Kasus Gayus Tambunan : Apakah Hubungannya Dengan Etika Profesional?

elvani azzuhra
Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
28 Desember 2020 17:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari elvani azzuhra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pajak from blog.realestatebook.com
zoom-in-whitePerbesar
Pajak from blog.realestatebook.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Etika merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan oleh seluruh profesi, khususnya Etika Profesional. Etika Profesional ditetapkan oleh setiap profesi untuk membantu karyawannya agar dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Etika Profesional merupakan etika yang mencakup seluruh prinsip perilaku orang-orang yang profesional di dalam suatu profesi memiliki tujuan praktis maupun tujuan idealistis. Sayangnya masih banyak anggota-anggota atau karyawan dari berbagai profesi yang masih belum mempunyai dan mementingkan Etika Profesional. Salah satu kasus yang kental hubungannya dengan pelanggaran Etika Profesional menggemparkan Indonesia pada tahun 2010 sampai 2011, yaitu kasus Gayus Tambunan.
ADVERTISEMENT
Kasus Gayus Tambunan diselidiki pada tahun 2009, dan dijatuhi hukuman penjara 29 tahun karena kasus yang menimpanya.
Etika Profesional dan Kasus Penggelaoan Pajak Gayus Tambunan
Kata etika atau “ethikos” dalam bahasa Yunani yang berarti ‘timbul dari kebiasaan” atau dalam bentuk jamak “ta etha” yang berarti “adat istiadat”. Dengan etika dapat diartikan sebagai ilmu atau studi yang mendalami tentang hal-hal yang sudah biasa dilakukan, kebiasaan, atau adat istiadat. Etika juga bagian dari cabang utama ilmu filsafat yang fokus untuk mendalami nilai-nilai yang menjadi studi mengenai penilaian moral. Di dalam etika, terdapat adanya penjabaran dan aplikasi konsep, seperti benar, salah, baik, buruk, dan lain-lain.
Etika ini secara umum memiliki tiga maksud. Yaitu yang pertama, nilai-nilai dan norma-norma atau biasa disebut sistem nilai. Nilai dan norma inilah hal yang dijadikan pegangan oleh seorang individu maupun kelompok untuk menjadi dasar pengaturan tingkal lakunya. Kedua, himpunyay asas atau nilai moral. Dalam hal ini dapat berarti kode etik dalam profesi, seperti kode etik peneliti, kode etik ASN, dan lain-lain. Ketiga, etika adalah ilmu mengenai hal yang baik dan yang buruk.
ADVERTISEMENT
Profesi dapat berarti jabatan yang dipegang seseorang. Menurut Brandeis, profesi didefinisikan sebagai pekerjaan yang membutuhkan pelatihan intelektual, yanag bersangkutan dengan ilmu pengetahuan sampai dengan suatu tingkat tertentu (sarjana atau sederajat), yang tidak sama dari hanya keahlian atau kecakapan. Pekerjaan yang dilakukan juga kebanyakan demi kebaikan orang lain, bukan demi diri sendiri. Terdapat perbedaan yang menjadi dasar antara pengetahuan dan keahlian seorang yang professional dalam bidangnya. Sasaran dari seorang profesional adalah demi kebaikan klien-nya. Kebaikan inilah yang terdapat di dalam pengetahuan. Kebaikan memiliki fungsi untuk mengatur perolehan dan penerapan ilmu, sedangkan keahlian adalah pengetahuan yang diterapkan oleh praktisi demi tercapainya suatu tujuan tertentu.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa profesi bukan hanya sekedar pekerjaan atau okupasi yang dimiliki seseorang saja. Terdapat syarat-syarat yang diperlukan bagi seseorang untuk menjadi seorang profesional, antara lain: mendapat pendidikan formal setara kesarjanaan, memiliki nilai-nilai, memiliki dan mengamalkan kode etik profesi, dan mempunyai tujuan, yaitu kebaikan klien.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah disebutkan di dalam teori etika profesi di atas, seorang profesional perlu mempunyai dan mengamalkan kode etik profesi. Kode etik ini bertujuan untuk, memperjelas dan mengatur tanggung jawab kepada klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya; membantu seseorang yang ahli dalam profesinya dalam menentukan apa saja hal-hal yang harus dilakukan apabila menghadapi dilema-dilema dalam pekerjaan; membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama baik dalam masyarakat; mencerminkan pengharapan moral-moral dari komunitas; menjadi dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas dari tenaga ahli profesi; dan terakhir apabila seorang profesional melanggar kode etik yang ada, maka ia akan menerima sanksi dari organisasi induknya.
Etika profesional ini sangat perlu diterapkan bagi setiap individu yang bekerja di bidang profesional, terutama di bidang perpajakan. Penerapan etika ini sangat penting dalam upaya mengontrol para ahli-ahli profesi di lingkup perpajakan negeri ini. Di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013, diatur bahwa salah satu prinsip dari standar umum pemeriksaan pajak adalah pemeriksa pajak harus tunduk pada kode etik yang telah diterapkan oleh DJP yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007. Di dalam peraturan ini, di dalam Pasal 3 nomor 2, disebutkan bahwa setiap pegawai pajak diwajibkan untuk bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel. Kemudian di pasal 4, disebutkan bahwa pegawai pajak dilarang untuk menyalahgunakan kewenangan jabatannya (nomor 3) dan juga melakukan hal yang tidak sesuai dengan nora asusila dan dapat merusak citra martabat Direktorat Jenderal Pajak (nomor 8). Apabila seorang pegawai pajak melakukan pelanggaran kode etik, maka ia akan dikenakan sanksi moral sesuai dengan yang tercantum di dalam Pasal 6 ayat (1).
ADVERTISEMENT
Kasus yang menimpa Gayus Tambunan adalah kasus suap dan juga penggelapan pajak. Apabila dilihat dari kode etik yang telaj dijelaskan di atas, maka Gayus Tambunan telah melanggar kode etik tersebut, terutama Pasal 3 dan Pasal 4. Selain itu melanggar kode etik, ia juga telah bersikap tidak profesional di dalam profesinya sebagai pegawai pajak. Seperti yang sudah disebutkan di atas, syarat seseorang menjadi seorang profesional adalah memiliki nilai-nilai, memiliki dan mengamalkan kode etik profesi, dan bertujuan demi yaitu kebaikan klien. Dengan melakukan tindak pidana suap dan penggelapan pajak, maka sudah jelas Gayus Tambunan tidak memenuhi syarat-syarat ini. Dengan demikian, Gayus tambunan telah melanggar etika profesional. Hal ini dikarenakan ia tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi seorang profesional. Ditambah lagi ia telah melanggar kode etik yang sudah diterapkan.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran Prinsip Etika Profesional Kasus Penggelapan Pajak Gayus Tambunan
Kasus suap Gayus ini merupakan salah satu kasus suap terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, melibatkan banyak peran dan tokoh penting masyarakat lainnya, ia disebut memiliki rekening dengan saldo Rp 25 miliar beserta rumah mewah yang didapatnya dari penggelapan dana, hal ini terlihat sangat mencurigakan karena gaji Gayus sebagai pegawai pajak hanyalah sebesar Rp 12,5 juta perbulan, keganjilan ini menyebabkan para pejabat negara yang berkepentingan untuk menindak korupsi melakukan penyelidikan terhadap dirinya. Selain penggelapan dana ini, Gayus juga diduga menerima suap dari beberapa pihak, salah satunya senilai Rp 925 juta dari Roberto Santonius dan Rp 35 miliar dari Alif Kuncoro yang merupakan pengurusan sunset policy di PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin, selain rentetan kasus ini, Gayus juga disinyalir menerima gratifikasi sebesar USD 659.800 dan tidak melaporkannya kepada KPK.
ADVERTISEMENT
Kasus Gayus ini tidak dapat dinyatakan sebagai kasus pidana perpajakan karena kasus ini tidak memiliki kaitan dengan SPT wajib pajak, tetapi tetap saja kasus ini erat hubungannya dengan kasus perpajakan, dimana Gayus melakukan tindak kejahatan tersebut di dalam lingkungan perpajakan. Dari kasus ini Gayus dijerat dengan beberapa pasal, yaitu :
• Pasal 18 UU no. 31 Tahun 1999 : pemberantasan tindak pidana korupsi
• Pasal 5 ayat 1a no. 31 Tahun 1999 : tindak pidana korupsi
• Pasal 6 ayat 1a no. 31 Tahun 1999 : tindak pidana korupsi
• Dan Pasal 22 no. 31 Tahun 1999 : Undang – Undang tindak pidana korupsi
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kasus penggelapan pajak Gayus, hal yang dapat dianalisis dari segi etika profesi yang dilanggar ialah:
1. Prinsip tanggung jawab : dari kasus ini kita dapat melihat bahwa Gayus tidak memiliki sikap profesional sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh setiap tenaga kerja , ia tidak memiliki rasa tanggung jawab yang besar dan tidak dapat mempertanggungjawabkan kewajiban dari jabatan dan profesi yang dimilikinya. Gayus melakukan kegiatan menyimpang beberapa kali, hal ini menandakan bahwa dalam melakukan pekerjaannya ia tidak didasari dengan pertimbangan moral dan sikap profesional, hal ini dibuktikan dengan Gayus melakukan penerimaan suap dan pelanggaran kasusu perpajakan. Ia terbukti merugikan negara sebanyak Rp 570 juta dan menyalah gunakan kekuasaannya dengan menyampaikan keberatan dan banding dari WP PT. Surya Alam Perkasa, selain itu ia juga melakukan penyuapan sebanyak USD 750 juta, ia memberikan dana ini sebagai dana “pelicin” kepada petugas yang pelakukan penyidikan dari Bareskrim Mabes Polri, hal ini dilakukan agar pihak yang berwenang tidak memblokir rekening Gayus, Gayus juga meminta agar petugas tidak melakukan penyitaan atas rumahnya, dan melakukan pemindahan lokasi pemeriksaannya dari Mabes Polri ke hotel. Pada saat pemeriksaan, Gayus bohong atas pernyataannya yang diberikan kepada penyidiktentang surat kepemilikan rekeningnya yang berjumlah milyaran rupiah agar rekening tersebut tidak dibekukan. Gayus juga terbukti melakukan suap terhadap sejumlah petugas penjara yang terletak di Brimob Kelapa Dua, Depok dengan nominal Rp 1,5 juta sampai Rp 4 juta. Kasus Gayus tersebut menyalahi prinsip tanggung jawab karena sebagai seorang profesional seharusnya ia dapat memakai jasa profesionalnya untuk memelihara kepercayaan masyarakat, namun ia menyalahgunakannya dengan cara melakukan berbagai tindak kecurangan tersebut.
ADVERTISEMENT
2. Prinsip keadilan : Gayus tidak mengedepankan keadilan, seharusnya keadilan dalam bekerja dilakukan kepada seluruh orang yang berhak menerimanya termasuk dalam hal bekerja dan hal mempertanggungjawabkan pekerjaannya. Seorang profesional seharusnya dapat menyelesaikan tugasnya dengan adil dan tidak mencari berbagai celah kemudahan untuk kepentingan diri sendiri. Selain itu, di dalam jalannya proses hukum terhadap dirinya, Gayus juga pernah berjanji utnuk memberi uang senilai 40 ribu dolar kepada Muhtadi Asnun (PN Tangerang) agar ia dapat mempengaruhi majelis hakim dan memudahkan jalannya persidangan akan dirinya.
3. Prinsip otonomi : Gayus tidak dapat menjalankan pekerjaannya sesuai dengan prinsip ini karena ia dapat menggunakan wewenang yang dimiliki dengan sebagaimana seharusnya. Wewenang yang dimilikinya tidak dijalankan sesuai dengan kode etik yang dimilikinya. Hal ini dibuktikan dengan Gayus melakukan penerimaan suap dari berbagai pihak yang terkait dengan pengurusan gugatan keberatan pajak, mengurangi keberatan pajak, dan melakukan money laundring bersangkutan dengan uang yang disimpan oleh Gayus di safe box deposit box di Bank Mandiri cabang Kelapa Gading.
ADVERTISEMENT
4. Prinsip integritas moral : Gayus tidak memiliki integritas moral dan kualitas moral yang seharusnya dapat ia terapkan ke dirinya dengan konsisten, konsistensi ini merupakan suatu hal yang bersifat krusial karena konsistensi berkaitan erat dengan profesionalitasnya sebagai pegawai pajak. Di dalam melakukan pekerjaan dan tanggung jawabnya, Gayus seharusnya memiliki komitmen terhadap dirinya sendiri demi menjaga nama baik profesi yang ia miliki dan menjaga kepentingan dan kepercayaan publik atas instansinya, ia memperlakukan sebuah kegiatan yang memperlihatkan bahwa pegawai dan institusi Dirjen Pajak terlihat seperti tempat penyelenggaraan korupsi. Dikarenakan tidak dijalankannya prinsip integritas moral, korupsi yang Gayus lakukan mengakibatkan negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 645,99 miliar dan USD 21,1 juta dan dua wajib pajak yang terkait dengan sunset policy, potensi kerugian negara ini terhitung sebesar Rp 339 miliar.
ADVERTISEMENT
5. Kepentingan Publik : Dengan Gayus menerima suap dari beberapa pihak, maka otomatis ia telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip ini, karena dengan ia menerima suap, berarti ia telah menggunakan uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan negara demi kesejahteraan publik untuk memperkaya dirinya sendiri, sehingga jumlah pajak yang diterima negara tidak sebesar semestinya dan pengalokasian dana untuk pembangunan atau program penyejahteraan rakyat tidak dapat dilakukan dengan optimal.
6. Integritas : Gayus menunjukkan pelanggarannya atas prinsip ini karena ia sudah mengutamakan kepentingan pribadinya dibanding dengan kepentingan publik. Ia tidak memiliki integritas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, ia merusak kepercayaan publik terhadap instansi negara.
7. Objektivitas : Gayus Tambunan tidak memiliki sikap objektif dalam menkjalankan pekerjaannya sebagai pegawai Dirjen Pajak, hal ini dibuktikan dengan Gayus membantu kliennya untuk mendapatkan kemenangan dalam pengadilan pajak dan menerima imbalan atas jasanya tersebut.
ADVERTISEMENT
8. Kompetensi dan sifat kehati-hatian : Yang dimaksud dari prinsip ini adalah sikap profesional harus mempertahankan keterampilan profesional dan ketekunan agar klien dapat mendapatkan manfaat yang maksimal dari jasa yang profesional yang telah disampaikan dengan cakap berdasarkan perkembangan praktek, legislasi, dan teknik yang mutakhir. Dari kasus ini, Gayus Tambunan sudah melakukan salah satu contoh dari etika professional dengan berlaku sopan kepada Wajib Pajak, tetapi bersikap kompeten menyalahi prinsip kehati – hatian dan profesionalismenya.
9. Perilaku profesional : Gayus Tambunan melakukan pelanggaran etika professional yang membuat DJP terlihat seperti tempat untuk melakukan korupsi, ia tidak konsisten dengan reputasi yang ia miliki dengan melakukan tindakan dan kegiatan yang mendiskreditkan profesinya.
10. Standar Teknis : Berdasarkan kasus ini kita dapat melihat bahwa Gayus telah melakukan penyimpangan dari standar pekerjaan aparat Dirjen Pajak, karena semua aparat Dirjen Pajak memiliki larangan untuk melakukan pemerimaan suap dari siapapun termasuk Wajib Pajak.
ADVERTISEMENT
Etika Profesional Pelayanan Pajak Yang Baik
Etika profesional sangat dibutuhkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam melayani para pembayar pajak agar pembayar pajak merasa nyaman dan puas dalam pelayanannya. Setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak diharuskan untuk bertanggung jawab dan memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan Kode etik bagi pegawai DJP yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007. Dalam praktiknya, etika profesional pelayanan pajak memang memiliki banyak tantangan karena tidak sedikit wajib pajak yang melakukan pelanggaran peraturan perpajakan yang dilakukan bersama dengan pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Kode etik yang harus ditaati oleh setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak merupakan dasar yang dipakai untuk beriskap, perilaku, dan berbuat dalam sehari-hari sebagai pegawai dalam melakukan tugas yang menjadi tanggung jawab dan juga fungsinya di kehidupan kerjanya sehari-hari. Kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak memiliki tujuan untuk meningkatkan disiplin pegawai, menjamin terpeliharanya tata tertib, menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif, menciptakan dan memelihara kondisi kerja serta perilaku yang profesional, dan meningkatkan citra dan kinerja pegawai.
ADVERTISEMENT
Pelayanan pajak yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak harus dilakukan dengan baik dengan cara menghindari hal-hal, seperti bersikap diskriminatif dalam melaksanakan seluruh jenis tugas contohnya kepada setiap wajib pajak yang harus dilayani proses pajaknya. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak juga dilarang untuk menjadi bagian dari partai politik atau hanya simpatisan partai politik, karena seluruh Pegawai Negeri Sipil di Indonesia diharuskan untuk bersikap netral terhadap hal tersebut. Pelanggaran yang bisa dibilang paling sering dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak adalah penyalahgunaan kewenangan jabatan yang dimiliki para pegawai dan penerimaan gratifikasi yang dianggap memiliki kewajiban yang berkaitan dengan pekerjaan atau wewenang pegawai Direktorat Jenderal Pajak, contohnya seperti kasus Gayus Tambunan. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak juga dilarang untuk menyalahgunakan fasilitas yang disediakan di setiap Kantor Pelayanan Pajak masing-masing pegawai, dan menyalahgunakan, mengganggu, merusak, dan mengubah data dan atau informasi yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti data dan atau informasi yang dimiliki oleh wajib pajak. Larangan terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilarang untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji dan bertentangan dengan norma asusila serta dapat merusak citra Direktorat Jenderal Pajak, seluruh pegawai Direktorat Jenderal Pajak diharuskan untuk memiliki perilaku yang baik sesuai dengan kode etik yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Selain dengan menerapkan kode etik yang telah diatur, pelayanan pajak yang baik bisa dilakukan dengan mengedepankan motto-motto pelayanan perpajakan, yaitu yang pertama adalah kejujuran, setiap kasus pelayanan pajak dibutuhkan kejujuran tidak hanya dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak namun juga dari wajib pajak sendiri, karena kebanyakan kasus pelanggaran pajak merupakan hasil dari kerja sama antara pegawai pajak dan orang yang bersangkutan. Kejujuran dibutuhkan dalam setiap proses pelayanan pajak diiringi dengan pelaksanaan kode etik dan prinsip-prinsip dasar moral pelayanan pajak, yang jika diterjemahkan akan menghasilkan pelayanan pajak yang baik. Selain kejujuran, pelayanan pajak juga membutuhkan metode kerja yang inovatif yang diharapkan dapat membuat proses pelayanan pajak dapat berjalan dengan efektif dan efisien sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah dianjurkan. Dalam pelayanan pajak, untuk memberi pelayanan yang maksimal, pegawai Direktorat Jenderal Pajak juga diharuskan untuk tanggap terhadap permasalahan perpajakan yang dimiliki oleh setiap wajib pajak yang sedang berurusan terkait pembayaran pajaknya. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak harus sigap untuk membantu permasalahan wajib pajak, tetapi harus tetap mengikuti aturan-aturan yang berlaku dan tidak melewati batas-batas kode etik yang diperkenankan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan juga Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan kode etik yang sejalan dengan etika profesional yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seluruh pegawai Direktoran Jenderal Pajak, tak hanya penetapan kode etik, dalam pelanggaran kode etik pun seluruh pegawai akan dikenakan sanksi yang mengikat pegawai Direktorar Jenderal Pajak sendiri. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai berkaitan dengan maraknya kerja sama yang dilakukan pegawai Direktorat Jenderal Pajak bersama klien atau Wajib Pajak. Kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan merupakan kasus yang sangat bertolak belakang dengan seharusnya seorang pegawai menjunjung tinggi etika profesional. Seluruh perilakunya melanggar kode etik yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan tugasnya sebagai pegawai dari Direktorat Jenderal Pajak.
ADVERTISEMENT
Etika profesional yang direalisasikan dalam bentuk kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak, seharusnya ditaati oleh seluruh pegawainya karena hal tersebut merupakal hal yang sangat penting untuk diterapkan dan merupakan kunci utama dalam menghasilkan pelayanan pajak yang baik. Pelayanan pajak yang baik dilakukan untuk merupakan suatu kewajiban dari pegawai untuk mendorong kepuasan dan memberikan kesejahteraan kepada Wajib Pajak, dan merupakan suatu bentuk usaha dan tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat.
Berdasarkan pembahasan yang telah dibahas di atas, kami memiliki beberapa saran yang diharapkan dapat dipakai untuk mengatasi permasalahan terkait, antara lain :
1. Pemerintah dapat meningkatkan kualitas pelayanan pajak dengan pengetatan pelaksanaan kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
ADVERTISEMENT
2. Harus ada pengenaan sanksi yang jelas terhadap pelanggar kode etik, tanpa melakukan pandang bulu dan harus adil pelaksanaannya terhadap seluruh pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
3. Pemerintah dapat melakukan pengetatan pengawasan terhadap kerja pegawai Direktorat Jenderal Pajak agar dapat memperoleh data pelanggar dan dapat memprosesnya untuk dikenakan sanksi.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2005. Etika. Jakarta: Gramedia
Brandeis, Louis Dambitz. 1933. Business-A Profession. Boston: Hale, Cushman & Flint
Ikatan Akuntan Indonesia. 2011. Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Salemba Empat.
Indonesia, Direktur Jenderal Pajak. Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Standar Pemeriksaan. Nomor PER-23/PJ Tahun 2013
Indonesia, Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Nomor PM 3 Tahun 2007
ADVERTISEMENT
Institut Akuntan Publik Indonesia. 2008. Kode Etik Profesi Akuntan Publik. Jakarta: IFAC.
Jur., Andi Hamzah. 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lubis, Suhrawardi K. 1994. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Pakpahan, Vanroy. Inilah Kronologi Kasus Gayus Versi Kejaksaan. https://www.tribunnews.com/nasional/2010/03/22/inilah-kronologi-kasus-gayus-versi-kejaksaan. Dipublikasikan pada 2010. Diakses pada 16 Desember 2020.
Umam, Khaerul. 2019. Etika Administrasi. Bandung: CV Pustaka Setia