Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Filsafat Sebagai Vaksin Penyakit Berpikir
5 Juni 2020 14:12 WIB
Tulisan dari Elan Patria Nusadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mempelajari filsafat di tengah hiruk pikuk nya masyarakat indonesia bagaikan bernyanyi lagu folkindie di tengah konser hardcore punk, atau ibarat mengenakan baju oren di tengah tribun supporter persib. ya walaupun mungkin itu memang agak aneh, tapi itu menggambarkan kondisi dimana orang-orang di sekeliling akan memandang sinis dirimu, entah mereka akan mulai menganggap mu gila atau bahkan mengira kamu adalah atheis yang tidak percaya eksistensi tuhan. Mereka yang belajar filsafat dicap sebagai orang kurang kerjaan, yang menghabiskan waktunya untuk merenung hal-hal ngak penting lalu berakhir dengan kehilangan akal sehat nya.
ADVERTISEMENT
Sentimen tersebut memberikan stigma buruk bagi ilmu yang dijuluki ibu dari segala ilmu ini. Sehingga menjauhkan orang untuk mempelajari filsafat, atau bahkan setidaknya untuk mengerti apa sih yang dipelajari di dalam ilmu filsafat ini.
Saya sendiri bukanlah orang yang sedang mengenyam pendidikan formal di bidang filsafat, namun saya sadar betul terhadap betapa pentingnya memberikan asupan sehat kepada pikiran saya, salah satunya ya ilmu filsafat. Kesadaran ini berangkat dari rasa heran yang tumbuh setelah menyadari anomali cara berpikir kebanyakan orang disekitar saya, tidak jarang ketika diskusi saya menemui kesalahan-kesalahan logika yang membuat obrolan jadi mandek dan arah nya ngalor-ngidul, entah itu ad hominem, ad populum, strawman fallacy dan berbagai kategori kesesatan berpikir lain nya.
ADVERTISEMENT
diluar sana masih banyak orang-orang dengan metode berpikir seperti itu. Hal ini dibuktikan dengan begitu mudahnya masyarakat indonesia dipecah belah karena termakan isu hoax ataupun tergiring propaganda. Saya jadi teringat perkataan Rocky Gerung, ijazah merupakan tanda bahwa seseorang pernah sekolah, bukan karena berpikir. Dan membuat saya sadar, lawan berdebat tidak selamanya menjadi teman berpikir jika lawan berdebat nya ngak punya kemampuan berpikir yang baik.
Tumpulnya daya kritis seseorang, dan ketidakmampuan nya dalam menyusun argumen secara struktural. Akan membentuk pribadi yang judgemental, antikritik dan sumbu pendek. bila dibiarkan terus menerus maka perkelahian karena perbedaan pendapat akan semakin menghiasi kolom komentar dunia maya atau bahkan dunia nyata, kalau perbedaan pendapat nya dicurahkan melalui diskusi dan tukar pikiran secara sehat ya ngak masalah, tapi yang terjadi adalah adu saling mengumpat dan ngak jarang berakhir adu jotos.
ADVERTISEMENT
Ngak heran kenapa sekarang semua hal dan semua isu selalu memicu keributan yang tidak perlu di indonesia, bahkan besok kalau ada berita bayi komodo lahir, kemungkinan ada saja orang yang ribut karenanya. "komodo yang lahir itu adalah konspirasi elit global!"
Namun saya ingin menegaskan, mereka ini adalah korban. korban dari suatu kegagalan sistem pendidikan dengan semua orang sebagai pelaku yang punya peran kesalahan nya masing-masing.
Hal ini akan berbeda andaikan pelajaran tentang filsafat dan logika diajarkan di kurikulum sekolah, atau setidaknya di pendidikan rumah dengan orang tua sebagai gurunya. Mengingat ilmu filsafat sendiri menuntut orang yang mempelajarinya untuk berpikir, sebagai contoh ketika kita menganalisis pikiran-pikiran filsuf terdahulu, trio filsuf barat terkenal yaitu socrates, plato, dan aristoteles misalnya, sangat diperbolehkan bagi kita untuk mengkritisi pemikiran tersebut kalau dirasa terdapat hal yang kurang tepat. Sehingga secara tidak langsung akan melatih seorang anak dalam berpikir, menyusun argumen dan menganalisis permasalahan yang akan dihadapi selama hidupnya.
ADVERTISEMENT
cara berpikir tesis-antitesis untuk menghasilkan sintesis inilah yang perlu dimiliki seorang individu untuk menjadi rasional. sehingga mampu menciptakan atmosfer obrolan yang tidak hanya berkutat tentang ghibah atau gosip, namun juga dialektika argumen demi mencapai sintesis dari ide-ide yang dibicarakan.
Ditambah lagi ada aliran filsafat seperti stoikisme yang berbicara tentang cara bersikap menghadapi berbagai persoalan hidup, yang tentunya akan berpengaruh positif terhadap mental dan pengembangan karakter seorang anak. Aliran filsafat inilah yang menjadi bahasan di buku filosofi teras oleh Henry Manampiring
Dalam diskusi daring saya bersama pak Budiman Sudjatmiko, beliau berkata bahwa filsafat menjadi alat bagi seorang manusia untuk mengambil hikmah dari apa yang terjadi di masa lalu sehingga dapat memproyeksikan dengan baik dalam menentukan apa yang ingin dilakukan nya di masa depan.
ADVERTISEMENT
Dan yang terjadi berdasarkan pengalaman saya sebagai seseorang yang belum lama lulus dari sekolah, kami dituntut untuk memecahkan soal dengan embel-embel HOTS tanpa pernah diajari caranya berpikir secara kritis. Ini seperti orang yang dituntut untuk mencetak gol tanpa pernah diajari caranya menendang bola.
Mengikuti umur seorang anak, pendidikan filsafat di usia dini harus disampaikan dengan bahasa dan metode yang mudah dipahami. kita bisa meniru dari cerita di buku dunia sophie, bagaimana cara Alberto Knox menyampaikan pelajaran filsafat kepada seorang gadis berumur 14 tahun bernama Sophie Amundsen. Membungkus filsafat dengan cerita seru, lalu disampaikan dengan analogi yang mudah dicerna, sampai bumbu komedi yang juga ikut ditambahkan, hal ini agar filsafat tidak terkesan membosankan di mata anak.
ADVERTISEMENT
namun alih-alih membaca dunia sophie, justru banyak yang lebih memilih hanyut berbelanja di dunia shopee. hadeh.
Mungkin membayangkan kondisi masyarakat yang sepenuhnya cerdas adalah hal yang terlalu utopia, bahkan saya sendiri merasa masih terlalu bodoh untuk berbagai hal, namun saya percaya solusi permasalahan manusia yang kita sering temui sekarang ini pangkalnya berada pada pendidikan yang efektif, yang tidak hanya menjawab soal-soal tekstual diatas kertas namun juga mampu menjawab soal-soal kontekstual di kehidupan.
sebagai penutup, saya ingin mengutip sepatah perkataan filsuf sekaligus seniman jerman yaitu Goethe :
“Orang yang tidak belajar dari kehidupan 3000 tahun yang lalu, berarti dia hidup tidak menggunakan akalnya”