Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Alam Pikiran Komunalisme Politik Indonesia
29 Mei 2024 10:16 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Elkata Agustinus Batistuta Atua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kedaulatan Rakyat menyodorkan teritori yang tegas tentang ranah politik sebagai proses transaksi sekuler dengan ukuran rasional dan empiris. Aksara politik merupakan cerminan diksi yang serupa dengan filsafat. Memperlihatkan konsekuensi dimasa sekarang dan bukan tentang penantian dimasa yang akan datang. Disisi lain, takaran moral harus tumbuh dari kontradiksi gagasan historis, bukan dari doktrin metafisis yang ditanamkan oleh pemimpin bangsa.
ADVERTISEMENT
Benar, rakyat terikat pada ayat-ayat konstitusi. Sehingga perlu terwartakan, bahwa dalam kemajemukan demokrasi seperti di indonesia, kebenaran tersirkulasikan dalam pikiran yang plural bukan dengan keyakinan personal. Itulah sebabnya, aktor penguasa dapat kita tumbangkan dengan argumen, bukan dipertahankan dengan persetujuan aktif. Dalam periode waktu ini, kita senantiasa berspekulasi dalam ranah epistemologis bahwa "realita adalah satu", sehingga sendi politik menjadi kaku dan bersifat absolut.
Mengarah lebih jauh pada ekosistem otoriter. Bila kekuasaan korup seperti ini tidak ditandingi oleh massa dengan dalil spekulasi teologi tentang moral & etika, maka sungguh kita berinvestasi dalam kontrak masa depan yang panjang dengan kaum feodal. Kita terkekang dalam paradoks dan cara pandang monolitik di kehidupan sosial budaya. Ini berakar dari antropologi komunalisme yang dipupuk dalam kondisi globalisasi.
ADVERTISEMENT
Kecanduan terhadap ekspansi politik dalam lingkup kekeluargaan-lah yang menuntun persekongkolan itu. Terbukti bahwa dalam pertaruhan relasi personal mengesampingkan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena kepatuhan komunal berlangsung secara efektif. Dalam ranah kultural tidak ada kontradiksi rezim kekuasaan dengan yang sifatnya struktural, sehingga tidak bermuara pada urgensi untuk membudayakan demokrasi namun lebih karena kepentingan elitis individual.
Hasrat rindu terhadap penyelenggaraan pluralisme. Sehingga pengakuan terhadap perbedaan pandangan hidup bukan saja adalah indikator penting, namun kemawasan terhadap ketidak-relativan kebenaran yang tentatif. Karena selalu ada kesempatan untuk mengontradiksikan pikiran dalam arena pertarungan kognitif sebagai bentuk internalisasi subjek demokrasi, sehingga percakapan yang berlangsung tidak berdasarkan keenganan terhadap kaum feodal. Komunalisme dimaknai sebagai alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, identitasnya bergantung komunitas.
ADVERTISEMENT
Hal paling konservatif dari alam pikiran ini menempatkan keyakinan bahwa keutuhan tersebut membutuhkan semacam pengaturan doktrinal, bermuara pada ketidakbebasan bagi individu untuk berpikiran bebas. Sudut inilah yang sementara diedarkan dalam kelelapan kultur budaya politik. Eksklusifitas elit politik menjualbelikan parameter komunal dalam pasar dagang kekuasaan. Konsep Etika & Moral tidak diedarkan sebagai prioritas kehidupan berdemokrasi. Diperburuk dengan misi pemimpin yang imperatif mengerucutkan filsafat publik semakin sempit dan picik. Pertarungan Nalar dan Logika yang substansif tidak berlangsung karena teraksarakan dalam retorika tentang Dinasti. Kedudukan primer kontitusi sebagai bintang fajar disepelekan.