Konten dari Pengguna

Part 4: Raungan Bell Bawa Petaka

Damri Hasibuan (Uda)
Beliau alumni universitas Al-Azhar As-Syarif, penulis 30 an buku antologi dan 6 buku solo serta penulis lepas di berbagai platfrom mainstrem. Pria asli Medan ini sekarang bertugas di Auqaf UEA sebagai duta imam RI sejak 2023 hingga sekarang.
23 Juni 2024 10:47 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Damri Hasibuan (Uda) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi orang yang sedang mengetuk pintu (pexels.com/RDNE Stock Projek)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi orang yang sedang mengetuk pintu (pexels.com/RDNE Stock Projek)
ADVERTISEMENT
Sepuluh hari sudah berlalu. Masalah yang dihadapi Al-Fatih belum kunjung usai. Di tengah gemerlapnya kota Dubai yang tidak pernah tidur, siapa sangka kesulitan yang menimpa Al-Fatih seolah semakin pelik.
ADVERTISEMENT
Pria pemarah itu terus menghantui pikirannya. Bayangan amuknya merajalela di antara lautan lamunannya. Menciptakan lingkaran setan yang tidak kunjung terputus. Seakan dia menjadi pusaran besar yang hendak menenggelamkan tubunya ke dasar lautan. Masalah itu kian membelit jiwa Al-Fatih.
Setiap usaha yang dikerahkan Al-Fatih hanya tampak seperti angan-angan di ufuk yang tidak terjangkau. Seperti benang laba-laba yang tidak kunjung putus, masalah itu mengaitkan satu peristiwa dengan yang lain, menciptakan jaring-jaring ketakutan yang semakin komplikasi.
Waktu berlalu tanpa memberikan jawaban yang memuaskan. Rasa frustasi tumbuh subur di dalam dada, sementara kebingungan Al-Fatih merambat luas di setiap sudut pikiran.
Setiap solusi terasa seperti petir di siang bolong, datang begitu cepat dan pergi begitu saja, tanpa meninggalkan bekas yang berarti. Untungnya di balik kerumitan dan kekacauan yang dialami Al-Fatih, tersembunyi kekuatan yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Kekuatan untuk tetap berdiri tegar, untuk terus berjuang, dan untuk percaya bahwa di ujung jalan yang berliku-liku ini, ada cahaya benderang yang menanti, untuk memecahkan pekatnya malam.
Bayang itu masih terukir kokoh di benak Al-Fatih. Tubuh jangkungnya seolah sedang menghadang dirinya. Pria itu, Al-Fatih belum tahu namanya siapa. Dia belum pernah melihat tubuh jemaahnya sejangkung itu.
Persis sehari yang lalu dengan tubuh jangkungnya, pria itu seenak jidatnya bilang, Al-Fatih akan dipindahkan ke masjid lain. Yang membuat hati berontak, pikiran pun kacau.
"Muthawwa'!"
Al-Fatih menoleh ke sumber suara. Jemaah yang lain sudah pada bubar. Termasuk pria pemarah yang baru saja tahu namanya itu.
"Enta lazim tantaqil! El jemaah bi qulu enta mu muthawwa' zein,"[1] cerocos pria bertubuh jangkung itu.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya Al-Fatih saja yang heran. Bahkan bumi pun demikian andaikan bumi memberikan reaksi. Pasalnya, dari mana mulutnya bisa mengatakan itu sementara dia baru saja menginjakkan kaki di masjidnya Al-Fatih.
Sungguh kejamnya tuduhan tanpa klarifikasi. Dalam labirin informasi, harusnya klarifikasi memainkan peran kunci. Namun terkadang, kabar palsu bersembunyi di balik bayang-bayang tipu muslihat.
Klarifikasi bukan hanya sekadar penjelasan, tapi juga pelindung dari bahaya manipulasi dan kesalahpahaman. Dalam dunia yang dipenuhi dengan ceroboh informasi yang menghancurkan pilar-pilar fondasi, sehingga meretakkan bingkai hati.
"Syu musykilah?"[2] tanya Al-Fatih, memastikan.
Kepalanya mendongak memperhatikan pria jangkung yang di depannya. Terasa asing dan menyebalkan. Sebuah kepalan tangan siap menghantam. Untungnya Al-Fatih dengan pikiran sadarnya membisikkan cara melampiaskan amarah bukanlah solusi.
ADVERTISEMENT
"La enta ma fi zen. Mafi syugul zen. Noum wa tatruk as-shalah."[3]
Dengan mudah mulutnya melontarkan narasi hoaks itu. Dia tidak menimbang terlebih dahulu apakah perkataannya itu akan dapat melukai hati sosok imam, temannya bebicara itu atau tidak?
Ayat al-Quran jelas-jelas melarang untuk menebar berita bohong. Namun, apakah dia tidak pernah mendengar ayat yang berbunyi tentang itu?
Al-Fatih semakin kaget mendengar tuduhan demi tuduhan. Bila itu fakta, tidaklah membuat jiwa yang bersangkutan menolak.
"La, ya Baba. Alkalam mafi matsbut,"[5] bantahnya lirih.
Namun pria jangkung itu tetap bersikukuh sama tuduhan yang dia dengar dari Juhail. Juhail adalah nama dari jemaah yang suka komplen dan marah, sejak malam pertama Al-Fatih kerja di masjid ini.
ADVERTISEMENT
Tanpa menghargai ucapan Al-Fatih, dia pun meninggalkannya dengan sebongkah narasi yang bikin luka tambah runyam. "Enta lazim taghyir!" seringainya, kemudian dia pun pergi tanpa pamit dan enggan mengucapkan salam.
Panasnya siang hari Ramadan, membuat setiap orang yang memuasakannya harus berjuang melawan keinginan hawa nafsu. Tidak terkecuali dengan mereka yang memilih sebagai buruh kasar seperti kuli bangunan di bawah gedung-gedung raksasa Kota Dubai ini.
Getirnya kehidupan imam yang satu ini pun sangat pekat terasa di ujung lehernya. Hantaman ombak tuduhan tidak mampu membuatnya untuk berdiri kokoh di tepi karang harapan. Target-target yang sudah dijadwalkan pun tumbang.
Al-Fatih hari ini urung mengkhatamkan al-Qurannya yang keempat kali. Pikirannya masih terus bergelayut oleh marahan dan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.
ADVERTISEMENT
Untungnya kaki Al-Fatih masih bisa berdiri kokoh. Kendati semangat kerjanya sering terancam, namun dia masih bisa tetap bertahan. Dari wajahnya yang bulat, tidak terlihat bila dirinya sedang dilanda kegalauan.
Minggu ketiga dari bulan Ramadan ini, sudah mulai terasa capeknya. Saf-saf salat pun sudah mulai semakin maju. Bukan hanya di masjidnya Al-Fatih saja yang sepi, tapi juga di masjid-masjid yang lain pun perlahan jemaahnya semakin sunyi.
Meski demikian, Al-Fatih tetap bersyukur karena semalam, si Juhail tidak datang salat tarawih, sehingga muncul ketenangan menyeruak di dalam hati. Awalnya dia mengira Subuh ini dia datang, tapi ternyata tidak juga.
Pikirannya semakin tenang. Dia berharap supaya pikirannya tenang terus. Jangan sampai mengalami kondisi yang membuatnya galau lagi. Al-Fatih ingin dengan datangnya bulan Ramadan ini, hatinya semakin bersih.
ADVERTISEMENT
Beberapa lama setelah Subuh, Al-Fatih pun kembali ke sakan. Kelopak matanya dari tadi sudah menebal. Hanya saja, keinginannya yang kuat untuk mengejar target khataman, kantuknya bisa dia tahankan. Usai sampai ke dalam kamar, kasur yang empuk tampak sudah menunggunya.
Tidak berapa lama, matanya pun terpejam. Sementara tangannya masih saja terlihat memegang gawai. Belum sempat meletakkan handphone tersebut pada tempatnya, dirinya sudah terlelap. Tubuhnya terkujur tidak ingat kalau tadi dirinya sedang menulis.
Di pagi hari, menulis quote, puisi, dan lainnya adalah salah satu rutinitas yang tidak bisa dia tinggalkan. Karena tidak adanya teman curhat di sampingnya, maka akhirnya Al-Fatih memilih untuk menumpahkan segala keluh kesahnya di dalam rangkaian tulisan.
Namun karena kadung mengantuk, dirinya tidak bisa menahan mata untuk bisa tetap menulis, terutama karena memang sekarang sudah masuk pertengahan bulan Ramadan membuatnya semakin mudah lelah, yang akhirnya, tubuhnya sudah menyatu dengan alam mimpi.
ADVERTISEMENT
Di bawah selimut tipis nan lembut itu, dia tampak menemukan kedamaian. Mungkin disebabkan semalam dia kurang tidur. Bukan karena ulah Juhail. Melainkan karena mulai semalam sudah ada qiyamullail. Maka pukul 24.00 waktu Dubai, harus sudah siap untuk melakukan salat qiyamullail.
Itulah yang membuat Al-Fatih tidak tidur usai salat tarawaih. Sebab, takut kebablasan mengingat waktunya sangat terbatas. Tidak heran jika pagi ini dia menyambung tidurnya yang sempat terputus tadi malam.
Dalam pelukan pagi yang sunyi, tubuh Al-Fatih merangkak menuju pangkuan mimpi. Aktivitas tidur baginya menjadi pelabuhan terakhir setelah berlayar di lautan kehidupan yang gelap dan penuh ombak dan karang.
Matanya tampak terpejam rapat, ingin istirahat dari riuhnya dunia yang menipu. Kendati di bawah selimut yang tipis, tapi Al-Fatih dapat menemukan kedamaian yang terasa begitu langka di tengah terjalnya menghadapi tantangan kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Dengan setiap napas, pria itu merasakan beban penat yang mengalir pergi, menggantikan kehangatan dan ketenangan. Mimpi-mimpi pun mulai menari di dalam benaknya, membawa pesan-pesan yang tersembunyi di balik gemuruh kehidupan pahit yang dialaminya.
Tidur lelap adalah perjalanan singkat menuju kedamaian dalam hiruk-pikuk yang tidak berkesudahan.
Di dalam tidur, Al-Fatih menyadari bahwa ada kekuatan yang besar dalam melepaskan diri dari kehidupan yang sibuk dan menyerah pada ketenangan yang melambangkan pelipur lara bagi jiwa yang lelah.
Sejenak, Al-Fatih merasa seperti anak kecil yang ditenangkan oleh ibunya, di bawah lindungannya yang hangat dan penuh cinta, dan dengan tidur lelap itu, Al-Fatih lebih siap untuk menghadapi dan menjalani petualangan kehidupan yang menanti.
Ketika masih tenggelam dalam lautan mimpi, tiba-tiba bel berbunyi, pecahkan keheningan sepi.
ADVERTISEMENT
Ting nong! Ting nong!
Tidak tahu siapa yang di balik pintu pagar sana. Pagi masih lengang. Kota Dubai pun terbuai dengan keindahan impian penduduknya. Namun, bukan bagi pria yang ingin bertemu dengan Al-Fatih itu.
Setelah pria itu ngebel, tidak terdengar pergerakan berarti. Orang yang berada di dalam rumah masih saja tenggelam di dalam selimutnya. Entah mimpi apa yang dilihat Al-Fatih sehingga tidak mendengar bunyi bel tersebut.
Pria itu mencoba bel lagi, tapi dengan cara yang berbeda. Kali ini dia menekan tombol bel lebih kencang dan lama sekali, secara beruntun.
Ting nong! Ting nong! Ting nong! Ting nong!
Mimpi Al-Fatih pun terhenti. Raungan bel berhasil menyampaikan pesan kepada Al-Fatih yang kini membuka matanya.
ADVERTISEMENT
"Siapa pula itu?" gumamnya seketika.
Rasa kantuk belum pulih. Dia pun berupaya melawannya. Perlahan, pria ini beringsut menuju pintu gerbang, melihat siapa sosok yang ngebel sepagi buta ini.
Sang mentari masih saja malu-malu menyunggingkan senyumnya dengan sempurna. Beburungan di atas dedaunan pepohonan kurma terdengar asyik bercengkerama.
Tiba di depan pintu, ternyata pria yang ngebel adalah pria yang pernah datang waktu itu.
Begitu buka pintu, Al-Fatih langsung nge-flash back. Di mana kala itu dia datang sendirian. Katanya ingin melihat-lihat sakan saja.
Untuk apa dia masuk ke sakan saya? Ngapain datang sepagi ini? Apa dia ingin mengusir saya dari sakan ini? pikirnya kala itu. Ungkapan itu juga terlintas di benaknya sekarang.
Waktu itu, sama sekali Al-Fatih tidak memperbolehkannya masuk. Dia meninggalkan pria tersebut di balik pintu pagar. Meski tidak suka, tapi Al-Fatih berupaya untuk menyembunyikan ketidaksukaannya.
ADVERTISEMENT
Kenapa pria itu datang di waktu yang membuat istrihat orang terganggu? Mana mau rampas sakan pula. Al-Fatih sempat menggerutu dalam batinnya.
Al-Fatih sudah merasa nyaman di sini meskipun ada jemaah yang selalu menyakitinya. Lagi pula, urusan pindah rumah dan masjid, cukup merepotkan. Lagi pula, belum tentu akan mendapatkan rumah bagus dan strategis seperti rumah yang ditempatinya saat ini.
Nah, kejadian di atas sekitar beberapa hari yang lalu.
Kasus kali ini ada yang berbeda saat pintu sudah terbuka. Di depannya sudah berdiri si jangkung dan pria yang datang di atas. Seolah mereka ingin menghadang Al-Fatih.
Al-Fatih bertanya kepada pria itu yang berperawakan imam itu, "Eysh tabghi ya, akhy?"[6]
Dari gelagat kedua sosok tersebut, sebenarnya, Al-Fatih sudah tahu apa tujuan mereka datang ke tempat Al-Fatih. Sehingga pertanyaan itu dilemparkan hanya sekadar basa-basi.
ADVERTISEMENT
Benar saja. Apa yang diduga Al-Fatih sesusai dengan kenyataan. "Ana abghi asyuf as sakan," sahutnya.
Melihat kedua orang ini, tidak ada lagi alasan Al-Fatih untuk melarangnya masuk. Bukan karena takut. Melainkan karena merasa sungkan sama si jangkung yang menyebalkan ini.
"Kenapa pula dia ngebawa-bawa pribumi masuk ke sini? Pake bawa backing segala!" gumam Al-Fatih.
Tidak lama setelah negoisasi, dengan berat hati Al-Fatih memperbolehkan keduanya masuk. Mereka mulai memperhatikan keindahan yang ada pada sakan.
Melihat ukurannya yang cukup besar, Al-Fatih mendengar imam yang di depannya bilang ke pria jangkung itu, kalau dia tertarik dengan sakan Al-Fatih.
"Ana abghi hazda as sakan ya, Baba. 'Asyan akbar min sakani al-aan[7]," jelas pria imam itu kepada pria yang diduga Al-Fatih sebagai backing-annya.
ADVERTISEMENT
Mendengar penjelasan pria imam ini, Al-Fatih semakin jengkel, tapi dia pendam rasa amarahnya. Bagaimana mau marah, sementara melihat pria jangkung itu, dirinya sudah gemetar. Entah kenapa pula dia takut sama pribumi yang satu ini.
"Heh, hankhabbar ilal Auqaf,[8]" sahutnya.
Deg!
Jantung Al-Fatih berdebar kencang mendengar obrolan kedua pria itu. Keberadaannya di rumah ini semakin terancam. Tidak berhasil masuk sekali, tapi kali ini dia berhasil masuk, dan membuatnya langsung tertarik melihat sakan yang ditempati Al-Fatih.
Tentu Al-Fatih tidak tinggal diam. Mau bagaimanapun ujian yang dia alami di tempatnya yang sekarang, ada rasa ingin berjuang menghadapinya. Dalam diamnya, Al-Fatih berpikir seribu satu cara untuk menyangkal kedua pria tersebut. Dirinya tidak peduli meskipun satunya pribumi dan satunya imam asal Suriah.
ADVERTISEMENT
N/B. Terima kasih sudah setia membaca cerbung ini. Dukung terus ya sampai selesai. Jangan lupa komen, like, dan share agar yang lain juga dapat ilmunya.
---------------------
[1]  Kamu harus dipindah! Karena kerjamu jemaah bilang tidak benar.
[2]  Ada masalah apa?
[3] Kamu bukan imam yang baik. Cara kerjamu tidak bagus. Kamu tidur lalu membiarkan waktu salat berlalu.
[4] Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.
[5]Tidak, Pak. Itu tidak benar.
[6] Mau apa saudara ke sini?
[7]Saya tertarik melihat rumah ini karena lebih besar dari rumah saya yang sekarang, Pak.
ADVERTISEMENT
[8]Ya, kita akan konfirmasi kepada Auqaf.