Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tak Kenal Maka Tak Sayang, Kelezatan yang Tak Terduga dari Papeda
21 Juni 2024 13:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari ely handayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Provinsi Papua, yang dulunya lebih dikenal sebagai Irian Jaya pada masa saya masih Sekolah Dasar, berada di pulau paling timur Indonesia yang sayangnya belum pernah saya kunjungi hingga kini. Namun sejak kecil, berbagai cerita tentang Papua sering saya baca dari buku, majalah dan koran, serta dengar dari ayah saya yang rutin mengunjungi perusahaan tambang di Mimika. Salah satu hal paling berkesan saat kecil adalah cerita mengenai salah satu makanan yang dikenal dengan nama Papeda.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat saat keluarga kami menonton televisi dan ada tayangan berita mengenai Papeda sebagai salah satu kuliner Papua. Ayah saya dengan antusias menceritakan bahwa Papeda adalah kuliner yang unik, berbentuk seperti lem, namun rasanya nikmat. Jangan bayangkan dulu di tahun 2000, mencari tahu gambaran Papeda semudah sekarang tinggal mengetik di mesin pencarian. Saat itu, untuk mendapat visualisasi detail dari suatu informasi harus melalui menonton dari televisi. Setelah menonton tayangan tersebut, saya masih belum terbayangkan bagaimana kenikmatan makan Papeda.
Seiring berjalannya waktu hingga saya sudah dewasa, Papeda bagi saya masih seperti bayangan saya sebelumnya yaitu makanan yang bentuknya unik seperti lem dan rasa yang tampaknya kurang nikmat. Selain itu, karena saya lebih banyak terpapar makanan Jawa, Sumatera dan makanan internasional lainnya saat saya sempat menetap di Jakarta, Xiamen, Guangzhou dan Davao City beberapa waktu lalu, saya pun belum pernah memiliki kesempatan untuk mencoba Papeda.
ADVERTISEMENT
Papeda sendiri sempat menjadi sebuah topik pembicaraan saya dengan Ariella Yoteni, seorang rekan diplomat yang berasal dari Papua. Ella, panggilan saya untuk dia, mengatakan kalau saya yang suka dengan Cireng atau Mpek-mpek pasti akan menyukai Papeda karena sama-sama menggunakan tepung sagu sebagai bahan bakunya. ”Lo lebih dulu kenal makanan itu sih, coba lo makan Papeda duluan pasti lo lebih suka ly” ujar Ella ketika saya kekeh bahwa rasa Papeda pasti tidak dapat mengalahkan Cireng dan Mpek-mpek. Ella pun berniat membawa saya untuk mencoba Papeda di sebuah restoran dengan menu khas Papua dekat kantor. Sayangnya niat tersebut belum terlaksana karena kesibukan kami berdua.
Sampai akhirnya, saya berkesempatan untuk berkunjung ke Ambon pada 11 – 15 Juni 2024. Disanalah untuk pertama kalinya dalam hidup saya mencicipi Papeda yang disajikan sebagai menu sarapan di hotel. Hal tersebut tentunya lumrah mengingat Papeda sendiri dikenal luas sebagai makanan khas masyarakat di Indonesia bagian Timur khususnya Papua, Maluku, dan beberapa daerah di Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Penasaran, saya pun mencobanya. Menggunakan dua garpu, saya mengambil dan menggulung sekitar dua sendok makan Papeda, meletakkannya di atas mangkuk, lalu menuangkan ikan cakalang kuah kuning lengkap dengan cabai rawit merah dan potongan kecil serai. Saya juga menambahkan Ikan Asar (ikan asap) di atasnya supaya menambah nikmat.
Sebelum makan, saya merendahkan ekspektasi saya terhadap Papeda, saya mencoba untuk mencoba makan papeda dengan sedikit kuah saja tanpa ikan. Suapan pertama saya masukkan ke mulut, sesaat saya sempat terdiam untuk mencoba meresapi rasanya yang sungguh unik seperti jelly dengan tekstur yang lebih kenyal. Meski berbentuk transparan tapi ada sedikit rasa gurih dan sama sekali tidak seperti lem yang saya bayangkan hehehe. Sayapun mencoba lagi dengan mencampurkan Papeda dengan potongan ikan dan tentunya kuah kuning. Rasanya sangat pecah di mulut dimana kenyalnya papeda dengan sempurna bercampur dengan rasa ikan yang sangat sedap dengan kuah kuningnya ditambah dengan pecahan cabai rawit yang tergigit membaur semua di mulut. Akhirnya saya pun terlena dengan nikmatnya hingga menambah satu mangkuk lagi serta menjadi menu wajib setiap saya sarapan selama 4 hari disana.
ADVERTISEMENT
Dalam rangkaian kunjungan ke Ambon tersebut, saya juga berkesempatan untuk pertama kalinya melihat Pohon Sagu yang merupakan bahan utama Papeda dan menilik proses pengolahannya sampai menjadi tepung sagu di Negeri Rutong. Proses pengolahan dimulai dengan penebangan Pohon Sagu yang biasanya dilakukan pada pohon yang berumur sekitar 15 - 20 tahun/saat sudah mencapai puncak pertumbuhannya. Setelah pohon ditebang, batang sagu kemudian dibersihkan dengan cara dikuliti dan dibelah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Setelah itu, batang yang sudah dipotong lalu dicuci kemudian diparut menggunakan mesin. Hasil parutannya kemudian diayak agar halus.
Kemudian, hasil parutan tersebut masih diolah lagi dalam proses peremasan sagu menggunakan tangan dan mesin yang berbeda. Ampas dari peremasan sagu itu memisahkan ampas sagu dengan pati dan airnya. Pati dan air dari sagu diayak dan diendapkan sekitar 3 - 4 jam. Setelah itu, ada proses pencucian lagi sekitar 4 - 5 kali dan sagu masih basah kemudian diolah kembali menggunakan mesin press dan menghasilkan sagu yang kering. Sagu kering itu kemudian dijemur di bawah cahaya Matahari sampai benar-benar kering selama 3 - 4 hari. Saat sagu sudah kering, sagu itu dimasukkan ke dalam mesin pengolahan tepung hingga akhirnya menjadi tepung sagu yang halus dan siap dikemas untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan termasuk Papeda.
ADVERTISEMENT
Dengan mencicipi Papeda dan melihat proses pembuatan tepung sagu untuk pertama kalinya, saya merasa seperti menjelajahi sepotong sejarah dan budaya dari ujung timur Indonesia. Rasanya yang unik dan proses pembuatannya yang rumit mengajarkan saya untuk lebih menghargai keanekaragaman kuliner di negeri ini. Saya berharap suatu hari nanti dapat mengeksplorasi lebih banyak lagi kuliner Indonesia seperti Laupek Sage, Labia Dange atau Kapurung, dan menggali lebih dalam lagi cerita di balik setiap hidangannya.