Social Distancing: Cara Ampuh Redam Penyebaran Covid-19

Konten dari Pengguna
21 Maret 2020 1:56 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elvie Indayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi social distancing. Foto dari www.hub.jhu.edu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi social distancing. Foto dari www.hub.jhu.edu
ADVERTISEMENT
Di hari ke-19 merebaknya pandemi virus Corona di Indonesia, ditemukan 369 kasus pasien positif COVID-19. Sejumlah 32 orang meninggal akibat wabah virus ini sementara pasien yang dinyatakan sembuh sebanyak 17 orang.
ADVERTISEMENT
Data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan ini diprediksi akan terus meningkat, melampaui angka 8.000 kasus hingga pertengahan April 2020.
Sumber: Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB Bandung
Menurut Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung, proyeksi angka di atas 8.000 kasus tersebut hanya akan diperoleh jika Indonesia menerapkan sistem pencegahan yang baik.
Artinya, jika sistem pencegahan sederhana seperti penerapan social distancing tidak dilakukan dengan disiplin, angka 8.000 kasus ini dapat terus bertambah dan puncak penyebaran COVID-19 juga meningkat, sehingga pandemi akan berakhir lebih lama dari proyeksi pertengahan April 2020.
Apa itu social distancing?
Social distancing, atau pembatasan jarak sosial, bertujuan untuk mencegah penyebaran wabah COVID-19. Tidak berjabat tangan atau cipika-cipiki dengan teman dan kolega, menghindari kerumunan dan fasilitas umum, meningkatkan jarak fisik dengan orang lain, membatasi bepergian yang tidak penting, serta beraktivitas dari rumah; merupakan contoh social distancing.
ADVERTISEMENT
Dengan penerapan social distancing, diharapkan jumlah orang yang terpapar virus corona tidak melonjak dalam waktu yang sama, sehingga rumah sakit tidak dapat melayani pasien secara optimal dengan kapasitas tenaga medis dan daya tampung yang ada. Social distancing juga bertujuan untuk meratakan kurva laju penyebaran virus COVID-19 (flattening the curve).
Flatten the curve: social distancing bertujuan untuk menekan penyebaran virus corona. Foto dari www.hub.jhu.edu
Presiden Jokowi telah mengeluarkan himbauan untuk mengurangi mobilitas. Bahwa aktivitas seperti bekerja, belajar dan beribadah dapat dilakukan secara efektif dari rumah. Himbauan ini dipertegas para pemuka agama di Indonesia yang meminta umatnya untuk beribadah dari rumah, setidaknya sampai 4 April 2020.
Tentu tidak semua orang cukup beruntung dapat bekerja, belajar atau beribadah dari rumah, atau dalam istilah populer disebut sebagai Work From Home (WFH). Jika Anda terpaksa harus bekerja diluar rumah, adalah sangat penting menjaga jarak minimal 1,5-2 meter dan tidak bersentuhan saat berinteraksi dengan orang lain. Menjaga jarak perlu dilakukan dimanapun; baik di tempat kerja, atau saat mengantri di transportasi publik dan belanja kebutuhan pokok di supermarket, maupun di dalam lift. Hindari kerumunan, menunda aktivitas berkelompok, adalah hal paling mudah dilakukan saat ini.
Foto dari berbagai sumber.
Masyarakat kita masih anggap remeh social distancing?
ADVERTISEMENT
Meskipun jumlah kasus positif COVID-19 semakin meningkat dengan area sebaran yang lebih luas, tampaknya himbauan untuk melakukan social distancing tidak serta merta diterapkan secara serius.
Penulis mengunjungi salah satu mal terkemuka di Jakarta pada akhir pekan lalu untuk mencari kebutuhan pokok. Agak miris melihat banyak orang tua yang justru mengajak anak-anaknya untuk nge-mall saat sekolah diliburkan akibat wabah COVID-19. Masih banyak kerumunan anak muda yang kongkow di café-cafe. Sekelompok ibu-ibu muda masih mengadakan arisan di restoran.
Tidak hanya terjadi di Jakarta. Sanak saudara di Pulau Sumatera dan Kalimantan pun bercerita hal serupa. Orang-orang masih terlihat cool dan yakin bahwa situasi aman terkendali. Belum terlihat penerapan social distancing di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Alih-alih social distancing, yang terjadi malah social crowding, antrian yang padat dan mengular, seperti pemandangan di salah satu halte busway pada awal minggu ini.
Social crowding. Foto dari berbagai sumber.
Mungkin beberapa mitos sebagai berikut lah yang membuat banyak orang masih bersikap santuy dan belum menganggap serius pentingnya social distancing saat ini.
Mitos 1: Social distancing hanya untuk orang tua
Fakta: COVID-19 tidak pandang usia.
Berusia muda tidak menjamin diri Anda kebal; tidak akan terinfeksi maupun menularkan infeksi. Betul bahwa orang tua atau yang berusia lanjut, apalagi yang telah memiliki penyakit penyerta, menjadi lebih rentan untuk tertular virus. Betul bahwa kebanyakan pasien positif COVID-19 dan yang meninggal dunia adalah yang berusia lanjut.
Namun demikian, gaya hidup di perkotaan yang tidak sehat dengan tingkat stress tinggi juga telah menciptakan generasi muda dengan penyakit seperti hipertensi, diabetes, kolesterol atau jantung; kondisi kesehatan yang membuat anak muda juga rentan terpapar virus corona.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat, 48 persen pasien COVID-19 ada dalam kategori kelompok muda, berusia antara 20-54 tahun, yang tidak sadar bahwa mereka telah tertular virus corona. Sebanyak 5 persen berusia dibawah 19 tahun; 18 persen berasal dari kelompok usia 55-64 tahun; 25 persen berasal dari kelompok usia 65-84 tahun; dan 4% sisanya merupakan lansia di atas usia 85 tahun.
Jangan merasa santuy juga jika Anda merasa sehat. Walaupun secara fisik sehat, Anda juga berpotensi menjadi carrier (pembawa virus) tanpa Anda sadari dan menularkannya ke orang-orang yang lebih rentan.
Jadi, yang merasa muda dan sehat, jangan anggap remeh dan terlalu percaya diri ya. Tetap waspada!
Mitos 2: Hanya orang yang dites positif COVID-19 yang perlu mengisolasi diri
ADVERTISEMENT
Fakta: Sampai saat tulisan ini dibuat, jumlah test pack COVID-19 yang tersedia belum sebanding dengan kebutuhan. Dalam kondisi seperti ini, petugas kesehatan tentu harus memprioritaskan kepada siapa tes COVID-19 harus diberikan.
Jika Anda sakit, baik itu demam, batuk, nyeri tenggorokan atau gejala penyakit penyakit pernafasan lain, segera cek dan minta rekomendasi petugas kesehatan. Walaupun rekomendasinya negatif, segera isolasi diri dengan tinggal di rumah sampai gangguan kesehatan tersebut hilang.
Demikian juga jika Anda Anda melakukan kontak dengan pasien positif COVID-19. Segera konsultasi petugas kesehatan dan isolasi diri, walaupun Anda tidak merasa sakit.
Jika Anda pulang dari wilayah atau negara dimana wabah berlangsung, maka Anda juga perlu mengisolasi diri selama 14 hari sejak tanggal kepulangan dari wilayah atau negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Mitos 3: Virus corona hanya menyebar dari batuk dan bersin.
Fakta: Metode penularan virus corona memang kebanyakan berasal dari droplet atau tetesan yang timbul selama batuk, bersin, dan bahkan dari saat seseorang bernapas dan berbicara.
Namun demikian, menurut para praktisi kesehatan, terdapat metode penularan lainnya; baik melalui kontak dengan permukaan yang terkontaminasi, maupun dengan menghirup virus di udara. Ketika seseorang batuk atau bersin, akan menghasilkan droplet dimana sebagian dari droplet mendarat di permukaan seperti pintu dan meja, dan bagian fraksi droplet lainnya tetap berada di udara sebagai aerosol kecil yang berpotensi untuk Anda hirup.
Jadi, social distancing dikombinasikan dengan upaya meningkatkan daya tahan tubuh serta menjaga kebersihan diri, perlu dilakukan ya.
ADVERTISEMENT
Mitos 4: Penggunaan masker cukup untuk melindungi diri dari virus COVID-19
Fakta: Penggunaan masker sebenarnya sangat direkomendasikan untuk orang yang sakit. Namun dalam kondisi saat ini, menggunakan masker saja tidak cukup untuk melindungi orang sehat dari paparan COVID-19.
Bepergian yang tidak penting atau mengunjungi keramaian sangat tidak disarankan. Jika Anda terpaksa harus keluar rumah, patuhi jarak aman 1,5-2 meter dan ikuti rekomendasi protokol kesehatan, seperti sering mencuci tangan, meningkatkan daya tahan tubuh dengan tambahan suplemen, menjalankan pola hidup sehat, mengkonsumsi makanan bergizi, berolahraga teratur, serta pola tidur yang teratur dan berkualitas.
Mitos 5. Dengan social distancing, pengurangan jumlah kasus COVID-19 akan langsung terlihat dalam waktu singkat.
ADVERTISEMENT
Fakta: Selain mencegah penyebaran virus, social distancing juga bertujuan untuk mengurangi beban atau tekanan pada sistem layanan kesehatan kita dalam beberapa minggu atau bulan mendatang.
Penerapan social distancing di RRT misalnya, membuat jalanan di berbagai kota di negara tersebut hampir kosong selama lebih dari sebulan. Bahkan penerapan social distancing secara disiplin tetap membuat kewalahan pemerintah, petugas medis, dan rumah sakit di RRT dalam merawat pasien COVID-19 yang membeludak, sementara kapasitas rumah sakit dan tenaga medis berkurang.
Social distancing yang efektif akan terlihat hasilnya dalam waktu relatif panjang. Apalagi, saat ini belum terdapat obat atau vaksin khusus untuk COVID-19.
Mitos 6: Social distancing akan mempengaruhi kesehatan mental
Fakta: Social distancing tidak berarti menghentikan semua bentuk interaksi dengan orang lain. Pembatasan jarak fisik merupakan istilah yang lebih tepat daripada pembatasan jarak sosial. Tujuan social distancing adalah untuk mengurangi interaksi fisik, bukan hubungan emosional.
ADVERTISEMENT
Nah, selama interaksi sosial ini tetap berlangsung, social distancing tidak akan mempengaruhi kesehatan mental. Penggunaan teknologi seperti video calling dengan aplikasi Zoom, Skype, Facetime atau WhatsApp; atau bermain online games dan bernyanyi bersama sahabat melalui aplikasi Smule, akan sangat berguna dalam memerangi rasa kesepian dan menjaga kesehatan mental selama periode social distancing.
Nah, dengan berbagai mitos dan fakta di atas, apakah Anda masih enggan menerapkan social distancing?
Jangan panik, mari cegah penyebaran COVID-19 dengan menerapkan social distancing. Foto dari sumber bebas.
Menjaga jarak dalam berinteraksi merupakan metode paling sederhana yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Kita perlu belajar dari negara-negara lain baik RRT, Korea Selatan, maupun Italia dalam penerapan social distancing ini.
Di Korea Selatan, penerapan social distancing terbukti efektif dalam menekan penyebaran COVID-19. Sebaliknya, kelompok muda di Italia sempat menganggap remeh pandemi COVID-19 dengan tetap kongkow di bar, plesiran ke pantai dan bepergian ke tempat-tempat umum lainnya. Hal ini mengakibatkan jumlah kematian pasien COVID-19 di Italia lebih tinggi daripada kasus kematian COVID-19 di RRT.
ADVERTISEMENT
Social distancing: tingkatkan solidaritas dan kemanusiaan!
Social distancing bukan berarti melupakan hakikat kita sebagai makhluk sosial. Justru sebaliknya.
Periode social distancing sebaiknya juga dimanfaatkan untuk introspeksi diri serta me-reset cara berpikir dan menjernihkan mental kita. Kita perlu menumbuhkan lebih banyak empati dan melakukan tindakan nyata, terutama ditengah ketidakpastian wabah pandemi COVID-19 ini.
Caranya?
1. Edukasi masyarat di sekitar kita.
Jika Anda melihat seseorang batuk atau bersin tanpa menutup mulut atau memakai masker, misalnya, segera berikan masker ekstra yang Anda miliki. Jangan hardik atau hujat mereka. Mungkin mereka simply tidak tau, bukannya tidak mau dengar masukan Anda. Jangan diskriminasi pasien atau keluarga kasus positif atau terduga COVID-19. Mereka butuh support, bukan cercaan. Perlakukan mereka dengan baik dan manusiawi, sebagaimana Anda ingin diperlakukan oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
2. Lebih berempati kepada the less fortunate.
Banyak diantara kita yang mendapatkan privilege untuk WFH. Namun terdapat lebih banyak orang yang terpaksa keluar rumah agar mereka atau keluarga mereka bisa makan untuk hari itu.
Sekarang adalah saatnya menyisihkan pendapatan Anda dengan bersedekah, atau membantu meringankan beban hidup the less fortunate dengan berbagi kebutuhan pokok.
3. Stop panic buying!
Teori supply dan demand dalam Ilmu Ekonomi mengatakan jika jumlah permintaan melebihi persediaan di pasar, akan meningkatkan harga barang tersebut. Jadi, berbelanja kebutuhan pokok secukupnya saja, jangan berlebihan. Jangan menumpuk masker dan hand-sanitizer, karena banyak orang yang lebih membutuhkan.
Ilustrasi supermarket yang kosong akibat panic buying. Foto dari www.chicagomag.com
4. Manfaatkan teknologi untuk interaksi sosial.
Teknologi canggih saat ini sangat memudahkan kita untuk berinteraksi sosial di dunia maya. Saatnya meningkatkan quality time dengan keluarga dan kolega. Lakukan videocall dengan keluarga dengan keluarga yang tidak tinggal serumah dengan Anda. Jika ayah dan ibu Anda termasuk kelompok orang yang masih menggunakan telepon jadul dengan bunyi polifonik, telepon mereka. Sambung silaturahmi dengan bermain online games bersama sahabat Anda. Tingkatkan kedekatan emosi Anda dengan keluarga dan kolega pada periode social distancing.
ADVERTISEMENT
Video singkat dan menarik mengenai pentingnya social distancing dalam memutus rantai penyebaran virus corona, dapat dilihat di https://youtu.be/8Hi9-5F2zW4
Ilustrasi penerapan social distancing dapat menghambat laju penyebaran virus. Sumber: www.hub.jhu.edu
Mari terapkan social distancing!
Mari kita tingkatkan disiplin diri, disiplin keluarga dan disiplin lingkungan secara bersama-sama, demi mencegah penyebaran wabah COVID-19.
Terapkan protokol kesehatan bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Ayo bantu meringankan beban dan tanggung jawab para tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan dalam "perang melawan COVID-19", dengan menahan diri untuk tetap berada di dalam rumah.
Tahan hasrat Anda untuk jalan-jalan ke mall atau kongkow dengan teman-teman di tempat keramaian.
Social distancing merupakan cara efektif dan paling mudah untuk kita lakukan dalam mencegah penularan virus corona.
ADVERTISEMENT
Tetap waspada dan jangan panik, karena virus panik dapat menjadi virus yang lebih mematikan.
Dan yang paling penting, mari terapkan social distancing secara humanis!
Semangat solidaritas dan rasa kemanusiaan kita harus lebih menular dari serangan virus apa pun; karena solidaritas dan kemanusiaan inilah yang dapat menyelamatkan kita dari pandemi COVID-19.