Konten dari Pengguna

Gemuruh Guntur Hati Bergetar

Damri Hasibuan (Uda)
Beliau alumni universitas Al-Azhar As-Syarif, penulis 30 an buku antologi dan 6 buku solo serta penulis lepas di berbagai platfrom mainstrem. Pria asli Medan ini sekarang bertugas di Auqaf UEA sebagai duta imam RI sejak 2023 hingga sekarang.
4 Juni 2024 12:16 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damri Hasibuan (Uda) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi Masjid Syekh Zayed Abu Dhabi (pexels.com/Pavlo Luchkovski)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi Masjid Syekh Zayed Abu Dhabi (pexels.com/Pavlo Luchkovski)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Muthawwa!"[1] teriak seorang pria memakai qondurah[2] putih. Suaranya ibarat guntur menyambar iblis yang hendak mencuri-curi rahasia langit. Wajahnya merah padam.
ADVERTISEMENT
Al-Fatih gemetar bukan main. Apalagi saat melihat pekikan tersebut ke sumber suara. Persis di saf pertama sebelah kanan.
"Leih thawalta shalat?"[3] lanjutnya dengan tidak kalah lantang.
Tidak seperti biasa. Kali ini ada yang aneh. Dia merasa salat Isya' yang baru saja selesai sangat panjang. Pria itu khawatir jika salat tarawihnya akan panjang juga.
Sejak menginjakkan kaki dan menjadi imam di negara Uni Emirat Arab ini, belum pernah Al-Fatih mendengar komplenan jemaah separah itu.
Beberapa masjid sudah dia lalui, tapi tidak satupun jemaah yang protes karena salat yang dia bawakan kelamaan.
"Ana ma thawwaltu as-shalat ya, Baba. Shalaytu mitsla ma shallaytu fi masjid akhar!"[4] Sela Al-Fatih dengan rasa takut.
Para jemaah yang menyaksikan bergeming. Tidak satu pun yang membelanya. Atau setidaknya mengademkan suasana hati Al-Fatih yang sedang kalut.
ADVERTISEMENT
Semuanya sibuk dengan zikir masing-masing. Pura-pura mereka tidak mendengar atau bahkan tidak melihat komplenan pria tadi. "Jangan-jangan mereka mendukung aksi pria tersebut?" gumam Al-Fatih.
"Bil imbarih shallaytu fi masjid Khalifah walakin-"[5] ucap Al-Fatih terjeda.
"La! Ihna laysa fi masjid kabir,"[6] sambarnya dengan suara lantang laksana petir.
Pria itu tidak menerima penjelasan dari imam yang baru saja bertugas di masjid ini. Dia tidak sadar kalau imam ini belum tahu bagaimana tradisi jemaahnya.
Sejenak pria itu diam. Lalu berdiri dan mendekati Al-Fatih.
"Law tuthawwil as-shalah, ruh ila masjid tani!"[7] ancam pria berusia lima puluh tahunan itu.
Untuk menghindari suasana riweh, Al-Fatih tidak merespon. Mata yang menyala tajam di depannya itu, membuatnya gentar meskipun sebenarnya dia berhak untuk memberikan klarifikasi bahwa dirinya tidak ada yang memberi penjelasan tentang berapa lama durasi salatnya di sini.
ADVERTISEMENT
Kemudian, apakah mereka suka ayatnya yang panjang-panjang atau malah sebaliknya?
Jam dinding terus berputar hingga sekarang menunjukkan pukul 08.10 waktu setempat.
Wajahnya yang tenang, tidak menampakkan bahwa hati Al-Fatih masih saja bergejolak. Dia pun lekas berdiri untuk menunaikan salat sunnah ba'diyah Isya'.
Beberapa menit kemudian, salat tarawih dimulai. "As-shalatu at-Tarawih astabakumullah …!"[8] seru Al-Fatih. Semuanya pun berdiri.
Bulan Ramadan baru masuk malam ke lima. Akan tetapi, jemaah yang salat di masjid ini tidak terlalu banyak. Hanya tiga saf saja. Itu pun saf ketiga, tidak penuh.
Komplenan pria yang belum Al-Fatih ketahui namanya tadi, terus terngiang-ngiang di telinganya. Sehingga menyebabkan suara Al-Fatih agak lain.
Kali ini terdengar gugup. Kala masuk rakaat ke lima jantung sang imam, masih saja berdegup kencang. Pikirannya melayang-layang mengingat ancaman yang dialamatkan tadi kepadanya.
ADVERTISEMENT
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِــِٕيْنَ وَالنَّصٰرٰى وَالْمَجُوْسَ وَالَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا[9]
"Inna alladhin amanua walladhin hadu walssabiiyn walnnasra …," baca Al-Fatih dalam salat.
Al-Fatih lupa apa sambungan ayat ini. Tadi dia membaca al-Baqarah ayat 61. Tapi entah kenapa tiba-tiba lompat ke surah al-Hajj?
Berharap ingat sambungan ayat tersebut, dia pun mengulang-ulanginya hingga tiga kali, tapi haslinya tetap sama. Ayat yang dibacanya masih saja salah.
Bahkan bayang-banyang pria yang berdiri sangar tadi, sudah berusaha dia buang jauh-jauh dari pikirannya.
"Eh kok ke surah al-Haj, ya?" gumamnya dalam hati. Tiba-tiba saja, ayat yang sedang dibaca Al-Fatih lompat jauh ke surah Al-Hajj karena ada kemiripan.
Kristal-kristal putih tampak mulai berkucuran dari pelipis kening Al-Fatih. Dia diam sejenak, berharap ada jemaah yang menuntunnya. Lantas terdengar suara kecil dari saf sebelah kiri.
ADVERTISEMENT
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ[10]
"Inna alladhin amanua walladhin hadua walnnasra walssabiiyn man aman bialllh walyawm alakhir waeamil salihan falahum aajruhum eind rabbihimۚ wala khawf ealayhim wala hum yahzanun …." Ingatkan seorang jemaah, tapi suaranya sangat kecil. Sehingga Al-Fatih tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Daripada mengganggu kenyamanan dan membuat salat tidak khusuk, Al-Fatih memilih rukuk ketimbang bersikukuh untuk mengingat ayat yang terlupa tersebut.
"Allahu akbar!" ucap Al-Fatih untuk ruku
Di sela-sela ruku, iktidal, dan sujud, ayat yang lupa tadi, muncul di benak Al-Fatih, sehingga ketika bangkit dari rukuk, dia mengulangi ayat tersebut tanpa mengamalami kelupaan lagi.
ADVERTISEMENT
"Assalamu alaikum wa rahmatullah …." ucap Al-Fatih dengan lembut.
Salat taraweh pun selesai, yang kemudian dilanjut dengan salat witir.
"Assalatu as-syafa' atsaabakumullah …."[11]
Salat witir pun dimulai tanpa ada ceramah agama. Sebelum berdiri juga hanya sekadar buat minum untuk menghilangkan dahaga. Setelah membaca surah al-Fatihah, Al-Fatih lanjut membaca surah.
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ[12]
" Qul hu alllh aahadunۚ aalllh alssamaduۚ lam yalid walam yuladۙ walam yakun llahٗ kufuan aahad," baca Al-Fatih dalam rakaat pertama.
Sebenarnya tadi, dia pengin untuk membaca surah al-'Ala. Namun karena takut kepanjangan, akhirnya sang imam pun memilih surah al-Ikhlas saja. Begitu masuk rakaat kedua, dia membaca al-Falak lalu rakaat terakhir an-Naas.
ADVERTISEMENT
POV pria yang komplain
"Ah! Kenapa dia baca surah ini?" gumamnya. Dia sangat kesal dan kecewa. Ronanya yang tidak lagi muda, tampak mengeriput di bagian keningnya. Sebagai ekspresi ketidaksukaannya sama ayat yang sedang dia dengar.
Pria tersebut ingin kalau di ayat pertama salat Witir itu adalah surah al-'Ala. Sementara rakaat kedua al-Kafirun bukan al-Falak. Lalu ditutup dengan surah al-Falak dan an-Naas.
Dia ingin marah lagi saat mendengar surah yang sedang dibaca Al-Fatih, tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal andaikan sang imam tahu akan keinginan pria tersebut, pasti dia melakukannya.
Lagi pula Al-Fatih tahu biar sesuai sunnah, dalam salat Witir itu membaca surah persis seperti apa yang diinginkan oleh pria tadi. "Awas, kamu, ya!" ancamnya dalam hati.
ADVERTISEMENT
Pria ini tidak dapat membiarkan apa yang dia anggap salah. Padahal sebenarnya surah apa pun yang dibaca dalam salat itu bebas mana saja.
Tidak pun membaca surah sesuai tuntunan nabi seperti di atas, tidak sampai membatalkan salat. Sebab hukumnya hanya sebatas sunnah. Bukan wajib. Di mana, ketika dikerjakan dapat pahala ketika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa.
Namun, bukan hanya masalah surah witir saja yang dia permasalahkan. Melainkan ayat yang Al-Fatih sempat lupa tadi.
Meski tidak hafal al-Quran, tapi dari bacaan sang imam yang sempat terputus-putus, membuat pria ini curiga kalau Al-Fatih tidak mempersiapkan betul ayat yang akan dibaca pada saat salat dengan lancar.
Dia tidak suka bila mendengar ada imam yang tidak lancar dengan hafalannya. Pria ini juga heran saat mendengar orang yang menuntun saat Al-Fatih lupa ayat. Akan tetapi, di saat itu, dia langsung ruku.
ADVERTISEMENT
POVAl-Fatih
"Assalamu 'alaikum wa rahmatullah ...." salam Al-Fatih usai membaca tahiyyat dalam duduk iftirasy.
Seluruh rangkaian salat pun selesai tepat pukul 08.45. Bila dihitung, salat tarawih dan witir kali ini memakan waktu sekitar 30 menit. Namun, Al-Fatih belum tahu apakah dengan segitu, kelamaan atau tidak?
Sesaat kemudian, para jemaah tampak sudah bubar kecuali satu orang yang sedang duduk sembari menengadahkan tangannya ke langit. Tidak satu pun yang menyapa Al-Fatih setelah selesai salat. Yang menyalaminya juga demikian.
Apakah disebabkan kelamaan salatnya, atau ayat yang tidak lancar tadi membuat jemaah marah atau bagaimana? Hal itu membuat Al-Fatih bertanya-tanya.
Berbeda dengan pengalaman sebelumnya. Saat di Masjid Al-Khalifah[13], para jemaahnya ramah-ramah. Meski status Al-Fatih saat di sana hanya sekadar imam pengganti, tapi dia merasa lebih dihargai ketimbang di masjidnya yang sekarang.
ADVERTISEMENT
Padahal di masjid ini dirinya bukan lagi sebagai imam pengganti. Melainkan imam tetap yang ditetapkan oleh Auqaf.[14]
Setelah beberapa menit duduk memikirkan sikap jemaah yang begitu tidak acuh tersebut, dia pun beranjak berdiri. Sementara itu, pria yang tampak berdoa tadi, membuka pintu ingin keluar juga.
Begitu pintu terbuka, terdengar suara keributan dari luar.
Deg!
"Apa yang terjadi?" gumam Al-Fatih. "Apakah mereka sedang membicarakanku?" lanjutnya.
Hatinya semakin kalut. Terlebih ketika dirinya melangkah lebih dekat lagi ke arah pintu. Kakinya terhenti. Pendengarannya merasa tertusuk-tusuk saat sudah tiba di depan pintu.
Namun belum sampai para jemaah melihat dirinya yang ingin keluar. Al-Fatih berusaha menguatkan batinnya untuk menghadapi jemaah yang tinggal beberapa meter lagi dari depannya.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak melihat Al-Fatih saking seriusnya membicarakan tentang sang imam yang satu ini.Meski Al-Fatih tidak paham semua apa yang mereka bicarakan.
Tapi dari beberapa kata yang terlontar dari seorang jemaah, membuatnya merasa, bahwa mereka sedang membincangkan dirinya.
Ada beberapa kata yang sudah kental di benaknya. Seperti kata muthawwa' dan tawwal. Kepada siapa lagi kedua kata tersebut dialamatkan kalau bukan kepada dirinya? Beberapa saat Al-Fatih diam di mulut pintu untuk menenangkan diri.
Namun bagaimana mau tenang saat mendengar dirinya sedang dibicarakan oleh orang-orang itu sejak dari tadi. Bahkan jantungnya semakin berdebar kencang.
Dengan perlahan, Al-Fatih pun melangkah lebih dekat ke jemaah yang sedang berkumpul di pelataran masjid.
Imam ini yakin bahwa tidak ada daya dan upaya selain milik Allah Sang Maha Pencipta. Al-Fatih tidak ingin bila kehormatannya sebagai muthawwa' diinjak-injak. Itu yang membuatnya ingin klarifikasi.
ADVERTISEMENT
Kalau hanya sebatas dirinya yang dilecehkan, sebenarnya dia merasa tidak ada masalah. Asalkan jangan profesinya.
Mengingat, para muthawwa' itu harusnya dihormati karena mereka senantiasa menjaga hafalan al-Quran di dalam hati mereka.
Apakah Al-Fatih berhasil memberikan klarifikasi atau jangan-jangan besok malam dia akan dipindahkan ke masjid lain, seperti ancaman yang dilempar kepadanya tadi?
Beliau alumni universitas Al-Azhar As-Syarif, penulis 30 an buku antologi dan 6 buku solo, serta penulis lepas di berbagai platfrom mainstream. Pria asli Medan ini sekarang bertugas di Auqaf UEA sebagai duta imam RI sejak 2023 hingga sekarang.
-----------------------------------------------------------------------------------
[1] Muthawwa' dalam dialeg Emiraty panggilan untuk seorang imam
[2] Qandurah dalam dialeg Emiraty berarti gamis atau jubah
ADVERTISEMENT
[3] Kenapa kamu panjangkan salat?
[4] Saya tidak memanjangkan salat kok, Pak. Saya salat di sini seperti di masjid sebelumnya.
[5] Semalam saya ngimam di Masjid Khalifah (masjid terbesar di Raksul Khaimah), tapi-
[6] Tidak! Kita bukan di masjid besar.
[7] Kalau kamu panjangin salat lagi, pergi kamu ke masjid lain!
[8] Ini adalah semacam iqomah untuk salat taraweh yang artinya; Ayo salat Tarawih, semoga kalian diberi pahala!
[9] Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin, Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang menyekutukan Allah
[10] Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin (Sabiin adalah umat terdahulu yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk agama tertentu). siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati (Ayat ini merupakan ketentuan umum bagi setiap umat pada masa mereka masing-masing. Misalnya, umat Yahudi pada masa Nabi Musa a.s. dan umat Nasrani pada masa Nabi Isa a.s.).
ADVERTISEMENT
[11] Ini ungkapan buat iqamat salat Witir yang artinya, ayo salat Witir! Semoga Allah membalasi kalian dengan pahala.
[12] Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”
[13] Masjid terbesar di Raksul Khaimah.
[14] Auqaf adalah lembaga setempat yang berhubungan dengan keagamaan dan perwakafan. Kalau di Indonesia dinamakan dengan Kemenag.