Konten dari Pengguna

Part 2: Tumpahan Air Mata Sajadah

Damri Hasibuan (Uda)
Beliau alumni universitas Al-Azhar As-Syarif, penulis 30 an buku antologi dan 6 buku solo serta penulis lepas di berbagai platfrom mainstrem. Pria asli Medan ini sekarang bertugas di Auqaf UEA sebagai duta imam RI sejak 2023 hingga sekarang.
8 Juni 2024 12:35 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damri Hasibuan (Uda) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi orang sujud (iStockphoto.com/ozgurdonmaz)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi orang sujud (iStockphoto.com/ozgurdonmaz)
ADVERTISEMENT
Alangkah malangnya nasib Al-Fatih. Kesalahan sepele yang dia lakukan malam ini bukanlah berdasarkan kesengajaan. Melainkan karena ketidaktahuan.
ADVERTISEMENT
Di saat teman-temannya yang lain dihadapkan dengan berbagai kenikmatan, dirinya malah sebaliknya. Jauh dari kata tersebut.
Ada yang kala bersalaman dengan jemaahnya bukan hanya sekadar mempertemukan kedua tangan. Namun lebih dari itu, jemaah yang duluan mengulurkan tangan.
Adapula jemaah yang begitu salaman, tahu-tahu sudah berisi amplop atau memasukkan uang ke dalam kantong imam. Meski tidak banyak jemaah yang seperti itu, tapi bagi setiap imam yang mengalami itu, pasti merasakan kenikmatan tersendiri.
"Enta jadid tushalli hina wa alatuhul taf'al musykilah!"[1]
Kata-kata itu kembali terngiang-ngiang di telinga Al-Fatih. Hati siapa yang tidak sakit kala mendapatkan perlakuan yang sama oleh jemaahnya sendiri?
Terlebih di saat yang sama, tidak ada pembelaan sama sekali. Padahal Al-Fatih belum tahu apa-apa terkait bagaimana tradisi jemaahnya di sini.
ADVERTISEMENT
Al-Fatih masih belum bisa menerima omongan pahit tadi. Dia masih saja termenung di pojok kamarnya sendirian.
Ingin curhat agar mendapatkan ketenangan, tapi tidak ada teman satu pun di sampingnya. Ingin menelepon keluarganya di kampung, tapi sudah kadung malam sehingga niatnya yang ingin menelepon, urung, karena takut akan mengganggu keluarganya.
Saat ingin beranjak dari sofa ke ranjang, tiba-tiba saja teleponnya berdering. Dia pun membukanya. Di sana temannya sedang memanggil.
Al-Fatih lantas mengusap layar yang kemudian terdengar ucapan salam dari gagangnya.
"Assalamu'alaikum," ujar pria yang di balik telepone itu.
Tanpa ragu Al-Fatih menjawabnya dengan tenang, "Wa'alaikumussalam."
"Gimana salat perdananya tadi, Tadz?" tanyanya penasaran.
Al-Fatih bergeming. Dia ingin menyembunyikan apa yang terjadi.
Pria itu mengulangi pertanyaannya kembali. "Tadz, salat perdananya tadi, gimana?" tanyanya, lirih.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak ada juga respons. Pria itu mulai bertanya-tanya apakah Al-Fatih mengalami hal yang tidak enak?
Kendati belum berhasil mendengar jawaban Al-Fatih, pria ini tidak putus asa, sehingga dia menanyakan kali yang ketiga tentang apa yang dialami Al-Fatih. "Tadz, kenapa diam saja? Cerita dong," pintanya dengan lirih.
Al-Fatih yang tadinya ingin rebahan, tapi tidak jadi. Dia kembali duduk, menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Karena ditanyain terus oleh temannya, mau tidak mau Al-Fatih pun menceritakan kegalauannya.
"Iya, Tadz Ikbal. Saya mendapatkan perlakuan yang tidak sama dengan masjid-masjid sebelumnya," ucapnya lirih.
Sebagai imam angkatan pertama, Ikbal tahu betul karakter orang Arab. Banyak yang baik, tapi tidak menutup kemungkinan juga ada orang yang kurang baik.
ADVERTISEMENT
"Emang, ada masalah apa tadi, Tazd? Salatnya kelamaan, ya?" tebaknya sambil terkekeh.
"Kok tahu?"
"Yah tau dong … terus, dibilang jemaahnya apa, emang?" tanya Ikbal penasaran.
Sambil nelpon, pria suku Jawa ini sedang menyantap makanan. Karena makanan takjil yang diberikan tadi, belum habis.
Seperti biasa, saat berbuka puasa Ikbal tidak menghabiskan semua makanan yang diberikan oleh jemaahnya saat berbuka.
Dia takut kekenyangan yang menyebabkan tidak nyaman ketika salat. Bahkan walaupun takjil hari ini makanan khas Arab favoritnya.
"Iya, Tadz. Saya kesel sekali melihat jemaah saya. Masa gara-gara salat kami sedikit kepanjangan, jemaah saya marah," sahut Al-Fatih.
Dia berusaha menahan emosi agar teman lawan bicaranya di sana tidak terbawa emosi pula.
ADVERTISEMENT
Meski Al-Fatih merasa lapar, tapi seleranya untuk makan hilang. Apalagi takjil yang diberikan sebelum berbuka hari ini, bukan makanan favoritnya.
Pekikan suara pria yang memarahinya tadi, belum bisa lepas dari ingatannya. Eksperesinya yang kasar itu juga belum mampu Al-Fatih lupakan.
Dia tidak peduli keadaan perutnya yang sedang keronconggan. Sebab, pas buka puasa tadi, Al-Fatih baru makan sedikit saja dari tiga jenis hidangan yang diberikan kepadanya.
"Emmm … Sabar, Tadz. Itulah di antara cobaan men-jadi imam di sini. Tidak usah am-," ucapnya sedikit terjeda karena makanan yang di tangannya hendak dia suapkan ke mulutnya.
"Tidak usah ambil pusing juga," lanjutnya, kemudian Ikbal terus mengunyah makanan yang di mulutnya.
Dari suaranya, Al-Fatih tahu kalau temannya itu sedang makan. Meski demikian, tidak memicu seleranya untuk makan. Padahal perutnya sedang berontak minta makanan. Galau yang dia rasakan, membuat rasa getir di ujung tenggorokannya semakin pahit. Namun pria asli Medan ini tidak memperdulikannya.
ADVERTISEMENT
Satu sisi, Al-Fatih mengiyakan apa yang baru saja dia dengar dari temannya itu. Tapi di sisi lain, hatinya belum bisa terima.
Dia tidak habis pikir kenapa ada manusia yang mulutnya tidak bisa dia jaga agar tidak sampai melukai perasaan orang. Terlebih-lebih, bulan ini adalah bulan yang sangat mulia, bulan Ramadan.
Teman-temanya di grup yang berlambangkan gagang telepon itu, banyak bercerita tentang betapa bahagianya mereka mendapatkan masjid yang jemaahnya baik-baik.
Bahkan selama bergabung di grup tersebut, dirinya belum pernah membaca cerita yang sama dengan apa yang sedang dialaminya.
Dari ruangan kamar yang megah itu masih terdengar saja suara obrolan telepon kedua imam tersebut. Belum berhenti hingga sekarang.
Tidak ada yang membuat hati Al-Fatih terhibur melainkan setelah terjadi perbincangan. Suasana kamar yang tadinya hening, kini menjadi penuh dengan tawa.
ADVERTISEMENT
Ustaz Ikbal pernah merasakan kasus yang sedikit mirip, makanya bisa diakui akan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan yang sama seperti apa yang sedang dialami temannya ini.
"Seng penting, ikuti apa kata jemaah, Tadz. Jangan melawan!" nasihat Ikbal.
Apa yang dibilang Ikbal memang benar. Namun, tidak ada salahnya untuk memberikan klarifikasi bila ada kesalahpahaman. Supaya tidak main hakim sendiri tanpa mengetahui hakikat daripada apa yang terlihat salah.
"Iya, Tadz. Saya ikut, kok. Lagian kalau benaran salah, apalah gunanya saya membantah?" Al-Fatih meyakinkan temannya bahwa dia tidak membantah terhadap apa yang dibilang jemaah kepadanya.
Hanya saja, dia bersuara bukan karena tidak menerima kesalahan. Melainkan Al-Fatih ingin memberikan penjelasan agar tidak disalah pahami.
Ikbal percaya kalau ucapan Al-Fatih ini benar. Dia tidak mengada-ada. Yang dia ragukan adalah bagaimana pria itu menyampaikan protesannya.
ADVERTISEMENT
"Tapi cuma gertakan doang, kan? Saya yakin, itu cuma malam ini saja, Tadz. Besok-besok, tidak lagi terjadi itu," tukasnya.
Al-Fatih belum bilang kalau tadi, setelah salat, permasalahannya itu dibahas lagi di pelataran masjid. Ini jugalah yang membuat hatinya semakin kacau.
"Tidak, Tadz. Sebenarnya, usai salat, saya dikatain jemaah tidak mendengar saran sesepuh. Tapi kenapa harus marah-marah?" keluh Al-Fatih dengan emosional.
"Jemaah bilangnya saran, tapi setahu Al-Fatih, yang namanya saran bukan seperti itu. Marah-marah, dan di depan banyak orang lagi. Siapa yang tidak malu bila cara memberikan sarannya seperti itu?" jelasnya.
"Biasalah itu, Tadz. Mungkin mereka tidak tahu bagaimana cara menyampaikan nasihat dengan benar," sahut Ikbal.
Makanan yang di depan Ikbal, sedikit lagi habis. Padahal nasi briyani kali ini porsinya lumayan besar. Dia juga heran kenapa Baba Muhammad kali ini ngasihnya lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Tidak berapa lama sambungan telepon pun terputus seiring dengan selesainya obralan. Di saat yang sama, Ikbal pun sudah selesai makan. Sementara itu Al-Fatih merasakan kegalauannya kembali.
Meski sudah pukul 12.00 waktu Dubai, tapi Al-Fatih belum bisa terlelap. Apa yang dibilang temannya tadi, saking tidak bisa melepas kegalauannya, membuat matanya belum bisa tidur. Padahal teleponan selesai sudah beberapa menit yang lalu.
Makanan yang terletak di dekat ranjang sangat menggoda orang yang ditimpa kelaparan. Akan tetapi, bukan bagi Al-Fatih. Dia masih saja tidak mempedulikan keadaan perutnya. Walaupun sejak tadi, matanya berkali-kali melihat itu.
Sampai kapan dia sadar akan dirinya yang sedang lapar? Bisa dipastikan bila dia masih tidak memaksakan diri untuk menyuap makanan tersebut ke mulutnya, dirinya akan sakit perut. Biar bagaimana pun juga, Al-Fatih akan kesulitan tidur bila perutnya masih kosong melompong.
ADVERTISEMENT
Mungkin ada yang menganggap, perasaan Al-Fatih terlalu berlebihan. Masa iya, dibentak sedikit saja, perasaannya sudah seperti mengalami masalah besar saja?
Apa sesusah itu dia move on dari masalah seremeh temeh tersebut? Andaikan dia curhat kepada Allah, lebih bagus ketimbang berlarut-larut membayangkan masalah yang sedang dia hadapi itu.
Suasana sunyi itu, belum mampu mengantarkannya untuk terlelap. Berkali-kali pun dia coba, tapi benaknya masih dipenuhi oleh remang-remang ancaman.
Dia terjebak dalam suasana pilu yang terlalu dalam. Kamar yang kelam, muncul cahaya dari layar gawai Al-Fatih. Pria yang sedang tiduran ini, hendak memastikan sudah pukul berapa?
Tanpa dia sadari, ternyata sudah pukul 03.00 waktu Dubai dini hari. Sebentar lagi, tiba waktunya sahur. Karena waktu Subuh saat ini sekitar pukul 05.10 waktu Dubai.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum sahur, Al-Fatih terlebih dahulu bangun untuk salat Tahajjud. Apalagi sekarang bulan Ramadan, membuatnya semakin semangat untuk bermunajat di pangkuan Sang Maha Pencipta.
Dia sadar, tempat yang tepat untuk mengadukan permasalahnnya yaitu kepada Allah Swt. Al-Fatih tidak ingin bila masalahnya itu terulang lagi di malam besok dan seterusnya.
Andaipun jemaahnya tidak sebaik jemaah teman-temannya yang lain, setidaknya jangan ada mulut jemaahnya yang dapat melukai perasaannya.
Usai berwudu, kakinya melangkah menuju masjid. Suasana gelap menjadi terang karena lampu-lampu, baik lampu toilet maupun masjid sudah dinyalakan kembali.
Hening mencekam. Sesekali suara AC terdengar sedikit meraung. Al-Fatih tenggelam dalam salatnya.
Tiba di rakaat terakhir, sujudnya teramat panjang. Beberapa menit sudah berlalu, tapi wajahnya masih saja menempel di atas sajadah warna hijau itu.
ADVERTISEMENT
"Ya Allah, lindungi saya dari hinaan, tuduhan, dan marahan orang-orang yang membuat dada saya sempit," pintanya, lirih.
Segala gundah gulana tumpah. Hati yang dipenuhi rasa kecewa, mengaku bahwa dirinya tidak punya daya dan upaya selain dari Sang Maha Kuasa.
Bulir-bulir bening tumpah di atas hamparan sajadah. Bait-bait doa terus terucap tanpa kata. Netra terus menitik, mengalir membasahi rona.
Arena hati yang hancur, masih terus merintih di dalam celah hening. Namun dalam setiap rintihan Al-Fatih, terdapat sejuta harapan yang tersembunyi.
"Ya Rabbi, ini adalah rumah-Mu. Saya pasrahkan semua masalah yang menimpa saya hanya kepada-Mu," lirihnya lagi.
Bayangan ekspresi pria yang memarahinya semalam, memenuhi kepala dan ruang kalbu. Seakan-akan kesalahan yang telah dilakukan Al-Fatih semalam merupakan kesalahan besar.
ADVERTISEMENT
Doanya tersedu-sedu sehingga sajadah tempatnya bersujud sampai meninggalkan jejak bulir-bulir bening nan suci.
Sekarang Al-Fatih sudah mulai tenang pasca menumpahkan keluh kesahnya sesaat menjelang Subuh tersebut.
Sungguh benar firman Allah dalam QS. Al-Isra' ayat 79 dan 80, yaitu;
ADVERTISEMENT
Waktu begitu cepat berlalu. Tadinya dia sedang salat, sekarang dia beranjak menyantap makanan sahur dengan seorang diri.
Makanan yang awalnya dia tidak suka, tapi kini habis Al-Fatih lahap.
Subhanallah.
Perutnya merasa senang karena rasa laparnya sudah hilang. Namun, lima belas menit lagi mau azan, tiba-tiba Al-Fatih mengantuk berat. Itu akibat dari tidak tidur semalaman.
"Ah, tidur dulu sejenak," gumamnya.
Sebagai antisipasi biar tidak kebablasan, Al-Fatih tidak lupa menyalakan alarm dari gawainya.
Sebelumnya Al-Fatih sudah membuka masjid. Lampu begitupun saklar azan sudah dihidupkan. Sehingga apalagi yang membuat pikirannya tidak tenang? Bisa dipastikan tidak ada.
Dengan mantap, Al-Fatih yakin akan bangun di saat azan tiba. Lagi pula dirinya sudah menyalakan alarm.
Apakah sesuai ekspektasi Al-Fatih? Ternyata tidak! Perut kenyangnya membuat dirinya terlelap masuk ke alam mimpi. Bahkan walaupun azan sudah mulai berkumandang, tapi dia masih tetap bergeming.
ADVERTISEMENT
"Laa ilaaha ilallaah …!" Kumandang azan selesai. Al-Fatih belum juga bangun. Berkali-kali alarm berbunyi pun terlewatkan.
Al-Fatih tetap belum sadarkan diri kalau azan sudah berlalu 18 menit. Artinya 7 menit lagi akan iqamah.
Di dalam masjid, jemaah tampak sudah ramai. Ada yang sedang salat sunnah. Sementara di pojok kanan terlihat beberapa orang yang sedang membaca al-Quran.
Bagaimana dengan Al-Fatih yang masih terlelap itu? Apakah dia berhasil mendapatkan salat Subuh, atau malah masalah baru yang akan datang menghadangnya?
Pria yang memarahinya semalam, sejak beberapa menit yang lalu sudah mulai memperhatikan ke belakang, menanti kedatangan Al-Fatih.
Dia bertanya-tanya, "Kenapa imamnya belum masuk padahal sebentar lagi mau iqamah?" Matanya kian membulat melihat ke arah pintu.
ADVERTISEMENT
Disclaimer: Terima kasih bagi yang sudah baca. Cerbung ini adalah diangkat dari kisah nyata. Bila dirasa bermanfaat, penulis akan senang dan tambah semangat dalam menulis jika cerita ini kamu share. Kamu juga pasti mendapatkan manfaatnya.
-------------------------------------------------------
1. Kamu baru saja jadi imam di masjid ini sudah bikin masalah!