Kau yang Tak Sekuat Dulu

Elya Berliana Prastiti
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
26 Mei 2022 21:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elya Berliana Prastiti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang nenek dan anak kecil. Foto: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Seorang nenek dan anak kecil. Foto: Pexels.com
ADVERTISEMENT
Perjuangan seorang Ibu tidak akan bisa tergantikan oleh apa pun. Lelahnya seakan menghilang setelah melihat sang buah hati. Dalam hidupku, sosok perempuan penyabar, penyayang, dan tangguh selain Ibu adalah Nenek.
ADVERTISEMENT
Dulu saat aku kecil, perempuan tua yang kusebut Mbah Uti, rela bangun pagi di waktu subuh untuk pergi ke pasar. Membawa beberapa ikat pisang, kayu, dan daun singkong yang nantinya dijual kembali. Berangkat dengan sepeda ontel yang mulai berkarat dan mengayuh pedalnya sejauh sepuluh kilometer.
Aku pernah bertanya, mengapa harus berangkat sepagi itu untuk ke pasar, “Kalau nggak pagi-pagi, nanti dagangannya nggak laku,” ujarnya sambil tersenyum kala itu.
Jarak antara rumah dan pasar yang terbilang jauh, tak membuatnya mengeluh sedikit pun. Demi sebuah pisang, kayu, dan daun singkong agar terjual habis. Mbah Uti masih terlihat gagah saat itu. Kakinya juga masih kuat menopang tubuhnya ke sana ke mari.
Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, aku sering berkunjung ke kota kelahiran orang tuaku, Yogyakarta. Berangkat bersama Bapak, lalu ditinggalkan seorang diri. Apabila aku ingin kembali ke rumah, Mbah Uti yang mengantarku pulang menaiki bus antarkota.
ADVERTISEMENT
Hari demi hari berjalan seperti biasanya. Hingga suatu malam, kabar tak menyenangkan datang. Mbah Uti mengalami kecelakaan saat bersepeda menuju pasar. Perasaanku saat itu hancur, sedih, dan khawatir. Ibu langsung menghubungi Tante, bertanya kondisinya setelah dilarikan ke rumah sakit.
Ada perasaan lega dalam diriku saat mengetahui bahwa Mbah Uti tidak terluka parah. Hanya kepalanya yang sedikit lecet. Namun, tidak lama aku kembali mendapatkan kabar buruk. Bukan sekadar goresan luka, tetapi hasil rontgennya memperlihatkan jika ada pergeseran pada tulang punggungnya. Akibatnya, Mbah Uti diharuskan terapi selama tiga bulan.
Sejak kejadian itu, tidak ada lagi rutinitas pergi ke pasar pada pagi hari. Bahkan, tenaga yang dimilikinya untuk mengayuh pedal sepeda sudah tidak sekuat dulu. Fisiknya mudah lelah jika berdiri terlalu lama, apalagi berjalan jauh.
ADVERTISEMENT
Tubuh yang awalnya tegak, sekarang sudah terlihat bungkuk akibat kecelakaan. Terapi punggung yang dijalaninya, tak membuatnya sembuh total, sehingga Mbah Uti harus berdiri dan berjalan dengan tubuh yang membungkuk.
Mbah Uti sudah tidak bisa melakukan aktivitas seperti sedia kala, Dia mengisi kekosongannya dengan berjualan bubur, nasi uduk, sayur lodeh, tahu bacem, dan semur telur, di depan rumahnya. Banyak pembeli berdatangan, mulai mengantre dari pukul 5.30 pagi untuk dilayani satu per satu. Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi, tetapi dagangannya sudah laku keras.
Mbah Uti berjualan setiap hari. Mulai pukul 6 pagi hingga dagangannya terjual habis. Tak hanya berjualan di depan rumah, terkadang Mbah Uti juga menerima pesanan kue, seperti nogosari, arem-arem, monte atau jajanan pasar lainnya.
ADVERTISEMENT
Berjualan kini menjadi kesibukannya. Aku merasa senang. Mbah Uti bisa kembali berjualan, meski hanya di depan rumah saja.
(Elya Berliana Prastiti/Politeknik Negeri Jakarta)