Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
30 Ramadhan 1446 HMinggu, 30 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Tradisi dan Keyakinan Masyarakat Desa Rejuno: Larangan Menikah di Bulan Suro
26 Maret 2025 10:43 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Elly Oktavia Safitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Mayoritas masyarakat Desa Rejuno masih sangat kuat dalam mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka terhadap suatu hal yang telah diwariskan turun-temurun, sehingga seringkali mereka mengaitkan berbagai peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam kehidupan mereka adalah dampak atau akibat dari melanggar sirikan atau pantangan yang ada di desa tersebut. Secara fakta, hampir seluruh warga Desa Rejuno, sekitar 99,9% beragama Islam. Namun, Islam yang mereka anut adalah Islam Jawa, yang sering disebut sebagai Islam Kejawen, yakni bentuk keberagamaan yang tetap menjalankan syariat Islam tetapi juga mempertahankan ajaran serta budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Misalnya saja terkait menikah atau melangsungkan pernikahan di bulan Muharram sebaiknya dihindari karena bulan ini dianggap memiliki kesakralan tinggi, sehingga tidak boleh digunakan menggelar hajatan terutama pernikahan. Sejak jaman dahulu sampai saat ini tidak ada satupun masyarakat yang berani melaksanakan pernikahan di bulan Suro. Sebab mereka percaya bahwa melanggar pantangan ini dapat membawa malapetaka atau musibah, seperti pernikahannya tidak akan berjalan lama atau berakhir cerai, atau bahkan bisa berujung pada kematian salah satu pasangan.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan ini telah diwariskan secara turun-temurun dan masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat Jawa hingga saat ini. Keyakinan ini berasal dari pandangan mereka terhadap bulan Suro yang dianggap bulan keramat. Kesakralan bulan Suro ini membuat masyarakat Jawa khususnya di Desa Rejuno enggan melaksanakan kegiatan yang bersifat sakral, seperti pernikahan. Bagi mereka masyarakat Islam-Jawa, kekeramatan bulan Suro yang menimbulkan kepercayaan bahwa semua bentuk kegiatan tertentu seperti pernikahan tidak dilaksanakan bukan karena tidak boleh akan tetapi masyarakat Jawa memiliki anggapan bahwa bulan Suro ini adalah bulan yang agung atau mulia sebagai bulan (milik) Allah SWT. Bagi warga Desa Rejuno, masyarakat secara turun temurun tidak ada yang berani menikah pada bulan muharram atau yang kebih dikenal dengan bulan Suro, karena masyarakat sudah mempercayai sirikan atau pantangan di bulan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya dalam ajaran Islam tidak ada larangan untuk menikah dibulan Suro. Justru, bulan Suro merupakan salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah jika ada masyarakat yang ingin melangsungkan pernikahan di bulan Suro, karena secara syariat tidak ada larangan. Pernikahan di bulan Suro juga tetap sah secara hukum islam, selama semua ketentuan terkait rukun dan syarat terpenuhi. Dan sebenarnya, pernikahan di bulan Suro bukanlah sesuatu yang dilarang, melainkan merupakan bagian dari kepercayaan dan keyakinan yang sudah terlanjur diyakini dan menjadi adat di desa ini. Jika ada seseorang yang ingin menikah di bulan Suro, hal tersebut diperbolehkan dan tidak menjadi permasalahan. Namun, semuanya kembali pada keyakinan orang yang akan menjalaninya. Jika mereka merasa yakin bahwa tidak akan ada musibah, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Akan tetapi sebaliknya, ketika orang tersebut ragu-ragu maka sebaiknya jangan dilanjutkan. Larangan menikah di bulan Suro adalah aturan adat yang sebaiknya dihargai, dipatuhi, diketahui, dipahami, dan dimengerti oleh orang jawa, sehingga aturan ini telah menjadi bagian dari norma dan adat istiadat yang mengatur kehidupan mereka, adat ini telah turun temurun dari nenek moyang mereka sejak jaman dahulu.
ADVERTISEMENT
Mbah Karno, merupakan salah satu warga masyarakat Desa Rejuno, menjelaskan bahwa hingga sampai saat ini belum ada satupun masyarakat yang berani melanggar pantangan untuk menikah di bulan Suro. Masyarakat Rejuno meyakini bahwa siapa yang menikah pada bulan Suro maka pernikahannya tidak akan berjalan lama dan berakhir cerai, atau bahkan bisa berujung pada kematian salah satu pasangan. Namun, mbah Karno sendiri tidak sepenuhnya meyakini bahwa musibah, bencana, atau kejadian buruk lainnya yang menimpa pasangan suami istri disebabkan oleh bulan Suro. Mbah Karno juga menyatakan bahwa “perceraian, kematian, atau pertengkaran dalam rumah tangga juga pasti memiliki faktor lain yang menjadi penyebabnya. Akan tetapi, mayoritas masyarakat Rejuno tetap meyakini bahwa kejadian-kejadian tersebut merupakan akibat dari melanggar adat atau tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur dan sesepuh desa. Bisa jadi itu memang disebabkan kesakralan bulan itu (selo, suro, dan mulud) sebagaimana sudah dijelaskan dalam primbon jawa terkait nogo dino, dino naas, dan lain sebagainya”. Ujar mbah Karno
ADVERTISEMENT
Jika ditinjau lebih mendalam dalam ilmu perhitungan Jawa, larangan mengenai pernikahan itu sebenarnya tidak hanya terletak pada sasi atau bulan pelaksanaannya. Akan tetapi, yang lebih penting yaitu terletak pada pemilihan hari dan pasaran kapan akan dilaksanakan akad pernikahan itu dilangsungkan. Karena itulah yang akan menentukan baik buruk, lancar, atau tidaknya kedua mempelai pengantin tersebut.
Dari pembahasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa larangan menikah di bulan Suro telah menjadi kepercayaan yang dijaga dan dilakukan oleh masyarakat Desa Rejuno. Seiring waktu, keyakinan ini berkembang menjadi tradisi dan adat. Larangan ini pada dasarnya merupakan bentuk ekspresi penghormatan terhadap ajaran dan budaya yang diwariskan oleh para sesepuh dan leluhur desa. Masyarakat percaya bahwa bulan Muharram adalah bulan yang penuh dengan peristiwa penting, sehingga perlu dimuliakan dan dijaga kesakralannya dengan tidak mengadakan pernikahan atau hajatan besar. Meskipun demikian, masyarakat Desa Rejuno meyakini bahwa jika adat dan tradisi ini dilanggar, maka akan ada dampak atau musibah yang menimpa pasangan yang menikah di bulan tersebut.
ADVERTISEMENT