Mengenal Tradisi Grindadrap

Sovy Elia Putri
Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
11 Juli 2023 17:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sovy Elia Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Paus Pilot yang diburu | Sumber : shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Paus Pilot yang diburu | Sumber : shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menurut World Wide Fund (WWF), populasi lumba-lumba dan ikan paus berukuran kecil terancam punah. Perburuan terhadap spesies tersebut menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, bila dibandingkan dengan spesies paus berukuran besar, spesies ini tergolong kurang mendapat perhatian internasional saat ini. Populasi ikan paus dan lumba-lumba yang terus menurun dapat mempengaruhi kehidupan ekosistem laut. Ini juga berarti bahwa populasi ikan paus dan lumba-lumba memiliki dampak yang signifikan terhadap ekosistem dan keberadaan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, setiap kegiatan yang berhubungan dengan spesies tersebut harus mematuhi aturan-aturan hukum untuk mewujudkan keadaan lingkungan hidup yang lebih baik.
Ilustrasi perburuan tradisional lumba-lumba | Sumber : shutterstock.com
Belakangan ini tradisi grindadrap di Kepulauan Faroe menjadi sorotan internasional. Tradisi grindadrap merupakan kegiatan perburuan paus yang dilakukan oleh masyarakat Denmark secara turun-temurun. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Denmark di Kepulauan Faroe. Tradisi ini telah ada sejak abad ke-9 yang diberikan oleh orang-orang Viking. Pelaksanaan tradisi grindadrap rutin dilakukan pada bulan Juli – September atau setiap musim panas tiba. Setiap tahun masyarakat Denmark melakukan perburuan paus pilot dan lumba-lumba untuk dikonsumsi setelah kegiatan selesai dan akan berhenti saat persediaan daging paus atau lumba-lumba telah cukup. Bjarni Mikkelsen sebagai Ahli Biologi dari Kepulauan Faroe menyatakan bahwa sekitar 900-1000 ekor paus dan lumba-lumba diburu setiap tahunnya. International Union for Conservation Alam (IUCN) memperkirakan tingkat pembunuhan spesies tersebut naik sekitar 0,1% dari populasi dan dapat dianggap berkelanjutan.
Ilustrasi Orang Viking | Sumber : shutterstock.com
Tradisi grindadrap berasal dari Suku Norse yang sudah terbiasa melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap lumba-lumba maupun paus. Oleh karena itu, masyarakat Faroe menganggap tradisi ini merupakan hal yang wajar. Namun, secara normatif, kegiatan tradisi grindadrap berlawanan dengan hukum internasional yang berlaku. Pasalnya, hukum internasional melarang segala tindakan pembunuhan terhadap paus ataupun lumba-lumba, kecuali digunakan untuk kepentingan riset atau penelitian. Saat ini terdapat banyak perkembangan dan tantangan yang lebih kompleks dalam tradisi grindadrap. Salah satu nya adalah perubahan dan pembaharuan pada kebijakan yang mengatur tradisi ini. Berdasarkan hasil penelitian oleh Sandra Alter an Jennifer Lonsdale dijelaskan bahwa tradisi grindadrap dikelompokkan sebagai Aboriginal Subsistence Whaling (ASW). ASW adalah aktivitas perburuan dan pembunuhan terhadap paus dan lumba-lumba demi kepentingan budaya. Sebagai negara yang memiliki yurisdiksi tradisi grindadrap, Denmark berupaya dalam mempertahankan dan melestarikan tradisi Grindadrap melalui pemanfaatan hukum internasional sebagai instrumen politik. Hukum internasional yang dimanfaatkan oleh Denmark meliputi United Nations Declaration of the Right Indigenous Peoples (UNDRIP) dan Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
Ilustrasi bendera Kepulauan Faroe | Sumber : shutterstock.com
Dalam UNDRIP terdapat beberapa pasal yang membahas tentang hak-hal masyarakat adat dalam mempraktikkan, mempertahankan, mengembangkan serta melestarikan tradisinya sendiri. Beberapa pasal digunakan sebagai landasan dalam menganalisis isu ini berkaitan dengan hak masyarakat adat (indigenous peoples) yang terkandung dalam UNDRIP. Salah satu pasalnya adalah Article 11(I) yang berbunyi “Masyarakat adat mempunyai hak untuk mempraktikkan dan memperbarui tradisi-tradisi dan adat budaya mereka. Hal ini meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi, dan mengembangkan wujud kebudayaan mereka di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, seperti situs-situs arkeologi dan sejarah, artefak, desain, upacara-upacara, teknologi, seni visual, dan seni pertunjukkan, dan kesusasteraan”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat adat (indigenous peoples) di dunia memiliki hal untuk melestarikan dan melindungi apapun bentuk budaya dan praktisi yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Oleh karena itu, banyaknya protes serta ancaman dari lingkungan internasional, tidak memudarkan tradisi ini karena masyarakat setempat telah menganggap grindadrap sebagai identitas kebangsaan orang-orang Kepulauan Faroe.
ADVERTISEMENT
Berkenaan dengan pemanfaatan hukum internasional dalam melindungi tradisi grindadrap, Denmark adalah salah satu negara yang telah meratifikasi ICESCR pada 6 Januari 1972. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, maka pada saat itu pula konvensi berlaku bagi Kepulauan Faroe. Salah satu implementasi dari pasal-pasal ICESCR adalah pasal 1(I) yang bermakna bahwa pemerintah Kepulauan Faroe secara independent mengelola semua wilayah pemerintahannya sendiri termasuk dalam masalah konservasi dan pengelolaan stok paus dalam 200 mil zona perikanan. Berdasarkan pasal ini masyarakat Kepulauan Faroe berhak menerapkan grindadrap sebagai identitas nasional yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan orang-orang Faroe.