Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menguak Asal-muasal Bangsa yang Lahir Atas Pemikiran Bapak Soneta Indonesia
1 Februari 2021 7:47 WIB
Tulisan dari Elen Azmiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tak mengenal dengan pahlawan nasional yang satu ini. Ya, ia adalah Mohammad Yamin. Yamin merupakan tokoh yang terkenal serba bisa. Tokoh yang berasal dari Sawahlunto, Sumatra Barat ini memang patut dijadikan suri tauladan bagi genersi muda Indonesia saat ini dalam menyemarakkan semangat perjuangan dan kehausan dalam menimba ilmu pengetahuan. Tidak hanya terkenal serba bisa, Yamin juga terkenal sebagi sosok yang sangat tangguh, cemerlang, dan tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Sehingga hal ini lah yang mampu menghantarkannya menjadi sosok yang dihormati dan memiliki peran yang sangat penting bagi bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya Yamin merupakan seorang sastrawan Indonesia yang sangat lihay dalam berkata-kata, bahkan bertolak dari karyanyalah bangsa ini dapat terlahir dan berdiri kokoh sampai saat ini. Dalam bidang kesusastraan, Yamin sendiri dipandang sebagai “Perintis; Puisi Baru” dalam kesusastraan Indonesia, dan dipandang pula sebagai Bapak/pelopor Soneta Indonesia. Karier Yamin dalam bidang kepenulisan dimulai pada tahun 1920-an. Pada tahun inilah Yamin menciptakan sebuah puisi yang berjudul Tanah Air sebagai wujud pemikirannya tentang Indonesia dalam bentuk “Tanah Air” yang kemudian baru diterbitkan pada tahun 1922. Menurut Susanto Zuhdi dalam bukunya yang berjudul Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia “(Pidato Pengukuhan Guru Besar, 25 Maret 2006), dikatakan bahwa Tanah Air yang mula dimaksudkan sebagai tanah kelahirannya yaitu Minangkabau kemudian dilekatkan pada kawasan Nusantara sebagai sebuah wilayah milik bangsa Indonesia. Dari pemahaman itulah, Yamin menyadari betapa pentingnya bangsa jika mempunyai bahasa sendiri sebagai alat untuk mempersatukan danatau merekat hubungan antar penduduknya. Saat itu, hanya bahasa Melayu lah yang dianggap dapat memungkinkan penduduknya untuk saling berkomunikasi dan bergaul, karena bahasa Melayu sudah lebih dahulu dijadikan sebagai Lingua franca penduduk Nusantara. Dari situlah Yamin makin gencar meneriakan semangat dan pentingnya memiliki sebuah bahasa yang dapat dijadikan sebagai pemersatu atas keberagaman suku bangsa di bumi Nusantara.
ADVERTISEMENT
Lalu, enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1928 terbitlah sajak barunya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku bertepatan dengan Kongres Pemuda yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres pertama ini Yamin memperoleh kepercayaan untuk membuat sebuah konsep yang berisikan rumusan tentang bahasa, yang berbunyi: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu”, namun hal tersebut mendapatkan banyak sekali pertentangan dan penuh dengan pertimbangan, hingga pada akhirnya frasa “bahasa Melayu” diubah menjadi “bahasa Indonesia” yang ternyata mendapat dukungan dari banyak pihak, diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Adi Negoro, Sanusi Pane dll.
Kemudian, gagasan Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, pada tahun 1938, yang ditegaskan:
ADVERTISEMENT
…bahasa Indonesia ialah bahasa budaya; sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia: dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu…
Dalam kumpulan sajaknya Pulau Perca atau Sumatra, kemudian Yamin tidak lagi sekedar menyanyikan saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara, dengan berbagai kerajaan dan suku bangsa di seluruh Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Pasai dan lain sebagainya. Dalam salah satu bait dikatakannya pula bahwa:
….. kita sedarah sebangsa
Bertanah air Indonesia
Bukti dari kecintaan dan keagungan bapak Soneta ini kepada Nusantara tidak hanya dapat dibuktikan dengan sajaknya saja, melainkan juga dapat terbuktikan melalui karya-karyanya yang banyak mengusung tema tidak hanya tentang kemerdekaan saja, melainkan juga banyak yang berkisahkan tentang sejarah Nusantara, salah satunya terdapat pada dramanya yang berjudul Ken Arok dan Ken Dedes yang dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe pada tahun 1934.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Suwandi dan Rahardjo. 1983. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia 2. Malang: CV. Warga.
Rosidi, Ajip. 2018. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Cet. ketiga. Bandung: Pustaka Jaya.