Konten dari Pengguna

Ambiguitas Kebenaran di Tengah Maraknya Post Truth di Indonesia

Irhamni Elewarin
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.
25 Desember 2022 11:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irhamni Elewarin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
by : Irhamni Elewarin
zoom-in-whitePerbesar
by : Irhamni Elewarin
ADVERTISEMENT
Secara umum, Post Truth merupakan Era di mana saat kebohongan dapat dengan cepat menyamar serta menyebar menjadi kebenaran. Caranya dengan memanipulasi emosi dan perasaan netizen(Warga net). Post truth merupakan Frasa yang diperkenalkan pada tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublikasikan pada majalah The Nation tersebut, Tesich menyampaikan bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth”. Artikel tersebut adalah bentuk ungkapan kerisauan Tesich terhadap rekayasa propaganda Negara-Negara yang ikut terlibat dalam Perang Teluk di awal tahun 90-an. Perlu diakui bahwasanya propaganda Negara-Negara yang berseteru sangat membingungkan Publik Global saat itu. Fakta dan Hoax menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya media sosial membuat informasi lebih bising dan riuh. Setiap hari pasti ada sesuatu yang ramai diperbincangkan warga net, kata viral sudah tidak asing lagi di telinga kita saat ini. Apalagi saat ini banyak sekali media sosial dari Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, YouTube, sampai TikTok. Hal ini menyebabkan banyaknya informasi yang kita peroleh dalam satu hari, sehingga mungkin bisa saja Kita tidak bisa membedakan mana yang benar, salah, atau bahkan kesalahan yang dibenarkan.
Masalah post truth ini, pada awalnya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan Politik. Namun semakin harinya, post truth turut digunakan dalam segala isu serta agenda. Terdapat kesamaan antara post truth dengan berita hoax. Baik post truth maupun hoax, Biasanya kedua hal tersebut akan dibungkus dengan judul berita yang bombastis serta fenomenal dan tidak memedulikan data dan kenyataan, bahkan bisa jadi memakai data palsu yang masih samar kebenarannya. Apalagi jika mungkin saja ada akun-akun bayaran, yang sering disebut dengan buzzer, yang memang sengaja diadakan untuk mengangkat suatu topik terus menerus (menyundul/memenas-manaskan), atau turut “titip sandal” tentang berita itu sehingga mengakibatkan pengguna medsos menjadi gelisah bahkan percaya akan “kebenaran” berita hoax atau palsu tersebut.
ADVERTISEMENT
Bahkan lebih gilanya lagi, Warga net juga ikut terpengaruh untuk tidak sekadar hanya mempercayai berita bohong itu, namun dengan sukarela ikut berpartisipasi dalam mendistribusikannya melalui akun-akun Mereka. Dengan kekuatan pengguna Warga net, maka bukanlah hal yang mustahil jika Hoax tersebut akan seacara masif beredar di Sosial Media. Di Indonesia, berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Agensi Marketing “We Are Social” dan platform manajemen media sosial “Hootsuite”, terbukti bahwasanya sampai dengan Januari 2021 lebih dari separuh Penduduk di Indonesia telah menggunakan Media Sosial.
Laporan Digital 2021: The Latest Insight Into The State of Digital secara gamblang menyebutkan bahwasanya dari total 274,9 juta Penduduk Indonesia, 61,8% -nya (170 juta) telah berpartisipasi dalam menggunakan Media Mosial. Sebuah angka yang Fantastis, apalagi naasnya jika Mereka gunakan untuk turut ikut mempopulerkan berita hoax secara intens dan terus-menerus. Kondisi tersebut tidak bisa dipungkiri akan menimbulkan kekhawatiran jika fenomena post truth sebagaimana ucapan Joseph Goebbels akan menjadi nyata. Publik akan dibingungkan terhadap kondisi di mana apa yang fakta dan apa yang hoax.
ADVERTISEMENT
Literasi Digital saat ini menjadi hal yang sangat penting hukumnya untuk meningkatkan pemahaman Pengguna Media Sosial, karena dengan Literasi digital-lah yang dapat menangkis hal tersebut. Literasi Digital berasal dari dua kata, yakni Literasi dan Digital. Literasi sendiri adalah istilah yang harusnya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Literasi adalah kemampuan Seseorang dalam membaca dan menulis. Artinya ketika dipasangkan dengan istilah Digital, maka jelas memberikan pengertian bahwa Literasi Digital merupakan keahlian dalam menggunakan Media Sosial dengan beberapa kemampuan yang mendasar, pada level kognitif Literasi. Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting untuk mengenal serta mengetahui Literasi Digital sebagai suatu penyelesaian masalah dalam menghadapi era post truth.
Diperlukannya Literasi Digital agar Masyarakat mampu bersikap kritis dalam menanggapi setiap informasi dan interaksi yang ada. Masyarakat perlu diberikan pemahaman berkenaan dengan aturan dan tata cara yang harus digunakan ketika memanfaatkan Media Sosial dalam kehidupan sehari-harinya. validnya suatu informasi harus dikonfirmasi dengan menelusuri Media-Media lain. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengkonfirmasi apakah berita tersebut memiliki informasi yang berimbang atau tidak, merupakan fakta atau bukan.
ADVERTISEMENT
Meningkatkan budaya Literasi sebagai salah satu upaya yang bertujuan untuk mencegah ataupun mengobati diri dari ancaman era post truth menjadi salah satu senjata kunci, khususnya Literasi Digital. Dengan memahami dan mengkonfirmasi informasi yang didapat mulai dari sumber, isi, Penanggung jawab dan mengetahui secara jelas hal-hal yang memang dilarang dalam dunia jurnalistik, sehingga Kita bisa lebih memilah dan memilih informasi atau berita yang hoax dan yang fakta, serta yang masih abu-abu kebenarannya. Di sisi lain dengan meningkatkan budaya Literasi dapat memperluas perpustakaan pengetahuan Kita, sehingga Kita dapat mengkaji isu dengan beragam sudut pandang tentunya dengan disertai referensi yang mumpuni untuk di berikan kepada warga net.