Konten dari Pengguna

Menggugat Otoritas Hegemoni Kekuasaan: Resistensi Aktor Revisionis Surga

Elkata Agustinus Batistuta Atua
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
4 Februari 2025 20:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elkata Agustinus Batistuta Atua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
https://shutterstock
ADVERTISEMENT
Tulisan ini akan menjadi begitu kontroversial karena berupaya menggugat kebenaran universal, terbalut dalam kultur Kristiani yang diyakini oleh jutaan orang sepanjang sejarah, namun sangat relevan dengan kondisi kosmopolitan kontemporer dari kacamata filsafat hubungan internasional. Hal ini sengaja saya tulis untuk merangsang pikiran mapan bagi pembaca dalam menantang eksistensi hierarkal yang Allah "biarkan terjadi."
ADVERTISEMENT
Saya bergulat dalam kognisi ketika tersadar bahwa hierarki merupakan salah satu akar konflik berkelanjutan. Struktur itu berupaya menindas, mendisiplinkan, bahkan mengontrol. Mari kita telaah secara terbalik: dalam literatur Kitab Suci (Alkitab) bahkan folklor yang diteruskan sekian generasi, Lucifer (Sang Fajar), seorang malaikat dengan hierarki tinggi, menggugat otoritas Allah.
Fenomena ini tidak hanya melahirkan narasi pemberontakan kosmik, tetapi juga mencerminkan realitas politik global sepanjang sejarah. Padahal, tanpa disadari, kita mungkin saja tersilap oleh narasi primordial hingga membatasi kritisisme terhadap sistem hegemonik yang mengatur hubungan antarmakhluk, baik di bumi maupun di langit.
Berbicara mengenai hal ini tentu sangat paradoksal. Teori hegemoni dalam hubungan internasional menjabarkan tentang stabilitas semu yang dihasilkan dari kekuasaan absolut. Dalam konteks "harmoni ilahi," ketika melihat Tuhan sebagai hegemon surgawi, kelirukah apabila kita memandang Lucifer sebagai aktor revisionis yang menantang ambivalensi struktural itu?!
ADVERTISEMENT
Sang Fajar menyimbolkan kehadiran determinisme dan resistensi negara yang menolak tatanan dunia berbasis dominasi hegemonik. Ia seharusnya dipandang sebagai figur mula-mula yang menegasikan multipolaritas, suatu dorongan untuk mendistribusikan kekuasaan secara adil. Hal inilah yang selalu menggerogoti kognisi saya—realitas bahwa stabilitas selalu ditegaskan melalui suatu proses penundukan. Kritik yang sama selalu diajukan oleh negara kecil terhadap negara adidaya.
Ketika bergulat mencari kebenaran, bukankah kecemasan dalam otoritas itu sendiri terlihat ketika ada malaikat yang menggugat struktur kekuasaan tersebut? Ketika ada entitas absolut yang bebas dari kecenderungan kekuasaan, maka konsep kebaikan dan kejahatan hanyalah menjadi kerangka hegemonik yang dikonstruksikan untuk melanggengkan dominasi.
Dalam pengajaran awal mengenai teori hubungan internasional, realisme klasik menyadarkan nalar bahwa "no police force, no central authority"—anarki. Dalam tatanan hierarkis hegemoni surga inilah, Tuhan hadir sebagai "Sang Leviathan" untuk mendikte hukum surgawi. Malaikat yang memberontak tidaklah sesat apabila ia menyadari bahwa ia hanyalah pion dalam percaturan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kebebasan sejati dimanifestasikan melalui pemberontakan. Ironisnya, layaknya fenomena sejarah global dalam hubungan internasional, tandingan massa lewat aksi pemberontakan untuk meresistensi hegemoni selalu dipandang sebagai ancaman.
Realitas politik yang dianggap subversif selalu diproyeksikan sebagai "kejahatan absolut," padahal itu bentuk kritik terhadap struktur hierarki dan ketimpangan sistem. Dasar logika pengkritik kaum realisme selalu berupaya menggugat entitas yang memiliki otoritas absolut—Sang Hegemon Tunggal. Tatanan yang terlihat mungkin saja stabil, tetapi sangat represif.
Pemberontakan surga harus dilihat sebagai awal mula aktor revisionis memperjuangkan egaliterisasi dalam distribusi kekuasaan karena menganggap bahwa ruang untuk bargaining apalagi dissent tidak terfasilitasi. Manifestasi absolut dari kekuasaan akan melampaui batas realitas. Maka, kita akan terkekang untuk berekspresi bebas dalam representasi keinginan demi meredefinisikan tatanan global. Dominasi bukan hanya soal kecakapan fisik, tetapi juga kemampuan untuk menguasai narasi dan kesadaran kolektif. Ini sebenarnya kebenaran yang sangat radikal karena persepsi didikte dan kebebasan terlaksana atas kehendak tunggal.
ADVERTISEMENT
Jika analisis tajam dari epistemologi kekuasaan kita gunakan, maka kebenaran itu bukanlah entitas statis, melainkan terlahir dari dialektika antara tesis dan antitesis dalam sebuah kontestasi. Jangan sampai kita terjebak dalam tirani spiritual. Di sisi lain, ketika teori konstruktivisme ingin kita jadikan sebagai fondasi kritisisme terhadap identitas dan norma, maka pijakan awal dari pemberontakan surga adalah kewawasan pikiran bahwa kekuasaan dilanggengkan oleh sebuah konstruksi ideologis.
Sama seperti ketika negara-negara menolak norma identitas yang bias terhadap kepentingan Sang Hegemon. Realitanya, ketidakadilan sering muncul akibat justifikasi norma universal tersebut. Paradigma konstruksi mengenai identitas aktor dibentuk oleh wacana, sehingga entitas malaikat yang awalnya baik, ditekuk oleh narasi ketuhanan yang membuatnya jahat.
Inilah literasi primordial tentang pionir egaliter kosmik, yang berani menggugat status quo untuk memperoleh kebebasan berpikir. Oposisi yang loyal terhadap tuntutan bagi legitimasi moral kekuasaan selalu menggugah hati. Tatanan hierarkis yang hadir dalam dramaturgi surga bisa dianalogikan sebagai imperialisme dalam studi hubungan internasional.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem hegemonik, terdapat koloni-koloni yang dalam perkembangannya menguji konsistensi berpikir terhadap imperialisme. Mereka sadar bahwa kosmos yang tercelup dalam pusaran imperialisme akan melahirkan subordinasi bahkan memonopoli definisi kebenaran. Pemaksaan narasi tunggal atas dunia membuat malaikat memberontak dengan tuntutan agar menghidupkan pluralisme untuk memungkinkan semua makhluk merajut eksistensinya sendiri.
Sehingga, yang ingin saya soroti dari pandangan filsafat hubungan internasional adalah figur yang mempelopori dunia multipolar untuk mendeterrensi sistem ketidakadilan—menolak tatanan hegemon Tuhan dan mengobarkan liberalisasi universal. Marilah kita ubah paradigma bernalar bahwa ini adalah kisah purba menggugat dominasi. Namun, sepanjang sejarah, wacana telah dikerdilkan maknanya hingga aktivitas untuk membuka ruang diskursus dan membongkar dogma akan dipandang sebagai penistaan bagi manifestasi ketuhanan.
ADVERTISEMENT
Otoritas dominan harus dikritik karena itu adalah hak asasi dalam demokrasi kosmik. Narasi semesta mengenai pemberontakan surga akan menjadi pengingat bahwa hierarki akan menjadi akar konflik karena menjelma menjadi tatanan hegemonik yang menindas. Sehingga, jangan heran apabila pemberontakan bisa terjadi, karena itu bukanlah disloyalti, melainkan manifestasi dari hasrat untuk menemukan keadilan.