Di satu hari random pertengahan Agustus 2020, film pendek Tilik mendadak menarik perhatian media sosial Twitter . Ada beberapa dugaan mengapa film tersebut bisa viral, misalnya karena karakter Ibu Tejo yang cukup spesifik. Film yang sama kembali jadi perbincangan sebulan kemudian, setelah ada opini Julia Suryakusuma di The Jakarta Post tentang stereotip dalam Tilik yang disambut cukup negatif oleh media sosial. Kini, stereotip tentang perempuan yang dibahas oleh Julia Suryakusuma berbalik menjadi stereotip tentang kota vs desa, Jakarta vs “daerah”, hingga privilese orang kota vs orang-kota-mainnya-kurang-jauh.
Ada satu stereotip yang makin sering dilekatkan pada orang Jakarta, yaitu kegemaran merendahkan orang kabupaten . Kata “daerah”, juga terasosiasi pada kota kecil dan kabupaten, digunakan pula untuk wilayah non-megapolitan Jakarta. Sementara stereotip lain menyangkut nama wilayah, seperti istilah “Jawa”, dikeluhkan pula oleh beberapa pihak, seperti penulis ini . Orang Jakarta (baik yang ber-KTP DKI maupun tidak) pun sampai mendapat porsi Jakarta-shaming .
Perdebatan soal Tilik dan stereotip geografis seakan-akan menjadi representasi dikotomi antara kota vs kabupaten dan Jakarta vs yang lain (daerah/Jawa). Kota dan kabupaten dianggap sebagai antitesis satu sama lain. Kota dianggap maju dan superior, sementara Kabupaten tidak. Ditambah dengan naik daunnya sentimen kewilayahan yang terpicu oleh “KTPmu mana?”, yang sama-sama hanya melihat wilayah sebatas administratif, serta melepaskan diri dari konteks geografis hingga alam.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814