Dinamika Revisi UU ITE

Elfian Fauzy, SH
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia dan Pemerhati Hukum Siber
Konten dari Pengguna
13 Maret 2021 15:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elfian Fauzy, SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
UU ITE.
zoom-in-whitePerbesar
UU ITE.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia mendengar kabar bahwa Revisi UU ITE yang sebelumnya akan dilakukan secara serius karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan yang ada di masyarakat karena banyak terdapat pasal karet yang multitafsir dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk melaporkan dan memenjarakan seseorang dengan metode penafsiran sendiri yang bergantung pada kepentingan dari masing-masing pihak ternyata tidak tercantum dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas atau Prolegnas Prioritas 2021.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat badan legislasi dan satu satunya partai politik yang mendukung Revisi UU ITE untuk masuk ke Prolegnas Prioritas hanya Partai Demokrat. Ketika menyampaikan alasannya, Partai Demokrat mengatakan bahwa tujuan agar dilakukannya Revisi UU ITE adalah untuk menyesuaikan dengan dinamika yang terjadi dewasa ini dan juga agar tidak terjadi penafsiran terhadap pasal-pasal yang bermasalah. terlebih, di era Presiden SBY, lahirnya UU ITE yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap aktivitas masyarakat di dunia digital.
Sementara pada awalnya Pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM, mengatakan bahwa dalam UU ITE terdapat beberapa Pasal yang dianggap multitafsir dan kerap disalahgunakan. pasal tersebut yaitu Pasal 27, 28, dan 29. Pada Pasal 27 mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik; Pasal 28 mengatur mengenai penodaan agama; dan Pasal 29 mengatur tentang pengancaman. Ketiga Pasal tersebut pada pokoknya tidak memenuhi syarat legalitas dalam norma hukum. menurut Wakil Menteri Hukum dan Ham, dalam prinsip asas legalitas dikenal empat hal.
UU ITE (Ilustrasi) Foto: Pixabay
Asas Legalitas UU ITE
ADVERTISEMENT
Pertama, bahwa tidak ada suatu perbuatan pidana dan tidak ada suatu pidana tanpa adanya undang-undang yang mengatur sebelumnya; Kedua, tidak ada suatu perbuatan pidana dan tidak ada suatu pidana tanpa adanya undang-undang yang dibuat secara tertulis; ketiga, tidak ada suatu perbuatan pidana dan tidak ada suatu pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas; dan keempat, tidak ada suatu perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat.
Dari ke semua syarat tersebut, menurutnya Pasal tersebut tidak memenuhi syarat ketiga dan keempat. kemudian per tanggal 11 Maret 2021 Direkrut Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (IJCR), Ermasus Napitupulu mengatakan bahwa UU ITE yang berlaku saat ini sudah memiliki dampak buruk terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia terutama pada hak-hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. bahkan, UU ITE sejauh ini terbukti menyasar pada ekspresi-ekspresi yang sah dan acapkali disalahgunakan untuk kepentingan yang sangat beragam, baik pembalasan dan pembungkaman atas suatu kritik yang terlontar.
ADVERTISEMENT
hal tersebut bukan tanpa data, terlebih hasil riset dari IJCR bahwa UU ITE yang berlaku saat ini sejatinya pernah direvisi pada tahun 2016 lalu namun belum memperbaiki kelemahan yang ada pada UU ITE tahun 2008. bahkan revisi yang dilakukan belum tepat sasaran karena pasal-pasal yang berupa duplikasi dari ketentuan KUHP masih longgar dan bebas dengan cakupan yang luas selain itu ancaman pidana yang terdapat dalam UU ITE tidak memberikan pembobotan pemidanaan sesuai dengan tingkat kejahatan yang berbeda-beda.
terakhir, ICJR menyampaikan bahwa sejauh ini, UU ITE telah gagal dalam menghadirkan keadilan dan memberikan perlindungan pada masyarakat serta gagal mencapai tujuan pemidanaan yang telah diharapkan. terlebih dengan tidak masuknya UU ITE pada Prolegnas Prioritas 2021 akan membuat semakin terlambatnya Revisi UU ITE.
ADVERTISEMENT
Saran
Dalam hal ini, penulis memberikan saran kepada Pemerintah dan DPR untuk memasukkan kembali rencana Revisi UU ITE ke dalam Prolegnas, terlebih hingga saat ini Pemerintah telah membentuk tim kajian UU ITE yang bertugas memeriksa Pasal-Pasal yang dianggap karet dan mengganggu proses penegakan hukum karena bersifat multitafsir dan disalahgunakan oleh sebagian pihak yang memiliki kepentingan.
Dengan merevisi UU ITE sudah menunjukkan keseriusan Pemerintah dan DPR untuk membuat suatu terobosan dalam hal melindungi hak warga negara khususnya dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi. selain itu, dalam hal menjaga ruang internet tetap aman dan melindungi berbagai aspek terhadap kemajuan teknologi dan informasi yang sedemikian pesat berkembang, merupakan suatu keharusan untuk segera merevisi UU ITE.
ADVERTISEMENT
Elfian Fauzy
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Peneliti PSHK FH UII