Konten dari Pengguna

Mengandung Babi Kenapa Bisa Keluar Sertifikat Halal?

Elvina A Rahayu
Direktur Bidang Sertifikasi dan Kerja Sama Dalam/Luar Negeri LPH KHT Muhammadiyah Ketua Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia
29 April 2025 22:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elvina A Rahayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi halal. Foto: Bankrx/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi halal. Foto: Bankrx/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Judul tulisan di atas saya buat berdasarkan pertanyaan yang sampai ke saya, dan pertanyaan yang viral, "ada babi kenapa bisa keluar sertifikat halal?"
ADVERTISEMENT
Kekecewaan konsumen muslim yang peduli halal tentunya bisa dimaklumi. Ke mana lagi konsumen Muslim akan me-refer jaminan produk halal atas produk produk yang beredar jika tidak pada logo halal yang melekat pada kemasan produk?
Produk yang mengandung babi, tidak akan mungkin mendapatkan sertifikat halal. Itu suatu kepastian. Namun produk yang memiliki sertifikat halal, maka jaminan produk halal tidak otomatis melekat, apalagi seumur hidup. Sertifikat halal dan Jaminan Produk Halal adalah dua frasa yang bisa berbeda maknanya.
Sertifikat halal akan memberikan jaminan produk halal ketika semua kriteria persyaratan halal yang diacu dipenuhi. Namun jika kriteria persyaratan halal diabaikan maka dapat dipastikan jaminan produk halal tidak hadir. Singkat kata, Sertifikat Halal bukan sekedar selembar kertas pemanis tapi menjadi pemakna untuk hadirnya komitmen pelaku usaha dan pihak berkepentingan untuk menjaga amanah yang tertulis dalam sertifikat halal tersebut.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia kriteria pemenuhan jaminan produk halal melalui sertifikasi halal dinamakan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) berdasarkan ketentuan Kepkaban No.20 tahun 2023. Selain itu berbagai regulasi yang menyertai untuk jalannya Jaminan Produk Halal (JPH) bisa efektif.
Beberapa poin, kecuali poin terkait mekanisme uji laboratorium yang perlu dicermati untuk perbaikan proses sertifikasi halal dan system pengawasan disampaikan pada tulisan ini.

Skema Sertifikasi Halal Indonesia

Pasca UU Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia, maka sertifikasi halal ada dua skema, yaitu skema regular dan self declare (SD). Pada skema regular ada 3 entitas yang melaksanakan prosesnya yaitu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), BPJPH dan Komisi Fatwa MUI; sementara pada skema SD ada LP3H (Lembaga Pendampingan Proses Produk Halal) , P3H (Pendamping Proses Produk Halal) serta komite fatwa yang ada di bawah kementrian agama.
ADVERTISEMENT
Ruang lingkup SD untuk pelaku usaha mikroyaitu produk yang teknologi dan tingkat kekritisan dari segi kehalalannya rendah.
Dalam konteks kasus ditemukannya DNA babi pada sembilan produk, maka produk tersebut dihasilkan dari proses sertifikasi halal regular, dan dilakukan oleh LPH Utama yang memiliki ruang lingkup terkait.
Kami akan fokus membahas beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian untuk perbaikan. Pembagian tugas dari tiga entitas pelaku pemeriksaan halal diatas BPJPH melakukan verifikasi data awal untuk menetapkan Biaya Layanan Umum (BLU), LPH melakukan proses audit sesuai dengan ruang lingkupnya dan Komisi Fatwa MUI melakukan penetapan fatwa berdasarkan laporan hasil audit yang disampaikan oleh LPH.

Audit vs Penyelia Halal

Ilustrasi halal dan haram. Foto: Shutterstock
LPH melakukan proses audit pihak ketiga atau audit eksternal untuk memastikan bahwa lima kriteria SJPH diimplementasikan oleh pelaku usaha sesuai dengan proses bisnis dan ruang lingkup produk yang dihasilkan. Komitmen dan tanggung jawab manajemen merupakan kriteria SJPH yang menjadi jantung bagi pelaku usaha untuk menerapkan SJPH dengan baik, menyiapkan tim yang mengelola penerapan SJPH yang tepercaya.
ADVERTISEMENT
Selain tim manajemen halal yang kredibel, keberadaan Penyelia Halal (PH) menjadi satu factor yang krusial. Mengapa? Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada penyelia dari system manajemen mana pun yang tugas dan tanggung jawabnya di atur dalam regulasi kecuali Penyelia Halal.
Persyaratan dan tugas Penyelia Halal terdapat di UU JPH, PMA No.26/2019, PP No.42 tahun 2024. Beberapa tugas Penyelia Halal adalah:
Tanggungjawab Penyelia Halal berdasarkan regulasi pelaksanaan halal adalah:
ADVERTISEMENT
Karenanya sebelum LPH melakukan proses audit ke pelaku usaha, maka harus dipastikan bahwa pelaku usaha sudah melakukan audit internal serta memastikan bahwa semua aktivitas kritis terkendali , tercatat serta diawasi oleh penyelia halal.
Pemastian lanjut harus dibuktikan saat audit, apakah penyelia halal berfungsi efektif sesuai ketentuan regulasi atau tidak. Pada poin ini harusnya ada catatan apakah penyelia halal menjadi konsen dari manajemen pelaku usaha atau sekadar hanya formalitas.
Catatan ini harus menjadi pertimbangan LPH dan KF MUI serta BPJPH dalam melaporkan hasil audit, menetapkan dan mengeluarkan SH.

Sampling vs PPC

Untuk beberapa produk yang kritis dari perspektif kehalalan, maka Komisi Fatwa MUI (KF MUI) menetapkan harus ada pembuktian objektif (uji laboratorium) terhadap keberadaan cemaran babi--DNA babi terhadap produk yang akan disertifikasi.
ADVERTISEMENT
Dalam Keputusan Fatwa MUI No.80 tahun 2022 disebutkan produk produk yang wajib memiliki hasil uji laboratorium. Produk yang menggunakan gelatin sebagai bahan tambahan atau bahan baku menjadi salah satu produk yang wajib uji Laboratorium. Sayangnya ketetapan fatwa ini belum dijadikan regulasi halal BPJPH.
Terkait dengan laboratorium yang memiliki kemampuan dan telah diakreditasi sesuai dengan lingkup pengujian sudah diatur seperti harus ada akreditasi 17025 dan masuk dalam konsorsium Lembaga Penguji yang ada di bawah BPJPH.
Faktor penting lainnya, petugas pengambilan contoh (PPC) yang tersertifikasi. Adanya penetapan fatwa MUI terkait produk yang wajib uji Laboratorium, serta merta mewajibkan pula adanya PPC yang tersertifikasi baik yang ada di Lab yang terakreditasi atau melekat pada LPH.
ADVERTISEMENT
Tugas PPC selain melakukan sampling adalah membuat rencana sampling. Catatan pelaksanaan sampling (rencana sampling dan pengambilan sampling) baik itu dilakukan oleh PPC yang melekat pada LPH atau pada Laboratorium penguji harus didokumentasikan oleh LPH.

Sertifikat Halal vs Pengawasan BPJPH

Ilustrasi logo Halal. Foto: Shutterstock
Sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH, tanggungjawab atas keberadaan jaminan produk halal via sertifikat halal tentunya kembali ke BPJPH. Pengawasan terkait dengan fungsi penjagaan keutuhan jaminan halal dicantumkan pada poin SJPH yaitu pelaporan enam bulan, pada PP 42/2024 Pasal 50 Ayat d dan Pasal 51 Ayat e, yaitu melaporkan perubahan terkait bahan baku dan atau proses produk halal kepada BPJPH.
Sejauh ini fasilitas untuk pelaporan tersebut belum tersedia, melainkan melalui fungsi registrasi jika ada perubahan supplier atau perubahan bahan sekalipun tanpa ada produk baru yang dihasilkan. Registrasi ini membawa konsekuensi pembayaran BLU berkisar Rp 350 ribu hingga Rp12.5 juta.
ADVERTISEMENT
Pengawasan terkait JPH yang dilakukan oleh BPJPH berdasarkan regulasi juga mencakup pada kinerja LPH. Poin JPH yang cukup penting untuk diawasi dan evaluasi pada pelaksanaan pemeriksaan halal adalah pada memastikan kriteria SJPH dipenuhi oleh pelaku usaha.
BPJPH harus menetapkan indikator terkait poin pemeriksaan tersebut, tentunya dengan memprioritaskan pada produk high risk dari segi kehalalannya. Sebagaimana sistem manajemen lainnya, maka surveilan di pelaksanaan halal ini juga harus diberlakukan. Waktu pelaksanaannya harusnya ditetapkan berdasarkan RiskBased Approach (RBA) terhadap jenis produk yang telah memiliki sertifikat halal.
Peran Penyelia Halal (PH) di pelaku usaha sudah selaiknya di berdayakan. PH tidak hanya sebagai formalitas pendaftaran, tetapi ditempatkan sesuai fungsi yang dinyatakan pada regulasi sebagaimana yang disampaikan sebelumnya pada tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus produk tercemar babi yang terjadi, maka seyogyanya BPJPH harus memastikan poin poin krusial di atas telah berjalan dan sesuai dengan persyaratan kriteria SJPH dan regulasi yang telah ditetapkan. Jika Penyelia Halal diberdayakan oleh pimpinan pelaku usaha, maka BPJPH lebih mudah untuk memastikan di titik mana JPH tercederai.
Sesuai dengan fungsi Penyelia Halal, maka aktivitas pelaku usaha diawasi dan dikoordinasi agar pemenuhan pada kriteria halal tetap terjaga dan didokumentasikan. Sudah saatnya BPJPH "meng-encourage" peran dari Penyelia Halal kepada semua pimpinan pelaku usaha. Tindakan ini merupakan tanggungjawab yang harus dikelola bersama (share responsibilities) untuk menghasilkan jaminan produk halal yang tepercaya.

Penutup

Selain masalah keberadaan perbedaan hasil uji laboratorium yang berbeda, maka beberapa usulan perbaikan yang kami sampaikan :
ADVERTISEMENT
1. Pemastian Penyelia Halal berfungsi sesuai dengan regulasi yang berlaku, keberadaan Penyelia Halal tidak boleh hanya sebagai formalitas untuk lolos registrasi.
2. Terkait produk yang wajib uji laboratorium, maka dipastikan bahwa setiap LPH bertanggung jawab atas pelaksanaan sampling yang dilakukan baik melekat pada LPH atau dilakukan oleh lab penguji yang terakreditasi.
3. BPJPH menyediakan fasilitas pelaporan bagi pelaku usaha terkait pelaksanaan SJPH tidak hanya via registrasi.
4. BPJH menetapkan dan mensosialisasikan poin dan indicator JPH pengawasan pada LPH.
5. BPJPH melakukan uji petik pada produk yang berisiko tinggi dalam perspektif kehalalannya yang ada di pasar bekerja sama dengan BPOM.
Jaminan Produk Halal yang dijanjikan bagi konsumen merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaku yang terlibat dalam proses produksi halal. JPH yang dilakukan oleh LPH, BPJPH, Komisi Fatwa dan pelaku usaha harus terintegrasi untuk menghasilkan JPH yang tepercaya dan akuntabel.
ADVERTISEMENT