Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Demokrasi di Afrika: Analisis Filosofis Dalam Membongkar Diskursus Kekuasaan
14 Oktober 2024 11:01 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Elkata Agustinus Batistuta Atua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demokrasi seringkali di pricipalkan sebagai "Habits of Heart". Itulah mengapa relevansi konstitusi dipertanyakan apabila pemimpin telah bercakap dalam tataran etikabilitas. Namun, melihat Kondisi demokrasi di kawasan Afrika yang sangat bervariasi antara negara-negara, membuat kita bernalar dalam logika. Beberapa negara seperti Ghana, Botswana, dan Senegal menunjukkan kemajuan dalam sistem demokrasi, dengan pemilihan yang relatif bebas dan adil serta institusi yang kuat.
ADVERTISEMENT
Dilain pihak, banyak negara lain masih menghadapi tantangan serius, seperti korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan pemerintahan otoriter. Misalnya, di negara-negara seperti Sudan, Zimbabwe, dan Eritrea, ada pembatasan signifikan terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi politik. Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa kemajuan, banyak tantangan masih harus dihadapi untuk memperkuat demokrasi dan tata kelola yang baik di seluruh benua.
Elit politik afrika sekarang senang sekali menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan otokratis. Kultur menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kebengisan. Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis.
Bukan saja karena ada hirarki kebenaran dalam diskursus, tetapi pengadaptasian dengan "Aturan Politik Feodal", tak nampak namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila ada upaya untuk mendukung penyelenggaraan birokrasi yang irasional dan personal. Mental politik yang mengalir dalam nadi birokrasi masih terjerumus dalam Kejenutan Berpikir & Stagnasi Metodologi. Gangguan akal sehat semacam ini yang secara cepat dimanfaatkan oleh elit politik untuk membantai hegemoni moral dan etik.
ADVERTISEMENT
Elit politik afrika sekarang senang sekali menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan otokratis. Kultur menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kebengisan. Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis.
Demokrasi liberal pertama yang diformalkan di Afrika modern hadir dengan berbagai badan legislatif yang ditinggalkan oleh para penjajah. Namun, segera setelah kemerdekaan, sebagian besar pemimpin Afrika baru memaksakan jejak mereka sendiri pada negara-negara bagian, merestrukturisasi, bahkan menghapuskan, berbagai lembaga yang mereka kendalikan, yang menunjukkan bahwa lembaga-lembaga itu merupakan beban kolonial yang tidak sesuai dengan kondisi Afrika.
Sistem pemerintahan satu partai menjadi norma. 'Demokrasi di Afrika' membahas gelombang demokratisasi yang dimulai pada tahun 1990-an dan pengenalan pemilihan multipartai. Akan tetapi, kualitas demokrasi di Afrika tidak merata; meskipun terjadi perubahan politik, nilai-nilai demokrasi yang mengakar tetap dangkal dan tidak jelas. Akan tetapi, beberapa kemajuan telah dicapai: sekitar seperempat negara bagian Afrika kini 'bebas'.
"Dunia ini panggung sandiwara, cerita yang mudah berubah. Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani". Begitulah penggalan lagu Nicky Astria, yang relevan dengan keadaan demokrasi di kawasan afrika saat ini. Panggung tragedi yunani biasanya dibagi menjadi 2: Scene & Off Scene. Didepan layar bersandiwara dan dibelakang layar berbisik kemaksiatan. Perselingkuhan politik akan selalu terjadi di atas karpet merah. Supaya ada ada karpet baru, yang lama harus digulung.
ADVERTISEMENT