Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pemimpin Perempuan dalam Perspektif Masyarakat Desa
20 Juni 2023 20:48 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Elisa Putri Natalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Salah satu peran masyarakat sebagai warga negara adalah partisipasinya dalam politik. Turut andil dalam kegiatan politik merupakan hak seluruh warga negara. Akan tetapi, masih ditemukan banyak kasus mengenai ketidaktepatan cara pandang masyarakat terhadap perempuan yang andil dalam kegiatan berpolitik. Anggapan mengenai laki-laki lebih pantas dijadikan pemimpin seakan-akan menjerat perempuan untuk tidak turut campur dalam kegiatan politik. Padahal, keterlibatan perempuan dapat mengubah kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera (Tedjo, 2022).
ADVERTISEMENT
Pandangan yang demikian seharusnya mampu membawa kita lebih jauh untuk memahami atau bahkan mengubah sudut pandang masyarakat, khususnya masyarakat di desa-desa kecil, agar tercipta politik yang bebas, tanpa memandang gender atau hal lain yang tidak relevan dalam politik. Sehingga, perempuan juga mempunyai persamaan hak dengan laki-laki untuk andil menjadi pemimpin. Tentunya, tulisan ini memuat bagaimana cara pandang masyarakat desa terhadap perempuan yang berpolitik, serta bagaimana aksi-aksi sederhana yang dapat kita lakukan untuk mengubah perspektif yang cenderung sempit menjadi sudut pandang yang lebih terbuka.
Pemimpin menjadi pemegang dan penentu keberhasilan suatu organisasi. Pemimpin juga memegang tanggung jawab paling besar, membawahi dan mengatur aktor-aktor lain yang terlibat dalam suatu organisasi. Tanpa adanya pemimpin, organisasi tidak dapat berjalan dengan sempurna. Oleh sebab itu, suatu organisasi membutuhkan pemimpin yang cerdas, ulet, bertanggung jawab, juga memiliki wawasan yang luas sehingga mampu mencari solusi pada setiap permasalahan yang muncul di organisasi. Pemimpin yang baik juga akan menciptakan sinergi sumber daya dan mampu menggali potensi yang dimiliki oleh individu-individu yang dipimpinnya (Julianto & Agnanditiya Carnarez, 2021).
ADVERTISEMENT
Keahlian menjadi seorang pemimpin tidak hanya bisa kita dapati dalam diri seorang laki-laki saja. Mengingat, sejauh ini eksistensi mengenai gender equality semakin mendunia. Seharusnya, fenomena ini mampu melahirkan perspektif baru, bahwasanya tidak hanya laki-laki saja yang pantas dijadikan pemimpin. Padahal, jika kita beranjak ke luar, tak jarang ditemukan perempuan dengan segudang prestasi. Akan tetapi, prestasi tersebut masih tertutupi dengan stigma masyarakat desa, mengenai peran perempuan yang seharusnya cukup terjun di bagian domestik saja. Padahal, perempuan perlu dilibatkan dalam agenda politik, bahkan di tingkat nasional. Tujuannya, adalah mengurus isu berkaitan dengan ibu hamil, menyusui, perlindungan anak, reproduksi dan lain sebagainya (Tedjo, 2022, hal. 30). Pun dengan Sapto dan Marzellina, dalam Administrative Law & Governance Journal (Budoyo & Hardiyanti, 2021, hal. 242), yang telah menerangkan bahwa:
ADVERTISEMENT
“Keterlibatan perempuan dalam berbagai tahapan pembangunan sangatlah penting, dalam rangka merumuskan kebijakan yang akan dijalankan. Peran serta perempuan ini sebagai upaya untuk mewujudkan kebijakan yang berkeadilan gender.”
Data statistik seluruh dunia selalu menunjukan bahwa angka partisipasi perempuan dalam pasar kerja dan politik selalu lebih kecil dari laki-laki. Dunia politik dinilai sebagai dunia yang keras, membutuhkan pikiran yang kritis, berkecimpung di dunia yang penuh debat, dan semua hal tersebuat diasumsikan sebagai milik laki-laki (Supartiningsih, 2003, hal. 50). Perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang rendah, dianggap tidak mampu memegang suatu organisasi, tidak pantas menjadi pemimpin, dan dikodrati menjadi makhluk yang harus tunduk pada laki-laki. Stigma ini menjadikan hanya sedikit wanita yang mau berkecimpung di bidang politik. Padahal, banyak perempuan yang memiliki kualitas tinggi sehingga ia pantas bersaing dengan pemimpin yang berjenis kelamin laki-laki.
ADVERTISEMENT
Sejauh apa yang dapat kita lihat, para pemimpin di negara ini didominasi oleh laki-laki. Kesenjangan gender dalam hal ini sangat terasa adanya. Perempuan seakan dijerat dan tidak diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin. Padahal, derajat dan hak perempuan setara dengan laki-laki. Tentu saja, diskriminasi juga ketimpangan gender ini menjadi salah satu hal yang melanggar hak perempuan sebagai warga negara, utamanya untuk turut campur dalam kegiatan politik.
Sebagai warga negara, kita memiliki banyak hak. Salah satu hak dasar sebagai warga negara adalah adanya kebebasan untuk turut andil dalam kegiatan berpolitik. Salah satu implementasinya adalah berhak memilih atau dipilih tanpa memandang gender. Hak setiap warga negara untuk ikut serta pada kegiatan politik tertuang dalam Undang-Undang Pasal 28. Yang artinya, tidak ada batasan tertentu bagi tiap warga negara untuk melakukan kegiatan politik, utamanya permasalahan gender.
ADVERTISEMENT
Pandangan yang seperti ini didasari karena kebiasaan masyarakat dipimpin oleh laki-laki. Sehingga, mereka menganggap kasta perempuan berada setingkat di bawah kasta laki-laki. Perempuan dikatakan tak pantas untuk menjadi pemimpin karena anggapan lemah dari masyarakat, selain itu masyarakat juga beranggapan jika perempuan tidak setangguh laki-laki.
Kesenjangan antara kasta laki-laki dan perempuan masih begitu terasa di banyak wilayah, terlebih desa-desa yang masih menganut budaya patriarki. Perempuan dianggap tidak mampu memegang kendali suatu wilayah. Perspektif masyarakatnya cenderung mengatakan bahwa suatu wilayah yang dipimpin perempuan tidak akan maju.
Berbagai pendapat menyimpulkan bahwa perempuan yang turut berkecimpung dalam dunia politik adalah sesuatu yang salah. Terlebih bagi masyarakat desa yang telanjur beranggapan jika kodrat perempuan itu menjadi ibu rumah tangga, bukan menjadi pemimpin. Bagi mereka, apabila laki-laki masih ada, maka yang pantas menjadi pemimpin adalah laki-laki. Mindset masyarakat desa perlu diubah, agar perempuan tidak didiskriminasi. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan telah dikatakan bahwa segala bentuk diskriminasi itu harus dihapuskan. Namun, pada kenyataannya hingga saat ini diskriminasi terhadap perempuan tetap ada.
ADVERTISEMENT
Untuk menghentikan tindak diskriminasi terhadap perempuan dan mengubah perspektif masyarakat bahwa perempuan dan laki-laki itu setara diperlukan banyak aksi. Beberapa aksi yang dapat dilakukan adalah membantu peningkatan value masyarakat desa, terutama bagi perempuan. Memberikan pemberdayaan lebih terhadap perempuan melalui kegiatan-kegiatan yang memberikan manfaat, juga melakukan penyuluhan atau sosialisasi di desa yang sifatnya membuka pikiran masyarakat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kekuatan yang setara.
Sehingga, sosok perempuan memiliki nilai dan tidak dianggap rendah begitu saja. Perempuan diharapkan memiliki keberanian lebih untuk menyuarakan pendapat dan mengajukan diri menjadi pemimpin. Kegiatan-kegiatan di atas dapat dijadikan sebagai aksi nyata untuk mengurangi atau bahkan menghentikan tindak diskriminasi terhadap perempuan.
Melalui paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi pemimpin adalah hak semua orang. Baik laki-laki atau perempuan memiliki kesetaraan hak untuk memilih, dipilih, serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik. Akan tetapi, perspektif masyarakat desa sangat beragam dan kebanyakan kontradiktif dengan pernyataan tersebut.
ADVERTISEMENT
Umumnya, masyarakat desa masih awam dengan istilah gender equality. Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki tentu saja tidak sepadan dengan eksistensi undang-undang. Hal tersebut juga mengakibatkan masyarakat desa berasumsi bahwa kodrat dan strata perempuan ada di bawah laki-laki.
Masyarakat desa cenderung menganggap perempuan itu lemah, sehingga tidak cocok jika dijadikan pemimpin. Mereka juga mengatakan jika takdir perempuan itu ada pada urusan rumah tangga. Padahal, banyak sekali perempuan-perempuan hebat di luar sana yang memiliki pendidikan tinggi, dan mampu menjadi pemimpin yang baik.
Perspektif masyarakat yang demikian didasari karena mindset mereka yang sudah terbentuk dari awal. Bagi mereka, pemimpin itu harus laki-laki. Budaya patriarki masih melekat dengan jiwa masyarakat desa. Untuk mengubah sudut pandang mereka terhadap perempuan yang menjadi pemimpin sangatlah susah. Diperlukan banyak cara untuk menanamkan pikiran bahwa siapa saja memiliki hak untuk memimpin suatu wilayah.
ADVERTISEMENT
Beberapa usaha yang dapat dilaksanakan adalah dengan mengadakan penyuluhan bagi warga desa, dengan tujuan persuasi agar mereka memahami apa itu kesetaraan gender. Sehingga tidak ada lagi yang dinamakan diskriminasi wanita. Kemudian, hal lain yang dapat dilakukan adalah membuat suatu komunitas pemberdayaan bagi perempuan, yang lambat laun nanti dapat mengubah pemikiran masyarakat, jika perempuan itu pantas disetarakan dengan laki-laki. Pemberdayaan perempuan juga dimaksudkan agar perempuan desa dapat produktif dan memiliki penghasilan, sehingga tidak disepelekan oleh laki-laki. Hal yang demikian, lambat laun akan membuat seluruh masyarakat desa paham jika budaya patriarki itu tidaklah baik.
Usaha lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengajak perempuan berani bersuara. Dengan demikian, ketika merasa tertindas perempuan dapat melawan ketertindasan itu. Mengingat, jika saat ini kesetaraan gender mulai dijunjung tinggi oleh negara kita. Beberapa aksi kecil di atas diharapkan mampu mengubah sudut pandang sempit masyarakat desa untuk lebih terbuka atas partisipasi perempuan dalam kegiatan politik atau kepemimpinan.
ADVERTISEMENT