkan umatnya untuk tetap beribadah kepada Allah. Hal ini memberi pesan bahwa sakit tidak boleh memutus hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, melainkan justru menguatkannya.
Sebagai seorang muslim, menghadapi sehat dan sakit haruslah dengan kesadaran. Saat sehat, hendaknya kita bersyukur dengan menjaga tubuh, beribadah dengan konsisten, dan menebar manfaat bagi sesama. Saat sakit, kita diperintahkan untuk berobat, berdoa, dan tetap bertawakal kepada Allah. “Berobatlah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan menurunkan pula obatnya” (HR Abu Daud).
ADVERTISEMENT
Al-Ghazali menekankan bahwa sabar adalah “setengah dari iman” sementara syukur adalah “setengah lainnya” kesehatan menuntut syukur, sakit menuntut sabar, maka sempunakanlah iman seorang muslim bila ia mampu menjalani keduanya dengan ikhlas.
Sehat dan sakit adalah dua sisi kehidupan yang silih berganti. Sabar di kala sehat berarti tidak menyia-nyiakan nikmat dan menjaganya dengan syukur. Sabar di kala sakit berarti menerima ujian dengan ikhlas dan tetap berbaik sangka kepada Allah. Kisah Nabi Ayyub, Rasulullah memberi teladan nyata bahwa setiap keadaan, baik sakit maupun sehat, bisa menjadi jalan menuju derajat yang lebih tinggi di sisi Allah.
Sehat dan sakit bukanlah sekedar peristiwa biologis. Ia adalah bahasa halus dari Allah kepada hamba-Nya. Saat sehat, Allah seakan berbisik: “Gunakan tubuhmu untuk kebaikan, sebelum waktu itu habis” saat sakit, Allah kembali menegur dengan lembut: “lihatlah betapa lemahnya dirimu, dan betapa engkau selalu membutuhkan-Ku”
ADVERTISEMENT
Sabar di kala sehat adalah menahan diri dari kesombongan, menggunakan tenaga untuk beribadah, dan mengisi hidup dengan amal kebajikan. Sabar di kala sakit adalah menerima dengan ikhlas, berobat dengan ikhtiar, dan berharap pahala dari Allah. Dua-duanya adalah sisi dari satu keimanan yang utuh.
Maka, siapa yang mampu bersyukur dalam sehat dan bersabar dalam sakit, sesungguhnya telah menemukan makna hidup yang sejati. Karena di hadapan Allah, bukan sehat dan sakit yang dinilai, melainkan bagaimana hati manusia merespon keduanya. Pada akhirnya, sehat adalah amanah, sakit adalah ujian, syukur adalah kunci, sabar adalah jalan, dan Allah adalah tujuan.

