Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Krisis Eksistensial Dalam Kerangka Dinasti Politik: Sebuah Kajian Onto-Kultural
8 Januari 2025 10:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Elkata Agustinus Batistuta Atua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kritik seringkali saya semarakan bahwa panggung demokrasi harusnya menjadi ajang kompetisi ide, pertarungan pikiran, persaingan paradigma. Namun nyatanya realita kontemporer menegaskan bahwa ini tidak lebih dari sekedar fenomena intervensi bekas presiden yang harusnya sudah purna tugas. Mulyoni diagungkan oleh politisi penjilat bak maestro yang selalu memukau lawannya. Tapi menurut saya, ia hadir karena belum rela melepas baton kekuasaan. Mewartakan diri bukan sebagai pengamat yang bijak, namun pemain bayangan. Bergerak dibalik teater Pilkada 2024, tanpa rasa malu berlenggak-lenggok seolah- olah megarawan abadi yang tak lekang oleh masa jabatan.
ADVERTISEMENT
Adagium nemo plus iuris ad alium transferre potest quam ipse habet (seseorang tidak dapat memberikan hak yang lebih besar dari yang ia miliki) sepatutnya menuntun manuver politik Mulyono. Namun dalam praksis fenomena, justru tercemar oleh kerakusan untuk menyelami relung kuasa. Semenjak 20 Oktober kemarin harusnya estafet kekuasaan diserahkan tanpa syarat, tapi buktinya praktik keserakahan untuk memegang kendali seakan negara merupakan perkebunan pribadi yang tak boleh digarap orang lain tanpa restunya.
Retorika mengenai kepentingan negara menjadi selimut ambisi untuk jejaring politik klan. Manuver politik ini, alih-alih memperkokoh demokrasi, justru menghasilkan preseden buruk dari bekas presiden yang tak sudi dilupakan dalam sejarah. Bentuk kecemasan eksistensial. Saya teringat adagium "Homo Homini Lupus", ia menjadi seringala bagi sesamanya termasuk penerus yang dianggap dapat mengancam dominasi warisan politiknya. Mulyono mereduksi makna seorang negarawan menjadi operator politik. Melanggenggkan strategi agar bayang-bayangnya tetap terbentang diatast teater kekuasaan. Summum ius summa iniuria-hukum yang tertinggi justru bisa menjadi ketidakadilan tertinggi. Sosoknya menjadi sebuah ironi. Mengatasnamakan stabilitas namun justru melahirkan distorsi demokrasi.
Dalam iklim pemikiran politik kontemporer, titik tolak bagi sebuah dialetika yang mempertemukan ketidakpastian ontologis dan kelanggengan kekuasaan dinasti dimulai ketika Prabowo Subianto & Gibran Rakabuming Raka mengucapkan sumpah janji menjadi Pemimpin bangsa. Melihat kerangka ini, perlu disadari bahwa dinasti jokowi bukan sekedar menjadi entitas politik namun manifestasi narasi historikal yang mengafirmasi dualitas antara kuasa dan identitas. Satunya figur yang sarat dengan citra militeristik bertemu dengan representasi generasi muda yang terikat pada ikatan familial, kita dihadapkan pada paradoks yang menggugah kognisi: apakah ini sebuah transisi kekuasaan yang progresif? Ataukah sebatas reproduksi struktur oligarki?.
ADVERTISEMENT
Penggunaan retorika kekuasaan yang terselubungi oleh janji-janji reformasi tak dapat disampingkan dari warisan dinasti yang dengan sendirinya berimplikasi pada pengabaian pluralitas sosial. Dalam pendekatan fenomenologis, kita harus menginvestigasi dan mengevaluasi pengalaman kolektif rakyat untuk menghadapi fenomena ini. Banyak yang dipenuhi oleh harap, namun tak sedikit pula diselubungi dengan kekecewaan. Inilah letak tantangan epistemologis bahwa narasi yang dibangun oleh rezim kekuasaan semacam di dekonstruksikan untuk memahami implikasi ontologis terhadap subjek terpinggirkan dalam wacana politik yang didominasi kepentingan elit.
Jika menilik dari sudut pandang marxis, kritik perlu digaungkan untuk membongkar instrumen ideologis yang menyamarkan eksistensi kelas teralienasi. Upaya penjustifikasi kekuasaan melalui fasilitas demokrasi yang pada hakikanya, hanya digunakan untuk mempertahankan struktur stratifikasi yang ada. Sebuah labirin antara kepentingan kolektif dan ambisi individual. Ini tidak semata-mata menyentuh aspek pragmatisme politik, namun menyingkap kedalaman bubruknya moral dan etika yang melingkupi dinasti keluarga. Memperkuat belenggu siklus kekuasaan yang sifatnya mengikat. Mari mengurai bersama lapisan makna yang terbenam dalam citra politik elit bangsa, dengan ini kita dapat menghindari pengulangan narasi stagnan dan mendahulukan dialetika yang inklusif
Upaya untuk mewariskan kekuasaan pada dinasti keluarga tercermin dengan jelas. Pemahaman yang timpang mengenai kultur nusantara menghentar pada kesembronoan akal dalam menyampaikan argumen di depan publik yang kemudian menjadi kecelakaan sejarah. Sensasi baru dalam historis bangsa. Ini sebuah evaluasi akademik yang dibungkus dengan etika publik. Namun pesan sejarah itu terkonfirmasi lewat frasa "Raja Jawa", cerminan kebengisan & kemaksiatan politik. Gelar tersebut haruslah dilekatkan pada figur pedagogis yang mulia serta mapan dalam membaca tanda-tanda zaman, bukan hasil transaksi kotor pasar gelap kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Konspirasi baru untuk menghianati konstitusi. Saling amputasi dikalangan elit partai politik menjadi normalisasi kehidupan eksekutif saat ini. Logika kekuasaan yang konstan menjadi bumerang bagi mereka disekitar jokowi. Negeri ini dirancang berdasarkan prinsip kebudayaan yang kuno namun relevan. Harusnya seorang pemimpin mapan dalam menilik naluri publik, bukan membual dalam kedunguan. Upaya untuk mengeratkan modus perjuangan baru lewat Demonstrasi yang tersemarakan oleh berbagai elemen masyarakat indonesia dimaksudkan untuk mengusir sifat bengis dari sang raja. Variable evaluatif yang perlu termaksimalkan.
Koalisi yang diperalat oleh penguasa, dia yang mampu melihat keadaan berdasarkan unsur metafisika. Kita didesign oleh Alam semesta untuk melebarkan pikiran. Namun buktinya, para musuh peradaban terus melakukan upaya untuk mempersempitnya. Indonesia harus digaungkan kembali sebagai negara yang berpikir. Walaupun disokong oleh Dewan Peternakan Raja Jawa di Senayan, pembunuhan momentum yang difasilitasi oleh Aktivis & Mahasiswa. Rumus sosiologi akan mengakumulasikan energi masyarakat sipil. Sebuah Sunatullah dalam bahasa agama, untuk membongkar bahasa kekuasaan. Sejarah selalu punya jalan untuk menemukan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Pemimpin yang tak mampu memaksimalkan kapasitas berpikir selalu mencelakai mampu dirinya sendiri. Dalam ilmu psikoanalisis, sigmutroit mempertegas apa yang disembunyikan oleh nomenklatur tubuh akan dibongkar dengan kesadaran jiwa terucap dalam kapasitas formil. Partai besar disudutkan oleh sejarah untuk menjadi korban pertama dari Sang Raja Jawa, figur demagogis yang membebankan bangsa lewat indikasi menabrak konstitusi - memperkosa regulasi. Demokrasi harus dibentengi agar tidak digembosi.