Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
'Spesies Qwerty' dan Pembelajaran Antikejahatan Berbahasa
14 Juli 2023 15:01 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Eko Triono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Eko Triono dan M. Rohmadi
Pernahkah kita membandingkan berapa banyak jumlah teks yang dihasilkan oleh orang modern yang berasal dari tulisan tangan manual dan yang berasal dari tulisan digital setiap harinya? Sebagaimana kita kenali, tulisan tangan distribusinya terbatas. Tulisan digital mudah disalin, dimodifikasi, dibagikan, bahkan dimanipulasi. Tidak hanya itu, di Abad XXI mesin-mesin produksi teks berbasis kecerdasan buatan (artificial intellegence) mengalami perkembangan pesat.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar tulisan digital yang dihasilkan manusia tersebut disusun melalui papan tik (keyboard) Qwerty, baik manual maupun digital. Tidak salah jika spesies manusia kini diibaratkan sebagai "spesies Qwerty".
Tidak ada spesies lain yang memiliki peradaban serupa. Levelnya mulai dari memproduksi teks secara personal; seperti saat mengetik pesan cinta yang mesra di telepon pintar; hingga memproduksi teks secara massal; seperti saat menggunakan aplikasi kecerdasan buatan Chat GPT untuk mempertanyakan masalah dunia dan seisinya. Tidak hanya itu, ketika menyusun bahasa pemrograman untuk komputer dan aplikasi pun memerlukan bantuan Qwerty.
Apakah kecepatan perkembangan alat produksi dan distribusi teks ini juga mempengaruhi kecepatan dan perkembangan model kejahatan berbahasa di kalangan umat manusia?
Qwertynomics
Ketergantungan manusia terhadap teknologi Qwerty terjadi akibat memorisasi secara motorik dan kultural. Manusia sulit menjauh dari apa yang telah menjadi praktek kebiasaan. Dunia bisnis pun memahami gejala teknososial Qwerty tersebut dengan pertimbangan karakteristik pasar dan nilai ekonomi. Paul A. David (1995) pernah menguaraikan peran ekonomis dari Qwerty secara menarik dalam Clio and the Economics of Qwerty dalam The American Economic Review. Hari ini, ketika perkembangan teknologi teks melampaui tahun 1990-an tersebut, nilai-nilai ekonomi Qwerty pun ikut merentangkan sayapnya sedemikian rupa.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, tata letak Qwerty dikembangkan oleh Christopher Latham Sholes dan Carlos Glidden, serta rekannya Samuel W. Soulé dan James Densmore. Pada tahun 1874, tata letak Qwerty pertama diterapkan pada mesin tik Remington No. 1. Tata letak Qwerty, yang sebetulnya baris pertamanya adalah Qwertyuiop, sebagaimana yang kita kenal, awalnya adalah siasat.
Frekuensi tybebar yang cepat dapat mengganjal dan membuat mesin tik macet. Ini tata letaknya familiar, sehingga disusunlah urutan yang terlihat "aneh" untuk menghambat kecepatannya. Tata letak Qwerty kemudian mengalami perkembangan seperti penggunaan tombol /Shift/ pada Remington No. 2, penggunaan keyboard Qwerty berbasis USB dan Bluetooth, pada telepon genggam, telepon pintar, hingga pada keyoboard virtual pada masa kini.
Qwerty awalnya digunakan untuk standar papan tik di Inggris. Modifkasi pun kemudian dilakukan di beberapa negara seperti model Qzerty di Italia, Qwertz di Jerman, dan Azerty di Perancis. Meskipun muncul pula penatang-penantangnya seperti model Dvorak dan Dhiatensor, akan tetapi Qwerty masih menempati popularitasnya hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Sejauh mana papan tik ini menempati posisinya bukan hanya di dalam produksi bahasa, tetapi dalam aspek keadilan berbahasa?
Antara Kekeliruan dan Kejahatan
Kesalahan berbahasa lebih terikat pada aspek linguistik, sementara kejahatan berbahasa pada aspek hukum. Pada era penggunaan aplikasi pesan seperti Whats App, tangkapan layar dari gawai pun dapat digunakan sebagai alat bukti data (Mahsun, 2017). Yang harus diperhatikan adalah kapan sesuatu disebut kejahatan berbahasa dan yang lain bukan.
Ketika seseorang salah tik dalam percakapan yang niatnya "kamu tahu", malah terkirim "kamu tahi", akibat dekatnya tombol /u/ dan /i/ pada papan Qwerty, apabila terjadi dalam percakapan dua sahabat dapat menjadi lucu. Namun, dalam percakapan antara dua orang yang memiliki level sosial berbeda dapat menjadi konflik bahkan kasus hukum. Kata "tahi" secara leksikal memang memiliki arti yang sama dengan tinja, akan tetapi secara semantik dapat menjadi jenis makian yang dapat diartikan penghinaan dan pencemaran nama baik oleh pihak yang tidak terima.
ADVERTISEMENT
Pada penggunaan saran teks seperti pada Google Keyboard, ShapeWriter, Swype, SwiftKey, SlidIt, and TouchPal juga memungkinkan terjadi (Smith, Bi, dan Zhai, 2015). Saran-saran kosakata digital tersebut pada mulanya diciptkan untuk mempercepat penulisan akibat sulitnya mengetik cepat di papan tik Qwerty (Dunlop dan Levine, 2012). Terlebih pada ruang sempit papan digital telepon genggam, yang biasanya dengan dua ibu jari atau jempol. Kegiatan populer mengetik dengan jempul ini yang kemudian melahirkan istilah populer di Indonesia: "hati-hati dengan jempolmu" dan "jempolmu harimaumu".
Dalam penelitiannya, Smith, Bi dan Zhai (2015) menganalisis 40.000 leksikon kata yang menunjukkan adanya 6,4% memiliki kesamaan identifikasi gestur dengan kata lain. Artinya bahwa perkembangan mesin produksi teks juga tidak luput dari kemungkinan kesalahan.
ADVERTISEMENT
Peran Linguistik Forensik
Dalam hal menentukan bahasa yang berhubungan dengan kasus hukum, linguistik forensik menempati perannya. Linguistik forensik merupakan bidang linguistik yang berfokus pada konteks hukum (Coulthard, et al., 2017). Objek linguistik forensik adalah bahasa dan hukum, karena perpaduan antara ilmu bahasa dan ilmu hukum. Manfaatnya dapat digunakan untuk menegakkan hukum (Olsson & Luchjenbroers, 2013), memecahkan masalah hukum (Leonard, 2006), dan di dalam ranah pendidikan bahasa dapat digunakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum, sehingga tercipta kedamaian bersama.
Selain itu, Hugo Warami (2018) menerangkan kedudukan linguistik forensik sebagai parameter forensik (hukum dan kriminal) atas linguistik, merupakan pisau bedah hukum dan kriminal, meneliti teks-teks yang berkaitan dengan hukum, membongkar pragmatisme bahasa hukum, mengungkap kejahatan bahasa, dan menjadi pilar rekonsiliasi antarpihak yang bertentangan hukum.
ADVERTISEMENT
Di dalam linguistik forensik terdapat bidang untuk menganalisis fonetik auditori, fonetik akustik, semantik, wacana dan pragmatik, gaya penulisan dan kebebasan bertanya, bahasa hukum, bahasa dalam ruang sidang, serta interpretasi dan terjemahan (McMenamin, 2002). Salah satu sumber telaah linguistik forensik adalah teks yang pada era modern sebagian besar diproduksi dengan papan Qwerty dan dapat berupa teks mutlimodal, yang melibatkan hal-hal selain teks seperti visual, audio, gerak, dan spasial (Jewit, 2009).
Dengan demikian, kajiannya dapat meliputi pada bagian informasi yang sifatnya nonnaratif. Terlebih apabila mengkaji kejahatan di media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, Twitter, dan Threads.
Media sosial memang merupakan ladang yang lembap bagi mudah tumbuhnya jamur-jamur ujaran kebencian. Ujaran kebencian adalah setiap ujaran yang menyebabkan beberapa pelanggaran kepada orang lain (Lewis, 2012). Bentuknya dapat berupa diskriminasi terhadap ras, suku, agama, gender, pekerjaan, kesehatan, dan lain–lain (Neshkovska dan Trajkova, 2018). Ujaran kebencian adalah salah satu bagian dari kejahatan berbahasa selain berita bohong, ancaman, hasutan, defamasi, penyuapan, dan konspirasi (Sholihatin, 2017).
ADVERTISEMENT
Secara regulasi, kejahatan berbahasa termaktub dalam UU ITE. Secara teoretis, Hugo Warami (2018) mengerucutkan beberapa komponen kejahatan berbahasa dalam kajian linguistik forensik yaitu penghinaan, fitnah, bahasa kotor, makian, dan iklan palsu. Kejahatannya dapat terjadi pada level kata, frasa, klausa, atau kalimat.
Pembelajaran Antikejahatan Berbahasa
Kejahatan berbahasa di era digital sering diasosiasikan dengan generasi muda (Mayr dan David, 2011). Padangan tersebut muncul karena generasi muda dianggap yang paling melek teknologi dibandingkan dengan generasi tua, serta yang dipandang memiliki potensi kenakalan akibat umur yang belum matang.
Istilah kenakalan remaja lebih populer daripada kenakalan orang tua. Padangan ini dapat berubah mana kala menyadari bahwa tiap generasi saat ini terlibat dalam penggunaan teknologi informasi. Potensi untuk melakukan kejahatan bahasa berbasis teknologi dapat terjadi dalam setiap rentang usia.
ADVERTISEMENT
Merasa tersembunyinya identitas diri, tidak bertatap muka, dan kesan tidak diawasi secara langsung merupakan beberapa penyebab kejahatan berbahasa di media sosial lebih marak terjadi.
Dalam pembelajaran bahasa terdapat emapat bagian yang harus dipehatikan, yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Melihat fenomena kejahatan berbahasa dan kejahatan melalui bahasa, terlebih tiap munculnya tahun-tahun krusial, perlu dikembangkan pembelajaran bahasa yang melibatkan sikap terhadap aspek hukum dalam berbahasa.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa pembelajaran kesantunan berbahasa saja tidak cukup. Kesantunan berada di dalam ranah normatif, sementara antikejahatan berbahasa di dalam wilayah regulatif.
Kesantunan berbahasa harus dapat wujudkan dengan keteladanan dan pembiasan sejak dini, mulai pada ranah keluarga, TK, SD/MI, SMP/MTsN, SMA/SMK, dan Perguruan Tinggi. Kesantunan berbahasa harus dilandasi penanaman karakter dan integritas untuk meminimalisir kejahatan berbahasa alias sehat berbahasa dan antikejahatan berbahasa.
ADVERTISEMENT
Konteks inilah yang harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan berbangsa dan bernegara Indonesia tercinta. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan kesantunan, dan kedamaian dalam kesehatan berbahasa antikejahatan berbahasa.
Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya dengan pertama memperkenalkan kemajuan teknologi produksi teks lengkap dengan dampak-dampaknya, kedua menjelaskan ranah-ranah kejahatan berbahasa, ketiga menjelaskan posisi bahasa di hadapan hukum (forensic linguistics), dan keempat memperkenalkan secara regulatif hukuman-hukuman bagi kejahatan berbahasa. Harapannya, dengan Qwerty kita akan menjadi spesies yang hidup di dalam bahasa kebahagiaan, bukan di dalam bahasa ancaman atau kejahatan terhadap manusia yang lain.*
EKO TRIONO
Mahasiswa Doktoral PBI Universitas Sebelas Maret
M. ROHMADI
Ketua ADOBSI, dosen PBI Universitas Sebelas Maret
ADVERTISEMENT