Konten dari Pengguna

Part 3: Tipu Muslihat Setan

Damri Hasibuan (Uda)
Beliau alumni universitas Al-Azhar As-Syarif, penulis 30 an buku antologi dan 6 buku solo serta penulis lepas di berbagai platfrom mainstrem. Pria asli Medan ini sekarang bertugas di Auqaf UEA sebagai duta imam RI sejak 2023 hingga sekarang.
16 Juni 2024 9:03 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damri Hasibuan (Uda) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pintu (pexels.com/pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pintu (pexels.com/pixabay)
ADVERTISEMENT
Dor! Dor! Dor! Dor …!
Gedoran pintu memecah keheningan malam, seperti dentuman keras yang memekakkan telinga. Getaran suara menyebar, memenuhi sendi-sendi semesta.
ADVERTISEMENT
Deg!
Mendengar gedoran pintu tersebut, Al-Fatih langsung kaget bukan kepalang. Gedorannya sangat kencang. Siapa pun yang mendengar itu, bisa dipastikan akan terkejut. Begitu Al-Fatih terbangun dari lelapnya, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 05.30 waktu Dubai. Itu artinya sebentar lagi hendak iqamah.
Tanpa berlama-lama lelaki itu pun langsung berdiri dan lekas pergi memperbaharui wudu. Gerak dan langkahnya seperti kilat. Hanya hitungan satu menit, Al-Fatih sudah selesai berwudu dan mengenakan seragam imam; guthrah, qondurah, dan bisyt.[1]
Di balik pintu sakan (rumah), pria yang menggedor pintu masih saja menunggu keluarnya Al-Fatih. Dia sudah tidak sabar melihatnya muncul dari balik tembok pembatas itu.
Rasa kantuk belum sempurna pergi, Al-Fatih kembali terkesiap saat membuka pintu sakan.
ADVERTISEMENT
"Eish hazda Muthawwa'?"[2] teriak pria itu dengan lantang. Sorot matanya tajam memperhatikan rona imam yang baru saja keluar. Al-Fatih belum bilang apa-apa, dia kembali marah, "Da hein sa'ah kam? Enta 'arif sa'ah kam? Leish noom wa as shalah jeyh?"[3] tanyanya bertubi-tubi.
Suara petirnya, pecah di tengah heningnya pagi. Tidak ada jemaah atau orang yang melihat aksi ganas pria tersebut. Lalu apakah Al-Fatih menjawabnya? Tidak! Dia justru meninggalkan ocehan pria pemarah itu. Lagi pula, wajahnya yang sangar, Al-Fatih tidak sanggup melihatnya.
Beberapa meter lagi Al-Fatih sampai di masjid. Tiba-tiba terdengar suara iqomah, yang nadanya tidak biasa. Seolah marah, tapi mungkin begitu irama iqamah orang setempat karena tidak terlatih, pikir Al-Fatih.
Allahu akbar Allahu akbar!
ADVERTISEMENT
Asyhadu an laa ilaaha illallah!
Ashadu anna Muhammadarrasulullah!
Derap langkahnya pun semakin cepat, ingin mengejar supaya jangan sampai iqomah selesai, Al-Fatih belum ad di dalam masjid.
Qad qamati as-assalatu qad qamati as-ashalah!
Persis di lafazh itu, Al-Fatih pun tiba di masjid. Begitupun dengan pria pemarah tadi. Sejak Al-Fatih melangkah, dia membuntutinya menuju masjid. Raut wajahnya masih tampak memerah bekas marahnya yang baru saja dia lampiaskan kepada Al-Fatih.
Kehadiran pria tersebut, tidak mengundang rasa curiga para jemaah. Sehingga mereka tidak tahu kalau ada di antara mereka yang baru saja datang dari memergoki Al-Fatih yang terlelap tadi.
Meski jemaah yang lain tidak melihat keberadaan Al-Fatih, namun mereka tidak terlalu memusingkan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Kalau tidak, kenapa ada jemaah yang maju iqomah sementara itu adalah haknya Muthawaa'? Andaikan mereka keberatan atas ketidakhadiran Al-Fatih di dalam masjid, tentu saja tidak ada yang ingin iqomah.
Boleh jadi, mereka juga akan keluar mempertanyakan kenapa Al-Fatih belum nongol-nongol di masjid. Namun, tidak satupun yang mempermasalahkan keterlambatan Al-Fatih kecuali pria pemarah yang sekarang, berada di posisi paling belakang masjid.
Suasana hati belum stabil, ditambah lagi kantuk yang Al-Fatih rasakan belum pulih. Usai iqamah, dia pun lekas menuju posisi imam. Dengan keadaan ayat yang akan dia bawakan dalam salat, belum sempat termurajaah dengan optimal.
"Allahu akbar!" takbir Al-Fatih memulai salat.
Irama yang dia bawakan mencerminkan suasana hatinya yang sedang meringis. Sendu mendayu-dayu.
ADVERTISEMENT
Hatinya kalut bagai lautan yang bergelombang. Terombang-ambing dalam pusaran kegelisahan yang tidak berkesudahan.
Setiap denyut jantungnya membawa riak ragu yang merayap. Memenuhi bilik-bilik kalbu yang kosong dengan kekacauan yang tidak terperikan.
Dalam kebingungan, langit kelam pun terasa dekat. Bintang gemintang tersamar di balik awan-awan kekhawatiran. Hati yang kalut merintih dalam pelukan salat. Mencari jalan keluar dari labirin pikiran yang terjebak.
Namun, dalam kekacauan itu, terdapat juga pelajaran yang berharga. Hati yang kalut belajar untuk mengenal diri sendiri. Boleh jadi, dalam kekalutan Al-Fatih itu, akan terbit cahaya yang memandu. Menuju kedamaian yang telah lama dinanti.
Di dalam al-Fatihah-nya, Al-Fatih bingung hendak membaca ayat yang mana usai membaca surah yang menjadi salah satu rukun salat tersebut.
ADVERTISEMENT
Apakah melanjutkan ayat Isya' yang semalam? Atau kah mundur beberapa lembar dari situ? Semalam Al-Fatih terakhir membaca al-Baqarah ayat 66. Karena ragu-ragu untuk melanjutkan sambungan ayat tersebut, dia pun akhirnya memilih untuk membaca surah al-Insyirah.
Latinnya:
Sesuai dengan artinya, surah ini dapat melapangkan dada yang sempit serta mengingatkan manusia bahwa di setiap kesusahan ada kemudahan. Itu makanya Al-Fatih memilih untuk membawakan surah ini di dalam rakaat pertamanya.
Dia juga percaya bahwa setiap kesulitan yang sedang menimpanya, akan diberikan kemudahan dua kali lipat karena Allah mengulangi ayat ini sebanyak dua kali di dalamnya.
"Daripada kacau kek semalam, mending baca surah al-Insyirah aja saya," pikirnya.
Sebagaimana kata para ulama tafsir bahwa dengan membiasakan membaca surah ini memang dapat membuat hati yang ditimpa masalah menjadi tenang.
ADVERTISEMENT
Tidak terasa salat pun selesai. Lantas Al-Fatih pun beranjak ke sakan. Namun, baru beberapa langkah, ada yang memanggilnya.
"Muthawwa!" panggil seorang jemaah. Bukan pria pemarah itu.
Deg!
Mendengar suara itu, langkah Al-Fatih tercekat dan jantungnya berdebar. "Ada apa, ya? Apa ada yang salah? Tapi salahnya di mana? Bukannya tadi tidak ada yang salah?" pikirnya berulang-ulang, hendak memastikan apa penyebabnya dipanggil
Dia pun menoleh ke belakang. Pria yang memanggil tampak matanya telah membulat sempurna. Melihat itu, Al-Fatih takut dan semakin penasaran dirinya hendak diapakan.
Begitu Al-Fatih sampai di depan pria yang memanggil, dia pun langsung dihadang oleh pertanyaan. "Leih qhassarta as-shalah?"[5]
Sebelum menjawabnya, tidak sengaja Al-Fatih memandang ke arah pria yang memarahinya semalam. Karena dia berada persis di deretan ketiga dari pria yang ada di depannya itu.
ADVERTISEMENT
Entah kenapa sorot matanya tajam. "Apakah dia ingin memarahi saya juga?" gumamnya. Namun Al-Fatih cepat-cepat mengalihkan pandangannya dari pria paruh baya itu sembari fokus mendengarkan apa yang hendak dia disampaikan.
Al-Fatih mengelus dadanya. Semalam dia dikomplen jemaah yang lain kenapa salatnya dipanjangin. Namun kali ini malah sebaliknya. "Syu musykilah ya Baba?"[6]
Dia tidak ingin diam begitu saja tanpa mengetahui kenapa pria yang di depannya itu menanyakan hal tersebut, supaya tidak lagi terjadi kesalahan yang sama.
"Qashiiiir wayd, fil Fajr, iqra surah thawilah mu qashir,"[7] sahutnya.
Al-Fatih menghela napas panjang. Dia telah salah duga, diakibatkan pikirannya yang berlebihan tadi.
Pasalnya, lelaki paruh baya itu hanya ingin menanyakan penyebab kenapa tadi dirinya membaca surah pendek. Ditambah lagi, orang yang bertanya ini tidak meledak-ledak seperti pria yang kerap memarahinya itu.
ADVERTISEMENT
"Ana abgi ruh ilal al-hammam?"[8] ucapnya, bohong. Dia terpaksa berbohong karena takut urusannya bakal panjang. "Bukrah, ha aqra' ayah thawilah, ya baba,"[9] lanjutnya.
Kemudian Al-Fatih pergi namun dia tidak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah mengingatkannya, "Syukran ya, Baba asyan dzakkartani."[10]
Lima belas menit kemudian, Al-Fatih kembali keluar dari sakan untuk mengunci pintu masjid dan toilet serta tidak lupa mematikan seluruh penerangannya.
Pagi ini tidak ada kegiatannya selain mau tidur. Matanya sudah mulai berat. Kebiasaannya untuk membaca al-Quran pun terkesampingkan.
Itu karena disebabkan kurang tidur semalaman. "Ah, lagi pula kemarin saya kan sudah membaca al-Quran lebih banyak dari biasanya. Sehingga target saya untuk mengkhatamkan al-Quran di Minggu ini tidak ada masalah," batinnya.
ADVERTISEMENT
Dia tahu kalau tidur setelah Subuh itu tidak boleh. Bahkan hadis yang menjelaskan keutamaannya juga masih melekat di kepalanya.
Iya, benar. Baik hadis Shahih Bukhari maupun Shahih Muslim menjelaskan tentang larangan tidur sehabis Subuh. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda,
Hadis ini menunjukkan pentingnya memanfaatkan waktu setelah Subuh untuk ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, berzikir, atau melakukan salat sunnah seperti salat Dhuha. Ini adalah waktu yang diberkahi dan dianjurkan untuk melakukan amal kebaikan.
Namun bagaimana lagi. Al-Fatih tidak mampu pula menahan kelopak matanya yang semakin tebal. Meskipun tadi dia sempat memaksakan diri untuk melantunkan al-Quran. Beberapa saat kemudian, Al-Fatih pun tidak sadarkan diri.
Di dalam gemuruh dunia yang tidak pernah berhenti, terdapat sebuah tempat yang menjadi pelabuhan damai bagi jiwa Al-Fatih yang lelah.
ADVERTISEMENT
Itulah buaian tidur, suatu perahu maya yang membawa Al-Fatih berlayar melintasi lautan mimpi.
Indahnya buaian tidur bukanlah sekadar tentang lena yang menyelimuti, tapi sebuah perjalanan menuju negeri khayal yang penuh arti.
Di dalam buaian itu, gelombang-gelombang pikiran yang memburu menjadi tenang. Setiap embusan napas menjadi irama yang menenangkan, mengiringi langkah-langkah lelap yang mendamaikan.
Dalam pelukan tidur, terasa kehangatan kasih sayang yang mengalir tanpa henti dari Sang Maha Pencipta.
Buaian tidur Al-Fatih seperti panggung, di mana drama-drama mimpinya dipentaskan. Dalam setiap adegan, dirinya menjadi aktor dan sekaligus penonton, menjelajahi dunia yang tidak terjangkau oleh mata telanjang.
Di sini, segala yang tidak mungkin terwujud di dunia nyata menjadi mungkin, mengukir senyum di bibir Al-Fatih yang terlelap.
ADVERTISEMENT
Indahnya buaian tidur terpancar dalam warna-warni mimpi Al-Fatih yang memesona. Dari hutan belantara hingga padang rumput yang luas, Al-Fatih berpetualang tanpa batas dalam imaji-imaji yang memukau.
Dalam tidur, segala kisah dapat tercipta, membentuk sebuah narasi yang tidak tertandingi oleh kenyataan. Namun, buaian tidur bukan sekadar tentang mimpi-mimpi yang manis.
Di dalamnya, terdapat juga cermin yang memantulkan bayangan-bayangan yang tersembunyi di dalam jiwa.
Kadang, di balik tabir mimpi, tersembunyi juga ketakutan dan kecemasan yang memerlukan penyelesaian.
Indahnya buaian tidur Al-Fatih adalah di saat bangun dengan rasa segar dan penuh semangat, siap menghadapi dunia dengan jiwa yang tegar.
Dalam tidurnya yang lelap, terdapat kekuatan yang mampu menyembuhkan luka dan menguatkan tekad. Buaian tidur laksana ladang subur bagi jiwa Al-Fatih yang haus akan ketenangan.
ADVERTISEMENT
Di dalamnya, Al-Fatih menemukan kedamaian yang hakiki, menguatkan kembali ikatan Al-Fatih dengan alam semesta yang luas.
Di dalam buaian tidur, terpanggillah Al-Fatih untuk memahami bahwa kadang-kadang, untuk menemukan kedamaian sejati, dia perlu membiarkan dirinya terlelap dalam pelukan yang hangat dan tenang.
Tatkala senja menghiasi cakrawala. Membuat langit Kota Dubai semakin indah dan memesona. Bangunan-bangunan raksasa kini mulai memancarkan sinarnya. Untuk terangi kelam yang terhampar di sepanjang perkotaan.
Azan pun bersahutan. Menggema dan menggembirakan jiwa-jiwa yang berpuasa. Usai meneguk secawan air putih sejuk, Al-Fatih mencicipi beberapa butir kurma. Sebagai pengisi perut yang memuasakan Ramadan di sepanjang hari yang terik.
Kini Al-Fatih menuju masjid untuk melaksanakan salat Isya'. Pas mau tiba di pintu masjid, pria pemarah itu sekonyong-konyong muncul dari balik tembok hendak mau masuk juga. Entah kenapa raut wajahnya begitu sangar. Melihat sang imam yang tidak mengucapkan salam, seakan-akan memicu tensinya naik hingga 200 cc.
ADVERTISEMENT
"Leih mat sallamta ya Muthawwa'?"[11] protesnya dengan ketus. Dia benci kala Al-Fatih tidak mengucapkan salam kepadanya. Wajahnya menyala seakan ingin menyambar tubuh Al-Fatih yang lemas karena puasa seharian.
Cekat langkah Al-Fatih pun terhenti, ingin angkat suara.
----------------------
[1]  Qondurah, gamis atau jubah. Ghutrah, serban. Bisyt, gamis kehormatan yang biasa dipakai oleh orang-orang tertentu di wilayah bagian Arab. Bentuknya sama seperti yang dipakai oleh para imam di Masjid al-Haram.
[2]  Apa-apaan ini, Imam?
[3]  Sekarang sudah jam berapa? Kamu tahu? Kenapa tidur pada waktu salat?
[4]  1.  Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Nabi Muhammad), 2.  meringankan beban (tugas-tugas kenabian) darimu, 3.  yang memberatkan punggungmu, 4.  dan meninggikan (derajat)-mu (dengan selalu) menyebut-nyebut (nama)-mu? 5.  Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, 6.  Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, 7.  Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain), 8  dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah!
ADVERTISEMENT
[5] Kenapa kamu pendekkan salat?
[6]  Ada masalah apa, Pak?
[7]  Pendek sekali surah yang kamu baca. Baca surah yang agak panjangan pada salat Subuh bukan yang pendek.
[8] Saya mau pergi ke toilet, Pak.
[9] Besok, saya akan baca surah yang lebih panjang, Pak.
[10] Terima kasih Pak, karena telah mengingatkan saya
[11]  Kenapa tidak ngucapin salam, Imam?