Beberapa tahun lalu, seseorang mengajukan pertanyaan kepada saya, “Mbak, Jalan Kebon Jeruk kan sudah diperlebar. Habis diperlebar pas saya ngantor jadi lancaran dikit. Tapi makin kemari kok kayak balik macet ya? Kenapa ya, Mbak? Apa kurang lebar?”
Saya nyengir dan kemudian menjelaskan bahwa setiap pelebaran jalan, terutama pada tol dan arteri utama, akan menimbulkan suatu fenomena yang disebut sebagai induced demand. Itu adalah fenomena ketika suplai ruang jalan ruang bertambah maka akan diikuti dengan kondisi jalan lancar secara sementara dan akhirnya membuat orang lain ingin melewati jalan tersebut. Induced demand sebetulnya teori dalam ilmu ekonomi, yaitu ketika harga suatu barang dan jasa turun maka akan diikuti dengan kenaikan permintaan. Fenomena tersebut dapat menjelaskan juga kondisi dan akibat kebijakan transportasi, terutama penambahan ruang jalan pada konteks tertentu.
Kebijakan transportasi jalan di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan transportasi perkotaan, memang masih mengejar penambahan panjang dan luas ruang jalan. Rencana Strategis Kemenpupera 2022-2024 pun mempermasalahkan kurang memadainya luas jalan pada kota-kota Indonesia yang akhirnya menyebabkan kemacetan lalu-lintas. Misalnya luas jalan Jakarta hanya 6,2 persen luas wilayah daratan, sementara Bandung hanya 4,4 persen. Ditjen Bina Marga menyatakan seharusnya rasio luas jalan seperti kota-kota negara maju, yaitu 20 persen. Tidak jelas dari mana angka 20 persen itu berasal. Saya telah mencoba mencari landasan teori 20 persen tersebut namun tidak menemukannya di jurnal mana pun.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814