Konten dari Pengguna

Marga Atua: Jalinan Interkoneksi Kultural Suku Tanimbar & Suku Māori

Elkata Agustinus Batistuta Atua
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
21 Oktober 2024 11:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elkata Agustinus Batistuta Atua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
shutterstock
ADVERTISEMENT
Di tengah samudera yang memisahkan Indonesia dan Selandia Baru, terdapat dua suku yang meski berjauhan, namun bertalian secara historis dan kultur. Suku Tanimbar, mengarungi samudera dengan perahu tradisional, dan Māori, yang mengukir mitos di atas gelombang Pasifik, keduanya merupakan penjelajah waktu dan ruang. Sebagai bagian dari Marga Atua, dahulu hanya saya anggap layaknya sebatas diksi. Namun ketika sejarah dievaluasi, maknanya melampaui dualisme biasa; ia bukanlah entitas yang terpisah, melainkan bagian integral dari jaringan eksistensi yang lebih luas Ketika menyelami ranah ontologis pemikiran Suku Māori, Atua menyimbolkan sebuah entitas metafisik yang melampaui berbagai batas pemahaman konvensional. Personifikasi dari kekuatan primordial, mengimplikasi jalinan yang intrinsik antara hubungan manusia dan kosmos. Figur yang menetapkan tatanan eksistensial.
ADVERTISEMENT
Interkoneksi ontologis antara Atua dan Dunia Material mencerminkan siklus ekosistem holistik dibalik berbagai fenomena. Dalam hening, sebuah pertanyaan retoris muncul: "Dimanakah batas antara subjek dan objek dalam struktrul eksistensial ini?", saya terhentar dalam paradoks antara individualitas dan kolektivitas. Bersua pada manisfestasi kesatuan kosmik.
Berbagai literatur narasi Suku Māori, ada penegasan mengenai etika relasional. Sebuah tanggung jawab moral secara vertikal antara masyarakat biasa dengan Atua. Setiap tindakan dan keputusan yang bertalian dengannya akan mengundang implikasi reverberatif dalam matriks kuasa yang lebih besar. Kebesaran Atua seringkali menjustifikasi intervensi dalam kondisi parsimoni maupun kompleks, karena secara kultural mereka adalah sosok yang mampu merangsang kognisi masyarakat awam. Setiap elemen alam dipandang sebagai manifestasi dari eksistensi kuasa. Dalam kanvas kosmologi Māori, serpihan realitas disemayamkan pada kehadiran metafisis, entitas supranatural yang mewakili sekedar kekuatan abstrak. Sehingga berbagai keturunannya mempersonifikasi esensi dan dinamika figur yang mempengaruhi tatanan semesta. Dalam sistem adatpun, Atua tersirat dalam urutan hierarki yang dihormati. Ia, dalam kapasitasnya, tidak hanya dilihat sebagai penyedia kehidupan namun pengingat akan dualitas: penciptaan & kehampaan, pertumbuhan & kepunahan. Disinilah masyarakat merenungi ontologi kehidupan yang terperangkap dalam siklus abadi. Pengetahuan yang disematkan dalam narasi merupakan suatu warisan berharga. Kearifan yang wajib diawetkan bagi generasi bahwa ini bukanlah sekedar fakta sejarah, melainkan laku spiritual yang mendorong kita untuk menggali kedalaman makna. Dalam spektrum epistemolog, retorika filosofis ini saya menelusuri relasi spiritual dan intelektual dari Atua - Kepulauan Tanimbar & Suku Māori. Bukan sekedar entitas, melainkan jembatan teologis tradisionalis antara manusia dan kosmik. Mendorong kita untuk merenungkan eksistensi, tanggung jawab, warisan kebesaran serta pengetahuan yang melampaui ruang dan waktu. Konsep kekuatan dan vitalitas inilah yang diedarkan dalam sejarah. Penjelmaan dari arus kosmik yang melampaui batas-batas rasionalitas, menciptakan tautan ontologis yang mendalam antara makhluk hidup dan fenomena alam. Di sinilah, dalam kebisingan semesta, tersemat misteri yang mengajak kita untuk merengkuh kefanaan dan keabadian secara bersamaan.
ADVERTISEMENT