Rasa Pedas atau Sensasi Panas?

Elsa Septria Darma
Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya 2021
Konten dari Pengguna
24 November 2021 19:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elsa Septria Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan yang namanya makanan pedas. Bahkan ada yang mengatakan tidak mau makan jika tidak dengan makanan yang pedas. Ternyata makanan pedas memang secandu itu bagi para penikmatnya. Tetapi apakah rasa pedas itu benar-benar ada? Atau hanya sekadar sugesti oleh otak? Pada dasarnya kajian mengenai rasa pedas memiliki kaitan erat dengan sensasi dan mekanisme otak dalam menghadapi serangan rasa pedas.
Dalam buah cabai terdapat zat capsaicin yang menyebabkan rasa pedas pada cabai. Foto : jcomp (Freepik.com).
Asal Mula Rasa Pedas pada Cabai
ADVERTISEMENT
Pedas adalah sensasi yang dihasilkan oleh senyawa biotik, yang mengakibatkan adanya rasa panas dan pedas saat memakan cabai. Makanan yang memiliki cita rasa yang pedas biasanya mengandung intensitas cabai yang tinggi. Banyak orang percaya bahwa rasa pedas dari cabai berasal dari bijinya. Tetapi faktanya rasa pedas pada cabai berasal dari suatu zat yang bernama zat capsaicin. Capsaicin adalah suatu zat yang menghasilkan rasa pedas dan panas pada mulut atau bagian yang terkena oleh zat tersebut. Zat capsaicin terletak pada plasenta dalam buah cabai.
Rasa pedas yang ditimbulkan memiliki beragam manfaat, seperti memperkuat denyut jantung dan saraf serta bermanfaat untuk mengatur peredaran darah dalam tubuh (Prainata, 1999). Sesungguhnya zat capsaicin tidak menghasilkan rasa pedas tetapi sensasi panas atau terbakar di dalam mulut dan lidah. Karena pada dasarnya lidah manusia tidak memiliki reseptor khusus untuk mengenali rasa pedas. Lidah hanya mempunyai 4 reseptor untuk mengenali rasa, yaitu manis, pahit, asam, dan asin. Jadi rasa pedas itu tidak pernah ada, melainkan hanya sensasi terbakar dan panas.
ADVERTISEMENT
Mengapa Sensasi Panas dan Terbakar Bisa Muncul?
Sensasi panas dan terbakar atau yang biasa dikenali sebagai rasa pedas saat mengonsumsi makanan pedas tidak mempunyai reseptor di lidah agar bisa mengenalinya. Sensasi pedas dari zat capsaicin diterima oleh papila lidah, yaitu sejenis tonjolan-tonjolan kecil pada lidah yang berfungsi untuk menerima stimulus pengecapan. Pada papila terdapat reseptor saraf sensorik khusus panas tinggi yang bernama Transient Receptor Potential Vanilloid One atau yang biasa disingkat TRPV1. Fungsi dari reseptor saraf ini adalah untuk mengirimkan informasi pada otak bahwa di tempat diterimanya zat capsaicin sedang mengalami kebakaran atau kepanasan. Bagian otak yang menerima rangsangan dari reseptor saraf TRPV1 ini adalah Lobus Parietal yang merupakan bagian dari Cerebral Cortex. Lobus Parietal banyak berkaitan dengan fungsi menerima pesan atau sensasi yang diperoleh melalui panca indra, seperti pesan dari reseptor lidah saat menyampaikan rangsangan dari zat capsaicin. Oleh karena itu pedas tidak dapat dimasukkan dalam kategori rasa layaknya rasa manis, asin, asam, dan pahit. Karena ketika zat capsaicin menyinggung papilla dan memberikan stimulus pada saraf, TRPV1 mengirimkan informasi pada otak berupa rasa sakit seperti lidah kita dalam keadaan terbakar. Perasaan panas dan terbakar oleh lidah ini tidak berbeda dengan sensasi yang dirasakan kulit kita terbakar. Sehingga pedas bukanlah rasa, melainkan sensasi panas yang diterima oleh otak.
ADVERTISEMENT
Reaksi Otak terhadap Sensasi Pedas
Saat zat capsaicin pada cabai mengenai permukaan dari lidah, maka Transient Receptor Potential Vaniloid One (TRPV1) akan segera menyampaikan rangsangan atas sensasi yang diterimanya ke bagian otak Cerebral Cortex yaitu Lobus Parietal. Setelah rangsangan diterima, otak akan menyampaikan ke seluruh anggota tubuh bahwa ada bagian tubuh yang mengalami “kebakaran” yang tidak lain adalah bagian mulut atau lidah yang terkena zat capsaicin saat memakan makanan pedas. Selanjutnya otak memerintahkan bagian dan organ tubuh untuk memberikan pertolongan atau reaksi otomatis dalam menanggapi sensasi panas dan terbakar untuk mengurangi rasanya. Oleh karena itu saat memakan makanan pedas, tidak jarang kita mengeluarkan keringat, ingus, bahkan air mata.
Karena zat capsaicin menyebabkan TRPV1 mengirimkan sinyal panas atau terbakar pada Lobus Parietal yang diterimanya sebagai rasa sakit, maka otak juga akan mengirim sinyal pada bagian otak Hipotalamus yang berfungsi untuk mengendalikan produksi hormon oleh kelenjar pituitary. Kelenjar pituitary inilah yang mengeluarkan bahan kimiawi berupa hormon yang dibutuhkan oleh tubuh.
ADVERTISEMENT
Rasa sakit ini segera direspon dengan mengeluarkan neurotransmitter yang bernama hormon endorfin. Hormon endorfin berfungsi untuk mengendalikan rasa sakit dan menimbulkan perasaan senang. Selain itu Hipotalamus juga memerintahkan Kelenjar Pituitary untuk mengeluarkan hormon dopamine yang berfungsi untuk mengendalikan perasaan senang dan bahagia yang membuat rasa sakit dan panas yang dirasakan sebelumnya menjadi terasa lebih nikmat. Oleh sebab inilah banyak orang-orang yang ketagihan dengan rasa pedas.
Scoville Organoleptic Test
Seorang apoteker sekaligus ahli kimia yang berasal dari Amerika Serikat bernama Wilbur Scoville, berhasil mengembangkan alat untuk mengukur tingkat kepedasan atau sensasi panas yang ditimbulkan oleh cabai pada tahun 1912. Alat tersebut bernama Scoville Organoleptic Test yang bekerja dengan mengukur berapa banyak zat capsaicin yang terkandung dalam cabai. Ia menciptakan satuan skala untuk mengukur tingkat kepedasan dalam beberapa jenis macam cabai, yang diberi nama Skala Scoville yang masih dipakai hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Pengaruh adanya alat untuk mengukur tingkat kepedasan sangat penting karena juga berhubungan dengan permintaan konsumen makanan yang tidak semuanya menyukai cabai dengan tingkat kepedasan yang tinggi. Selain itu penentuan tingkat kepedasan yang akurat berbagai jenis capsaicinoid juga sangat krusial dalam peningkatan produksi obat-obatan yang menggunakan zat capsaicin (Carmichael, 1991).
Daftar Pustaka :
Neuron. (2019, Augustus 20). How can we stand spicy food? [Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=Bfzh2Ph2Nsg&t=74s
Collins, A. D,. Wasmund, L. M., & Bosland, P. W. (1995). Improved method for quantifiying capsaicinoids in capsium using high performance liquid chromatography. Hort Science, 30(1), 137-139. https://doi.org/10.21273/HORTSCI.30.1.137
Gmyrek, D. P. (2013). Wilbur lincoln scoville: the prince of peppers. Pharmacy In History, 55(4), 136–156. http://www.jstor.org/stable/24632002
ADVERTISEMENT
Wardhana, M. (2016). Role of neurotransmitter in skin immunity. Pychoneuroimmunology In Dermatology. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/10772dcb9d4628c154bf72d84712b328.pdf