Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Menganilisis Sejarah Manifesto Kebudayaan di Indonesia
27 Mei 2022 17:02 WIB
Tulisan dari Elsa Ratna Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lahirnya manifesto kebudayaan mempambunyai sejarah yang panjang. Manifesto kebudayaan atau dikenal dengan manikebu adalah pernyataan sikap suatu kelompok yang diumumkan kepada publik. Menifesto Kebudayaan ini mengangkat konsep humanisme universal. Humanisme universal merupakan sebuah paham yang berfilosofi nilai kemanusiaan pada kehidupan dunia. Paham ini menitik beratkan bahwa kemanusiaan harus ditinggikan dan juga menjadi dasar suatu pemikiran manusia yang tidak terlepas dari satu bangsa saja, namun untuk semua bangsa didunia. Manifes Kebudayaan ini diprakarsai oleh H.B Jassin dan kawan-kawan.
ADVERTISEMENT
Sejarah lahirnya Menifesto Kebudayaan tidak bisa terlepas dari situasi politik yang berkembang pada masa itu, seperti Lekra dan LKN. Pada awal tahun 1963 para budayawan mencari perlindungan pada kelompok-kelompok politik. Pada saat itu tidak ada lagi perdebatan secara intelektual antara pemuda dengan pemuda, tetapi menjadi perdebatan sengit yang bersifat pribadi. Konflik ini membuat terpecah belahnya kelompok politik.
Namun, tidak semua budayawan setuju apabila seni ataupun budaya dikaitkan pada persoalan politik, mereka cenderung mengharapkan kemerdekaan atau kebebasan dalam berkreativitas. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1963, para budayawan mencetuskan suatu pernyataan yang dikenal dengan Manifesto Kebudayaan.
Menurut H.B. Jassin, Manifesto Kebudayaan dicetuskan sebagai ungkapan atas fitnahan Lekra terhadap seniman dan sastrawan yang tidak setuju dengan ideologi Lekra. Seniman dan satrawan tersebut menganggap Lekra sebagai reaksioner dan anti revolusioner. Oleh karena itu, Manifesto Kebudayaan dicetuskan sebagai sebuah pernyataan seniman dan sastrawan yang terdapat cita-cita kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut :
ADVERTISEMENT
“Namun akan menjawab serangan-serangan dan fitnahan-fitnahan yang dilemparkan orang terhadap Sastra dan pengarang-pengarang yang tergolong di dalamnya, atas inisiatif kawan-kawan pengarang, seniman dan cendekiawan disusun suatu Manifesto yang terkenal dengan ”Manifesto Kebudayaan” pada hari yang keramat 17 Agustus 1963. Di dalamnya dirumuskan apa yang menjadi cita-cita kebudayaan (inklusifkesusastraan) seniman dan cendekiawan kreatif dalam menyumbangkan tenaga dan pikiran pada pembangunan mental negara dan pribadi bangsa”.
Naskah Manifes Kebudayaan selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963 pada pukul 04.00 WIB. Kemudian naskah tersebut dapat diterima oleh Goenawan Mohamad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan didiskusikan pada tanggal 23 Agustus 1963 di Jalan Raden Saleh 19, Jakarta. Naskah tersebut kemudian diperbanyak dan disebarkan kepada para seniman untuk dipelajari terlebih dahulu dan didiskusikan pada pertemuan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 23 Agustus tepat pukul 11.00 WIB di Jalan Raden Saleh 19, Jakarta. Diadakan rapat untuk membahas Manifes kebudayaan. Rapat ini dihadiri oleh tiga belas orang yang terdiri dari kalangan seniman dan budayawan. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Goenawan Mohamad, kemudian memberikan kesempatan kepada Wiratmo Soekito sebagai konseptor naskah Manifesto Kebudayaan untuk menyampaikan penjelasan. Setelah Wiratmo Soekito memberikan penjelasannya, terjadilah diskusi di antara sastrawan dan seniman yang hadir pada pertemuan tersebut. Masalah yang cukup penting diperdebatkan adalah masalah kata Humanisme Universal. Perdebatan dalam diskusi tersebut berlangsung cukup panas. Pertemuan tersebut akhirnya memutuskan bahwa naskah Manifesto Kebudayaan yang disusun Wiratmo Soekito dapat diterima sebagai bahan dasar yang perlu diperinci dan disederhanakan serta dipertegas perumusannya. Akhirnya, dalam sidang tersebut diputuskan akan dibentuk panitia perumus Manifesto Kebudayaan yaitu Zaini (ketua), Bokor Hutasuhut (sekretaris), Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Soe Hok Djin, dan Wiratmo Soekito.
ADVERTISEMENT
Tinjauan Pustaka
Jassin, H.B. (1964). Masuk Tahun Keempat (Tahun Konfrontasi). Jakarta: Majalah Sastra.
Sitorus, Roy Harianto. (2017). Manifesto Kebudayaan di Medan (1963-1964). Skripsi. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.