Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Mengulik Sejarah Gedung Javahout, Cagar Budaya yang Terbengkalai di Semarang
29 Desember 2023 14:31 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Elisabeth Mustika Primanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahasiswa program studi ilmu sejarah dari Universitas Negeri Semarang melakukan sebuah kajian cagar budaya terhadap Gedung Javahout yang merupakan bangunan tua bekas peninggalan kolonial Belanda. Beberapa waktu silam, mahasiswa yang terlibat dalam kajian ini meninjau dan melakukan observasi langsung dengan mengunjungi atau mendatangi lokasi keberadaan bangunan ini.
ADVERTISEMENT
Meskipun mahasiswa tidak dapat melihat secara lebih lanjut dan lebih mendetail ke dalam Gedung Javahout, dikarenakan belum memperoleh izin dari pihak yang terkait dan bersangkutan, namun secara garis besar, mahasiswa ilmu sejarah bisa mendapatkan gambaran umum dari objek cagar budaya yang akan dikaji atau diteliti.
Gedung Javahout ini, sekarang terletak di Kebon Laut (Bandarharjo Selatan 9, Semarang, Jawa Tengah). Dari hasil pengamatan dan observasi sejumlah mahasiswa yang secara langsung telah mendatangi gedung kayu ini, bangunan yang dulunya beroperasi sebagai perusahaan kayu itu, kini dalam kondisi yang terbengkalai dan memprihatinkan.
Sekarang, Vereenigde Javaansche Houthandel Maatschappij menjadi sebuah cagar budaya berbentuk gedung yang sepintas dilihat oleh orang yang melaluinya.
Gedung Javahout mengalami perubahan yang dapat tercermin dari bangunannya. Saat dahulu, Gedung Javahout banyak dipenuhi dengan kayu-kayu gelondongan maupun potongan kayu yang siap untuk dipasarkan, sedangkan di masa kini, hanya serpihan-serpihan kayu saja yang masih terlihat atau beberapa potong kayu saja dalam satu ikatan pada bagian lorong luar atau teras bangunan.
ADVERTISEMENT
Pada masa lampau, di sekitar Gedung Javahout juga terdapat beberapa pabrik kayu besar, sebagai pensuplai dan pengelola untuk mendukung jalannya kegiatan perusahaan kayu Vereenigde Javaansche Houthandel Maatschappij.
Namun, pabrik-pabrik kayu tersebut juga sudah tidak beroperasi kembali, sehingga yang terlihat dan nampak oleh mata adalah hamparan tanah lapang yang kosong. Lingkungan di sekitar Gedung Javahout yang dulunya kian ramai, namun saat ini sudah sangat sepi dan jarang didatangi orang. Hal ini dikarenakan kondisi bangunan Gedung Javahout yang saat ini terlihat sudah terbengkalai serta tidak terurus dengan baik.
Gedung Vereenigde Javaansche Houthandel Maatschappij pada saat ini sudah terlihat usang. Pada bagian kusen jendela dan pintu kayunya juga sudah rapuh. Lantai dan dinding bangunan sudah terlihat kotor karena terkena paparan debu. Di sekeliling bangunan ini, banyak ditumbuhi tanaman atau tumbuhan liar, seperti semak belukar maupun rerumputan yang sudah tidak beraturan.
Meskipun dimasa kini, Gedung Javahout tidak banyak diketahui orang, namun siapa sangka ternyata bangunan tua yang saat ini sudah terbengkalai tersebut menyimpan sejarah penting tentang perindustrian dan perdagangan kayu jati pada abad ke-19 hingga abad ke-20, terkhusus di wilayah Semarang. Gedung Javahout dibangun pada tahun 1911 dan pertama kali diresmikan oleh Ansy Evans.
ADVERTISEMENT
Javahout memiliki banyak kantor perwakilan yang tersebar di beberapa kota seperti Surabaya, Batavia, Bandung, Yogyakarta, Tegal, Makassar, Medan, dan Palembang. Perusahaan ini bergerak di bidang eksploitasi hutan jati khususnya di kawasan Pulau Jawa. Mulanya menjual kayu gelondongan ke mancanegara, namun seiring dengan perkembangan permintaan pasar, kemudian mulai menjual kayu dalam bentuk potongan seperti papan, ring, dan sebagainya.
Hadirnya perusahaan Javahout dengan model permintaan pasar tersebut, juga menandai masuknya teknologi modern pemotongan kayu di Hindia-Belanda khususnya di kawasan Semarang. Perusahaan ini kemudian dilikuidasi pada tahun 1958.
Pasca-Indonesia merdeka, perusahaan Javahout dinasionalisasi, dan bangunan kantor Javahout ini kemudian diambil alih oleh pemerintah Jawa Tengah. Bangunan ini sempat difungsikan oleh TNI hingga tahun 1965. Gedung Javahout itu kemudian difungsikan sebagai kantor Perusahaan Daerah Jawa Tengah. Pada tahun 2009, Gedung Javahout tersebut sudah tidak lagi difungsikan sebagai kantor Perusda Jateng, namun masih dalam naungan pengelolaan Perusda Jateng.
ADVERTISEMENT
Permasalahan utama yang meliputi Gedung Javahout ini adalah masalah banjir rob yang sering terjadi dan menggenangi kawasan Gedung Javahout. Hal ini dikarenakan Gedung Javahout hanya berjarak berada di kawasan yang rentan bencana banjir (BPBD Kota Semarang) dengan jaraknya yang hanya 2.5 km dari bibir laut. Konteks ini sudan menjadi pembahasan sejak masa lalu.
Pihak pemerintah kolonial melihat Kali Semarang sebagai masalah yang mengganggu kegiatan perdagangan dan pengembangan wilayah kota. Sehingga upaya peningkatan infrastruktur terhadap wilayah-wilayah di bantaran Kali Semarang selalu menjadi topik yang sering dibahas di dalam koran lama.
Pada saat wilayah bantaran kali telah berkembang menjadi kota kolonial, aspek-aspek tersebut sangat mendukung aktivitas yang diduga perdagangan dan pemukiman, namun juga sudah mulai menghadapi masalah luapan banjir dan sedimentasi.
ADVERTISEMENT
Perspektif akademis terkini, melihat aspek dimensi lebar dan panjang Kali Semarang yang menyebabkan sering terjadinya banjir di bagian hilir dekat pantai karena pertemuan antara penggelontoran kota sekaligus fenomena rob.
Perspektif akademis tersebut tidak berbeda jauh dengan pemikiran pemerintah kolonial Belanda kala itu. Hal yang dilihat dari perspektif-perspektif tersebut adalah adanya tantangan dinamis di dalam mempertahankan bantaran sungai dan sistem tata salir sebuah kota.
Melihat permasalahan yang melingkupi Gedung Javahout tersebut, maka diperlukan suatu upaya pelestarian cagar budaya di wilayah yang rentan dilanda banjir. Mengutip dari pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu narasumber pada seminar yang dilaksanakan pada hari Rabu, 20 Desember 2023 lalu, Bapak Kriswandhono menyampaikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan strategi pengelolaan cagar budaya di daerah rentan banjir agar tetap lestari, di antaranya yaitu:
ADVERTISEMENT
• Teruslah mendiskusikan melalui materiality evidence karena akan menguak hal-hal yang mungkin belum terungkap (sebagai contoh mendiskusikan bangunan dan situs di Kawasan Kota Lama tidak hanya memunculkan satu ide tentang kepariwisataan.
• Kontekstualitas masyarakat (termasuk cara sosialisasi dan bekerja bersama)
• Kondisi politik memacu kreativitas strategi (misal isu merdeka belajar, milenial, rusaknya alam dan ekosistem serta dampak kemajuan teknologi)
• Rekam data terkini dengan alat dan teknologi yang memadai, untuk mengumpulkan data, analisis dan eksekusi.
• Sadar bahwa “ada ketidakjelasan masa depan”, kita hanya bisa berupaya meyakini bahwa kebutuhan dasar manusia dan lingkungan menuntun nalar menjadi sehat, jika ada kedalaman penelitian.
• Budaya penelitian untuk pembangunan berkelanjutan.