Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Anak Perbatasan yang Tidak Bisa Dianggap Remeh
17 Agustus 2018 23:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Elfani Prassanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi yang tinggal di kota besar dengan segala kenyamanan dan fasilitas penunjang hidup yang tersedia, kadang kala luput perhatian dengan hal yang terjadi di daerah pinggiran, apalagi perbatasan. Di daerah perbatasan contohnya, memiliki peran penting sebagai garda terdepan wajah Indonesia di hadapan negara lain di seberangnya. Sebagai salah seorang peserta diklat diplomat madya di Kementerian Luar Negeri, kunjungan community service ke kota Belu, Nusa Tenggara Barat, kota perbatasan antara Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste membuat saya menemukan hal-hal yang istimewa mengenai anak-anak di Belu.
ADVERTISEMENT
Keberanian dan Inisiatif
Aksi heroik Johanes atau Joni ketika upacara peringatan 17 Agustus di lapangan yang dekat dengan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain sudah merebak luas di jagat maya. Inisiatif yang didorong dengan keberaniannya memanjat tiang bendera (yang lebih tinggi dari tiang panjat pinang) untuk mengambil tali kait bendera yang tersangkut di ujung atas tiang, demi berkibarnya Sang Merah Putih, membuat hidupnya berubah hanya dalam hitungan jam. Hampir semua media memburu pemberitaan tersebut dan pihak yang berkepentingan tak henti memberikan bentuk apresiasi atas keberaniannya.
Keberanian dan inisiatif untuk berbuat sesuatu yang baik nan mulia adalah sebuah kunci dari pengembangan diri manusia. Hal ini ditambah pula dengan inisiatif Joni untuk mempertahankan kebanggaan Indonesia, yakni bendera Merah Putih berkibar di kala Indonesia memperingati hari kemerdekaannya. Rasa nasionalisme yang ia miliki sangat besar hingga menggerakkan inisiatif dan mendorong keberaniannya untuk mengambil langkah itu. Efek yang lebih dahsyat adalah ia menggerakkan hati ribuan hadirin yang sempat terpana bahkan masyarakat luas mengenai rasa nasionalisme, inisiatif dan keberanian.
(Joni, pelajar SMP, memanjat tiang bendera untuk mengambil kait tali bendera / Foto: dok pribadi)
ADVERTISEMENT
Komunikasi adalah penting
Hal lain yang patut dibanggakan dari anak-anak di Belu adalah ketidaktakutannya untuk berkomunikasi. Saya menemui hal ini ketika bersama dengan seorang rekan diberi kesempatan untuk mengajar di salah satu kelas VI SD Negeri 1 Wirasakti, Belu. Sesuai dengan tema yakni membawa inspirasi bagi warga Belu, kami mencoba berbagi informasi dan pengalaman agar mereka termotivasi untuk bermimpi dan berjuang menggapainya. Hal yang terjadi malah justru sebaliknya.
Anak-anak ini memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sangat baik, jauh dari perkiraan kami. Diantara keterbatasan telekomunikasi, melalui guru atau orang tua, mereka mendapat situasi terkini mengenai Asian Games di Jakarta dan Palembang atau bahkan mengikuti berita perhelatan Piala Dunia di Rusia yang baru saja selesai. Ketika kami tanyakan cita-citanya, beragam jawaban dengan lantang pun muncul seperti menjadi dokter, guru, pemain sepak bola, suster, tentara serta profesi lain yang sangat mulia. Tidak hanya itu, penguasaan Bahasa Inggris mereka pun cukup baik untuk anak kelas VI di sebuah SD daerah perbatasan. Mereka juga tidak ragu untuk menanyakan banyak hal kepada kami.
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belu, Marsianus Loe mengungkapkan bahwa ia melalui para guru selalu mendorong agar anak-anak diupayakan selalu berani berkomunikasi dan mengungkapkan apa yang di pikirannya sehingga menjadi sebuah diskusi dalam kegiatan belajar mengajar. “Dengan berani mengungkapkan pendapat, maka orang lain akan tahu apa yang sedang dipikirkan dan mungkin saja akan tercipta hal-hal baik dari situ”, tambahnya lagi. Hal itu terbukti dengan anak-anak didik di Belu yang tak ragu untuk mengemukakan pendapat, berbicara di depan umum ataupun ramah terhadap sesama.
(Suasana kelas VI D, SDN 1 Wirasakti, Belu / Foto: dok pribadi)
Gigih dan Pantang Menyerah
Daerah perbatasan yang masih dalam proses pembangunan masih menyisakan area-area yang belum sepenuhnya terjamah oleh akses yang memadai. Kota Belu saat ini memiliki satu sekolah tinggi yakni Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fajar Timur. Sekolah Tinggi ini berlokasi di bukit yang jalan menuju kesana masih terjal dan berbatu. Namun ini tidak menyurutkan minat para mahasiswanya untuk menempuh ilmu. Contohnya, salah seorang mahasiswa semester 6 bernama Eni yang saya temui menceritakan aktivitasnya rutinnya yakni mengikuti perkuliahan sepanjang pagi dan sore segera menuju kembali ke kota untuk bergantian menjaga kios sayur mayur di pasar Atambua. Kiranya potret kehidupan mahasiswi ini bisa mewakili potret kegigihan siswa untuk belajar di tengah keterbatasan faktor sosial ekonomi.
(STISIP Fajar Timur, Atambua tampak samping / Foto: dok pribadi)
ADVERTISEMENT
Jarak ataupun sulitnya akses bukanlah halangan untuk mencapai mimpi dan mengenyam pendidikan. Seberapapun jarak dapat ditempuh dengan metode transportasi yang ada demi menuntaskan niat untuk menjadi manusia yang lebih baik dan berkembang. Tidak ada kata menyerah karena sesuatu keadaan yang kurang ataupun tidak menguntungkan. Yang ada hanyalah kegigihan dan niatan mulia untuk menuntut ilmu demi memperbaiki hidup sehingga menjadi semakin berguna bagi diri sendiri, sesama dan masyarakat luas.
(Tamu dari Pusdiklat Kemlu dan mahasiswa berfoto di depan STISIP / foto: UPT Sesdilu Kemlu)
Semangat mereka menjadi inspirasi kami
Yang pasti berita mengenai Joni sudah meluas karena terlihat nyata di berbagai video yang telah beredar. Cerita mengenai dua hal lain selain Joni adalah untuk melengkapi potret kehidupan anak-anak di Belu. Sebuah kota pinggiran, di perbatasan RI dan Timor Leste, yang kerap luput dari perhatian padahal posisinya ada di pintu terdepan Indonesia. Mereka terus berjuang untuk menjalani hidup dan terus memupuk rasa nasionalisme sehingga bangga menjadi warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perjalanan kami selama di Belu awalnya ditujukan untuk membagi inspirasi terbaik di batas negeri. Selama menjalani aktivitas di kota Belu, saya menyadari bahwa bukan kami yang memberi inspirasi, namun mereka yang lebih menginspirasi dan menyemangati kami. Diantara berbagai keterbatasan yang masih ada, tidak ada keluh dan kesah yang muncul dari anak-anak ini. Hanya senyum dan keramahan yang selalu terpancar acap kali kami bersua dan berinteraksi dengan mereka.
Bahwa di perbatasan negeri, di daerah yang jarang terjamah, daerah yang dianggap pinggiran, ada seutas mimpi yang sedang diperjuangkan, ada sebuah kehidupan yang gigih dijalankan, serta ada sepotong niat dan semangat untuk mengejar perjalanan hidup yang lebih berguna. Pada kenyataannya, mereka jauh lebih semangat, pantang menyerah dan berani untuk memperjuangkan mimpi dan kehidupannya diantara segala keterbatasan. Rasa nasionalisme yang terpupuk akan menjadi bekal mereka untuk kemudian hari dibaktikan kepada negara dan masyarakat. Perjalanan ke Belu menjadi sebuah refleksi bagi diri kami, khususnya saya, untuk melihat kehidupan dari sisi anak pinggiran yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
ADVERTISEMENT
Salam dari Belu.