Cerita dari Sampangan: Hidup yang Kita Keluhkan adalah Impian bagi Orang Lain

Elan Patria Nusadi
Seorang mahasiswa teknik di Universitas Diponegoro.
Konten dari Pengguna
29 Juli 2021 13:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elan Patria Nusadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jalan Raya Lamongan. Sumber: Google Map.
zoom-in-whitePerbesar
Jalan Raya Lamongan. Sumber: Google Map.
ADVERTISEMENT
Di Jalan Raya Lamongan, Kelurahan Bendan Ngisor, Kota Semarang, kau akan menemukan gang kecil di sebelah utara Gereja Pantekosta. Gang di daerah Sampangan itu sisi kanan dan kirinya dipadati pemukiman penduduk. Masuk ke sana untuk berjalan sekitar 40 meter, kau berhenti di depan rumah dengan cat berwarna hijau, atap sengnya sudah berkarat dan peot, dilindungi pagar berukuran mini yang lapisan luarnya mulai terkelupas karena kalah bertarung melawan usia.
ADVERTISEMENT
Kau mencoba melangkahkan kaki untuk masuk, diiringi bunyi engsel pagar yang berdecit, kau berdiri di atas teras berlantaikan ubin putih, terdapat satu sofa compang-camping di sana, busanya mencuat keluar seolah ingin bebas dari jerat kemiskinan. Seorang wanita berusia hampir 50 menghampirimu, ia bertanya “Cari siapa ya?”, lantas kau menyebut nama seseorang yang tidak sedang di rumah, namun kau tetap ingin masuk untuk menyelami lebih dalam tentang mereka, manusia-manusia penghuni rumah hijau itu; bagaimana mereka hidup, siapa sebenarnya mereka, dan tentu, menuntaskan urusan yang jadi alasanmu pergi ke sana.
Wanita tersebut mempersilakanmu masuk, kau sadar ada raut panik penuh tanya yang gagal ia sembunyikan, lalu kau duduk di hadapannya; tidak ada tempat yang biasa kau pahami sebagai ruang tamu, hanya ada satu kursi kayu dan satu kasur usang yang spreinya sudah berdebu, kau duduk di kasur itu. Matamu menjelajahi seisi rumah; tembok kusam penuh coretan, kamar tidur yang kasurnya tak karuan, dapur dengan panci-panci berkerak yang bergelantungan, dan tv tabung yang layarnya temaram. Di antara benda-benda mati itu, kau melihat manusia lain di sana: seorang bocah berusia 14 tahun yang sedang menonton tv.
ADVERTISEMENT
Namanya Afan, kulit sawo matangnya bersentuhan langsung dengan ubin rumah, tulang-tulangnya ia sandarkan pada sebuah guling. Seperti bocah seusianya; ia senang bermain Free Fire, memiliki cita-cita menjadi pemain bola, dan senang bergaul dengan teman sebaya di lingkungannya. Tidak ada yang membedakan dirinya dengan bocah lain, kecuali ia sama sekali belum pernah mengenyam bangku sekolah, dan harus meminjam gawai seorang teman untuk memainkan game favoritnya. Kau menghampirinya untuk bertanya dengan siapa ia bergaul, “Karo cah mesjid mas,” jawabnya.
***
Kira-kira seperti itulah pengalaman yang akan kau alami, bila kau menjadi diri ku kemarin malam—terhitung dari tulisan ini dibuat. Namun sebelum lanjut bercerita lebih jauh tentang Afan, sang wanita, dan rumah hijau tempat mereka bernaung, akan ku jelaskan terlebih dahulu apa perihal yang membuat ku pergi ke sana.
ADVERTISEMENT
Sehari sebelum malam itu, sekitar pukul 2 siang, aku mendapat kabar dari nenek bahwa ada seseorang yang menyelinap tanpa permisi ke dalam rumah, kakek sempat mengenali orang tersebut: namanya Umi, ia cukup terkenal dengan reputasi buruk di area Sampangan. Umi berhasil kabur tanpa kakek-nenek ku sempat menginterogasi. Pada awalnya, mereka tidak menyadari ada yang hilang, hingga keesokan hari, mereka sadar terdapat amplop berisi uang yang raib, mereka sepakat: ini pasti ulah Umi.
Umi adalah wanita berumur sekitar 40 tahunan, warga sekitar punya keyakinan kolektif bahwa kondisi kejiwaannya kurang sehat, ia memiliki 3 orang anak yang ayahnya entah siapa dan di mana. Demi mendapat rupiah, biasanya di siang hari Umi mengemis; kadang door to door, kadang di lampu merah, kadang juga nyolong bila ada kesempatan. Pada malam hari, Umi menjadi wanita penjaja cinta, kadang di Stasiun Poncol, kadang di Peterongan, atau di mana pun selagi Satpol PP tak bisa menemukannya. Umi tinggal bersama saudara-saudarinya, rumahnya di belakang Gereja Pantekosta. Setidaknya itu informasi mengenai Umi yang ku dapatkan dari nenek, sebagai seorang sepuh di Sampangan.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita pada malam harinya, aku memutuskan untuk mendatangi kediaman Umi, bukan untuk menagih uang itu kembali, sebab keluarga sudah mengikhlaskan, namun dengan tujuan memberi peringatan agar kejadian semacam ini tidak terulang. Nenek memberi tahu biasanya Umi tidak sedang di rumah ketika malam, sebab ia harus “bekerja”, namun aku bersikukuh berangkat dengan alasan: paling tidak ada keluarganya yang bisa ku ajak ngobrol.
Bersama empat orang teman, aku mendatangi rumah Umi, rumah hijau itu. Sebelumnya kami tidak tau apa yang akan dihadapi, tidak ada yang berniat untuk menciptakan keributan, namun kami percaya, lima orang anak muda sudah cukup untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Syukurnya hal yang terjadi tidak demikian, kami diterima dengan baik malam itu.
ADVERTISEMENT
Benar apa yang dikatakan nenek, Umi tidak sedang di rumah, aku hanya menemui kakak kandung perempuannya. Wanita itu memberi tahu bahwa Umi jarang pulang ke rumah, dan ketiga anaknya telantar: anak pertamanya seusia anak SMA; menggelandang entah ke mana, anak keduanya; Afan, dinafkahi oleh wanita itu, dan terakhir anak bungsunya yang masih kecil; seorang perempuan, diurus oleh orang lain yang bekerja sebagai pemulung. Ketiga anak tersebut tidak ada yang mengenyam bangku sekolah.
Aku mendekati Afan, secara fisik dan personal, untuk menggali cerita dari dirinya: apa yang selama ini ia rasakan, apa komentarnya tentang sang ibu, dan ada kah hasrat untuk mengubah keadaan. Ibu apikan katanya, walau ia paham betul apa yang dilakukan sang ibu adalah salah, namun baik Afan maupun wanita itu, mereka lelah dalam mengoreksi kelakuan Umi, di sisi lain problem hidup mereka sendiri pun juga sudah cukup menguras energi. “Orang e susah dibilangi og mas, nek diingetin malah ngamuk, aku yo wes capek” ujar sang kakak perempuan.
ADVERTISEMENT
Perhatian ku tidak lagi tentang Umi dan apa yang ia telah lakukan, masa depan Afan lebih penting dari semua itu. Ku tanya: “Koe ngombe, ngudud, ngelem rak?” Afan menyangkal, dan aku tidak melihat ada kebohongan di kedua matanya saat menjawab pertanyaan itu. Afan hidup di tengah kekacauan, masih mampu menjaga pikirannya tetap jernih. Ia jelas lebih dewasa dari banyak bocah lain; hidup menempa mentalnya.
Afan dan kedua anak Umi lainnya, merupakan korban dari keadaan. Anak seusia mereka tidak boleh dilibatkan dalam carut-marut dunia. Afan seharusnya malam itu sedang mengerjakan PR, bersiap mengikuti sekolah daring esok, danmungkin nonton beberapa video youtube sebelum tidur untuk sekedar menghilangkan penat, alih-alih diganggu oleh orang asing yang datang ke rumahnya karena kelakuan sang ibu.
ADVERTISEMENT
Tidak ingin mengganggu istirahat Afan, lantas aku dan keempat teman segera pergi meninggalkan rumah hijau itu, aku menitipkan pesan kepada sang kakak untuk mengingatkan Umi agar tidak mengulangi perbuatannya. “Koe kudu dadi wong sukses ya fan, ben iso ngubah keadaan, tak usahake aku bakal ngei bantuan segera” ucap ku mengakhiri perjumpaan dengan Afan. Kami berlima pulang ke rumah masing-masing, setelah memarkirkan mobil di garasi, aku segera membersihkan diri, lalu merebahkan tubuh di atas kasur empuk, di dalam ruangan dingin ber-ac, selimut hangat menutupi kaki-kaki ku. Sebelum kantuk melahap kesadaran, ada satu hal yang ku sadari: hidup yang selama ini ku keluhkan, ternyata merupakan impian bagi orang lain.
Tulisan ini dipersembahkan untuk Afan, dan anak-anak lain yang bernasib sama di luar sana, harapannya pejabat daerah setempat bisa turut membaca dan segera mengirimkan bantuan untuk mereka.
ADVERTISEMENT
Semarang, 28 Juli 2021.