Halal Self Declare: Mampu Menjamin Kehalalan Produk?

Elvina A Rahayu
Senior Halal Auditor periode 1994-2014, Pegiat Halal @ Lima Pilar Halal, Pengurus ICMI Bogor.
Konten dari Pengguna
7 Mei 2022 18:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elvina A Rahayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Elvina A. Rahayu, MP *
Ilustrasi produk halal. Foto: Shutterstock
Dalam suatu online talk show, saya diajukan pertanyaan mengapa pemerintah (BPJPH) memberlakukan self declare (SD)? Bagaimana dampak positif dan negatif bagi konsumen muslim? Untuk menjawabnya ada 3 poin terkait SD yang perlu dicermati beserta aturan yang menyertai.
ADVERTISEMENT
Patut disyukuri, BPJPH beberapa waktu lalu telah mencanangkan program 10 juta produk tersertifikasi melalui skema SD sebagai program percepatan menuju wajibnya sertifikasi halal produk Mamin, RPH/RPU serta jasanya per 2024.
Jumlah pelaku UMK di Indonesia cukup besar, lebih dari 96 persen pelaku usaha Mikro dan 1.2 persen pelaku usaha kecil. Dari data Kemenkop jumlah pelaku UMK sekitar 64.1 juta, jumlah yang besar serta upaya yang tidak mudah untuk mencapai target sertifikat halal di 2024. Hal ini yang mungkin menjadi landasan mengapa BPJPH memberlakukan SD di samping skema sertifikasi halal regular melalui jalur audit di Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Skema Self Declare?

Dari perspektif yuridisnya skema SD BPJPH didasarkan pada UU JPH no 33-2014, UU CK No 11-2020, PP No. 39-2021, PMA No.20-2021,Kepkaban No.135-2021 dan No. 33-2022.
ADVERTISEMENT
Ada 3 poin SD yang perlu kita kritisi dalam rangka menjawab apakah skema SD ini dapat menjamin kehalalan produk bagi konsumen muslim. Poin pertama adalah dasar penggunaan Self Declaration sebagai salah satu skema sertifikasi halal. Jika kita merefer pada ISO 17050 tentang Self Declaration of Conformity (SDOC) maka makna SD adalah jaminan kesesuaian yang dinyatakan perorangan atau organisasi atas objek yang diidentifikasi terhadap persyaratan tertentu sesuai deklarasi yang dirujuk, serta memperjelas siapa yang bertanggung jawab atas kesesuaian deklarasi tersebut. Deklarasi bisa saja berubah terkait dengan proses dan bahan, karenanya yang bertanggung jawab terhadap perubahan tersebut adalah pembuat deklarasi. Dalam konteks SD ala BPJPH, proses SD dilakukan bersama antara pelaku usaha dengan pendamping Proses Produk Halal (PPH).
ADVERTISEMENT
Pendamping PPH akan melakukan verifikasi pada bahan dan PPH pelaku usaha, sebelum bersama menyetujui deklarasi yang dibuat oleh pelaku usaha. Secara tidak langsung sebenarnya pendamping PPH juga berfungsi sebagai konsultan. Sampai tahapan ini sebenarnya aktivitas yang disebut SD sudah sesuai dengan definisi standar yang sudah diketahui oleh umum. Dokumen SD akan dilanjutkan ke sidang MUI untuk mendapatkan penetapan halalnya yang menjadi landasan BPJPH mengeluarkan sertifikat halal. Dari proses ini tanggungjawab deklarasi yang telah dibuat, dipindahkan ke MUI dan BPJPH dalam bentuk penetapan dan sertifikat halal. Pertanyaannya, apakah MUI bersedia memberikan fatwa berdasarkan data dari proses SD ini?. Belum ada batasan waktu pelaksanaan dari mekanisme skema SD sebagaimana skema sertifikasi halal regular yaitu 21 hari.
ADVERTISEMENT
Poin kedua terkait konsistensi aturan di dalam Kepkaban No.33/2022 dengan pasal 79 ayat 2 PP No.39 /2021, SD berlaku bagi pelaku Usaha Mikro Kecil yang memenuhi kriteria produk yang tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya dan proses produksi yang sederhana. Kepkaban No. 33/2022 membolehkan skema SD bagi pelaku usaha yang memproduksi produk mengandung unsur hewan dengan syarat memiliki sertifikat halal. Jenis dan rincian produk (ada 14 kategori produk) pada aturan ini juga bukan termasuk produk yang berisiko rendah dari perspektif kehalalannya. Mengapa? Berbicara risiko dari perspektif kehalalan, ketika produk mengandung bahan hewani maka tidak akan dapat dikategorikan sebagai risiko rendah. Hal ini terkait dengan tingkat potensi bahaya haram dan peluang kejadiannya. Di Indonesia tahun 2020 ada 2 kejadian di Bandung dan Tangerang yang lebih dari setahun menjual bakso berbahan daging celeng, sedangkan tahun 2019 di Kota Padang ada sate Padang berbahan daging babi dan sudah beroperasi selama 2 tahun. Beberapa dari 14 kelompok produk dalam Kepkaban No.33/2022, misalnya minuman berperisa dan tepung bumbu merupakan produk yang tidak sederhana dari segi kehalalan terkait rantai pasoknya.
ADVERTISEMENT
Poin ketiga terkait kompetensi teknis pendamping PPH. Pada PP No. 39 tahun 2021 pasal 79 ayat 4 dinyatakan bahwa keberadaan pendampingan PPH pada kegiatan SD ini wajib ada. Pendampingan PPH yang dimaksud yaitu Ormas Islam atau Lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan atau perguruan tinggi (Pasal 80, PP No. 39/2021), sementara pendamping PPH adalah personal yang mendampingi pelaku usaha. Kepkaban No.135-2021 tidak mempersyaratkan kompetensi teknis pendamping PPH, melainkan minimal lulusan SMA atau sederajat sebagai persyaratan untuk mengikuti pelatihan pendamping PPH. Pendamping PPH seyogyanya adalah personal yang melakukan verifikasi atau audit. Pelatihan 10 jam teori dan 10 jam praktik tanpa persyaratan latar belakang pendidikan yang sesuai, tentunya belum cukup untuk menghasilkan kompetensi teknis yang dibutuhkan sebagai pendamping PPH, terutama jika skema SD yang diberlakukan berdasarkan Kepkaban No. 33/2022. Lalu bagaimana pendamping PPH yang tidak memiliki latar belakang kompetensi teknis yang sesuai dapat menghadirkan data bahan dan PPH yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan?
ADVERTISEMENT
Slogan Halal itu mudah, sangat indah, dan inspiratif. Kemudahan itu akan terjadi ketika semua infrastruktur dan akses mendapatkan bahan halal dalam jumlah terkecil yang diperlukan oleh pelaku UMK dapat terpenuhi, serta diikuti dengan konsistensi pengawasan dan law enforcement.
Lalu, apakah mekanisme sertifikasi melalui SD ini menguntungkan bagi konsumen Muslim? Apakah mekanisme SD ini dapat menjamin kehalalan produk bagi konsumen Muslim? Titah mengkonsumsi makanan halal adalah bagian dari kewajiban menjalankan syariah-Nya bagi konsumen Muslim. Seyogyanya pemerintah harus mampu menjaminnya dengan mempertimbangkan faktor tersebut di atas agar kasus halal-haram di Indonesia yang pernah terjadi (halal fraud, red) tidak terulang kembali.
* Senior Halal Auditor periode 1994-2014, Pegiat Halal @ Lima Pilar Halal, Pengurus ICMI Bogor
ADVERTISEMENT