Konten dari Pengguna

Futōkō di Jepang, Fenomena Enggannya Anak-anak untuk Pergi Sekolah

Elya Dwi
Mahasiswa Universitas Airlangga
30 Maret 2023 10:42 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elya Dwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Max Fischer: https://www.pexels.com/photo/a-woman-holding-a-notebook-5212649/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Max Fischer: https://www.pexels.com/photo/a-woman-holding-a-notebook-5212649/
ADVERTISEMENT
Negara Jepang dikenal sebagai negara yang maju di bidang pendidikan. Hal ini dibuktikan oleh negara Jepang yang menempati peringkat ke-7 sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia menurut education rankings by country pada tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Indonesia, berdasarkan Hukum Dasar Pendidikan yang disahkan pada tahun 1947, wajib belajar di Jepang hanya berlangsung sampai kelas sembilan. Meski demikian, hal ini tidak mempengaruhi persentase siswa yang mengikuti program wajib sekolah, yakni sebanyak 100% dan nol jumlah buta huruf, serta sebanyak 96% siswa yang melanjutkan ke pendidikan menengah atas walaupun bukanlah suatu keharusan.
Posisi Jepang menjadi satu-satunya negara di Asia yang memasuki sepuluh besar. Tidak mengherankan jika sistem pendidikan Jepang diakui sebagai salah satu yang terbaik karena lebih mengutamakan kualitas daripada jumlah siswanya.
Sekolah tidak hanya mengajarkan akademik, tetapi juga berupaya mengajarkan moral kepada generasi muda agar dapat mencetak manusia yang baik dan matang, misalnya saja setiap pulang sekolah murid harus membersihkan kelas mereka sendiri karena tidak ada petugas kebersihan.
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak seluruhnya sempurna, negara Jepang juga menawarkan pendidikan yang solid atau disebut juga dengan gakureki shakai. Persaingan masuk sekolah menengah atas dan universitas antar siswa sangat tinggi sehingga sebagian besar anak-anak menghabiskan waktunya untuk belajar agar dapat memasuki sekolah yang mereka inginkan. Bahkan beberapa ada yang mengalami intimidasi jika gagal dalam seleksi ujian.
Namun, di balik semua prestasi cemerlang di bidang pendidikan yang diperoleh negara Jepang, terdapat sisi lain dengan adanya permasalahan siswa yang menolak pergi ke sekolah. Keadaan ini dinamakan dengan istilah futōkō yang berasal dari kata fu (不) ‘tidak’ dan tōkō (登校) ‘masuk sekolah’.
Jika diartikan secara literal memiliki pengertian tidak hadir di sekolah. Konsep ketidakhadiran ini sudah terjadi sejak tahun 1932, yang disebabkan oleh gangguan kecemasan yang dialami oleh siswa yang membuat mereka tidak masuk sekolah.
ADVERTISEMENT
Futōkō sendiri merupakan istilah yang meliputi berbagai alasan tidak masuk sekolah dalam waktu lebih dari 30 hari dan bukan merupakan alasan dari sakit ataupun masalah ekonomi.
Mayoritas futōkō dilakukan oleh para siswa menengah pertama tahun ketiga dan siswa sekolah dasar. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang atau MEXT pada tahun 2019, siswa sekolah menegah pertama yang melakukan futōkō sebanyak 127.922 dan siswa sekolah dasar sebesar 53.350 yang mana jika ditotal mencapai 181.272 siswa.
Foto oleh Katerina Holmes: https://www.pexels.com/photo/crop-ethnic-schoolkids-with-tasks-at-desk-5905929/
Karena jumlah anak yang menolak untuk pergi ke sekolah semakin hari semakin bertambah, fenomena futōkō menjadi kepedulian sosial di negara Jepang. Banyak juga orang yang berasumsi jika terjadinya futōkō merupakan cerminan dari sistem sekolah yang tidak nyaman dan bukan masalah personal dari siswa itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Siswa yang melakukan futōkō biasanya akan tinggal di rumah tanpa melakukan interaksi sehingga memiliki tingkat keterampilan sosial yang rendah. Kurangnya interaksi yang dilakukan juga akan membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakat.
Futōkō tidak hadir tanpa alasan, terdapat berbagai macam hal yang melatarbelakangi lahirnya fenomena futōkō ini. Alasan tersebut dapat dikategorikan menjadi empat faktor, yaitu faktor sosial, faktor keluarga, faktor pendidikan dan faktor individu.
Namun, keempat faktor ini bukan berarti telah mewakili semua alasan dari futōkō. Faktor sosial dipengaruhi karena dalam perkembangan anak-anak biasanya tidak memiliki akses ke lingkungan alam secara langsung.
Umumnya orang yang memiliki hubungan dekat dengan anak akan memiliki dampak yang lebih besar daripada orang lain, karena itu keluarga menjadi faktor terpenting untuk perkembangan anak.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang juga orang tua meninggalkan anak sendiri di rumah untuk bekerja sehingga dalam kebanyakan kasus mereka jarang berkomunikasi dengan orang tua dan menjaga jarak. Orang tua yang terlalu protektif pada anak juga dapat menyebabkan terjadinya futōko.
Selain itu, adanya rasa stress pada anak yang dipengaruhi oleh permasalahan perceraian, pernikahan kembali, dan kematian memiliki kecenderungan lebih besar terjadinya futōkō.
Sebagai tempat menimba ilmu dan mengembangkan keterampilan, sekolah di Jepang juga berorientasi pada ujian dan hasil. Dalam prosesnya untuk berhasil dalam ujian, anak berada di bawah tekanan yang sangat berat.
Karena faktor itu, di Jepang sangat umum untuk mengikuti kelas tambahan setelah pulang dari sekolah. Akibatnya, anak tidak memiliki waktu dan kebebasan untuk bergaul dengan temannya sehingga menjadi salah satu alasan beberapa anak mengalami kesulitan dalam bersekolah.
ADVERTISEMENT
Metode pembelajaran yang membosankan dan melelahkan bagi beberapa siswa juga tidak menarik minat mereka. Selain itu, adanya perundungan dan masalah dari sesama teman dapat menyebabkan siswa merasa tidak aman sehingga tidak memiliki motivasi untuk pergi ke sekolah.
Foto oleh Suzy Hazelwood: https://www.pexels.com/photo/grayscale-photo-of-children-in-a-classroom-11395101/
Jika dibandingkan dengan siswa non-futōkō, siswa yang melakukan futōkō memiliki kepercayaan diri yang rendah terhadap kemampuannya sendiri karena cenderung tertutup.
Ketidakpercayaan diri dalam melakukan sesuatu ini turut berhubungan dengan timbulnya rasa cemas dan takut sehingga faktor individu juga memiliki peran besar dalam terjadinya fenomena futōkō. Masalah kesehatan mental seperti rasa cemas dan depresi yang dirasakan oleh siswa juga berpengaruh menambah beban dalam mengatasi tekanan sekolah.
Opsi yang dilakukan orang tua dalam menangani ini biasanya dengan merekomendasikan anak mereka untuk pergi ke pihak bimbingan konseling sekolah dan berharap keadaan menjadi lebih baik, memutuskan untuk homeschooling atau memasukkan anak mereka ke free-school, yaitu sekolah yang mata pelajarannya bebas sesuai minat dan bakat sehingga anak tidak tertekan dengan pelajaran yang tidak mereka sukai.
ADVERTISEMENT
Keberadaan free-school sebagai sekolah alternatif ini tentunya sangat membantu usaha penurunan futōkō. Kurikulum yang digunakan dalam sekolah ini lebih fleksibel daripada sekolah pada umumnya. Fokus sekolah ini adalah memungkinkan siswanya untuk belajar dengan caranya sendiri yang ditunjang dengan lingkungan yang aman dan nyaman, serta turut mendorong bakat unik setiap siswa.
Pemerintah Jepang tentu tidak tinggal diam melihat kejadian ini terus meningkat seiring berjalannya waktu. Meningkatnya fenomena futōkō tentu akan membawa dampak buruk terhadap masa depan negara ini.
Oleh karena itu, pemerintah Jepang membuat kebijakan undang-undang terbaru yang turut mendukung adanya free-school sebagai salah satu sekolah yang menyelenggarakan wajib belajar. Dalam undang-undang tersebut, negara Jepang juga melakukan perubahan sistem pendidikan dan membuka sekolah jenis baru pada era globalisasi.
Foto oleh MART PRODUCTION: https://www.pexels.com/photo/a-woman-counseling-another-woman-7699381/
Secara singkat, futōkō merupakan fenomena di kalangan siswa sekolah dasar dan menengah pertama yang enggan untuk pergi bersekolah. Faktor yang menjadi penyebab futōkō juga tidak hanya terpaku pada satu hal, melainkan sangat kompleks, seperti kecemasan, perundungan, tekanan dari sekolah dan masalah keluarga.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya kasus ini juga diiringi dengan hadirnya bermacam solusi, misalnya membawa anak berkonsultasi ke bimbingan konseling, homeschooling dan hadirnya free-school sebagai sekolah alternatif yang menciptakan lingkungan aman dan mendukung penuh minat siswanya.
Namun, semua solusi tersebut juga harus disesuaikan dengan kondisi sang anak untuk menemukan jalan keluar yang baik dan poin utamanya para siswa futōkō tetap mau melanjutkan sekolah dan berkembang tanpa adanya tekanan.