Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Animal Welfare dalam Konsep Animal Based Tourism
9 Juli 2024 13:39 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Elyzabeth Christina Florence Roring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini industri pariwisata sudah menjadi salah satu sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi baik di Indonesia sendiri, maupun di dunia. Namun, dibalik itu semua terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi kita semua, salah satunya yaitu animal based tourism yang berkaitan dengan isu animal welfare. Animal based tourism (ABT) saat ini merupakan salah satu tipe pariwisata alternatif yang banyak diminati oleh masyarakat, terutama di negara-negara maju dan atau kota-kota besar. ABT menjadi salah satu alternatif pilihan bagi para wisatawan untuk menikmati kehidupan wildlife, wild animal, dan atraksi hewan.
ADVERTISEMENT
Animal Welfare adalah hak asasi hewan untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan kondisi lingkungan yang sesuai. Sasaran kesejahteraan hewan adalah semua hewan yang berinteraksi dengan manusia, di mana intervensi manusia memengaruhi kelangsungan hidup hewan lebih daripada hewan yang hidup di alam. Animal Welfare memiliki tiga komponen penting, yaitu: Welfare science mengukur bagaimana berbagai kondisi dan lingkungan mempengaruhi hewan dari sudut pandang hewan. Welfare ethics tentang etika terbaik manusia untuk memperlakukan hewan. Welfare law mengatur perilaku manusia terhadap hewan.
Salah satu konsep mengenai animal welfare yang paling sering dipakai adalah konsep dari World Society for Protection of Animals (WSPA). Menurut WSPA, Companion Animals, adalah hewan kesayangan yang dipelihara seperti : anjing, kucing, hewan eksotik lain. Konsep animal welfare dari WSPA dikenal dengan nama Five (5) Freedom. Ketentuan ini mewajibkan semua hewan yang dipelihara atau hidup bebas di alam memiliki hak-hak/kebebasan berikut, yaitu: 1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus), 2. Freedom from discomfort (bebas dari rasa panas dan tidak nyaman), 3. Freedom from pain, injury and disease (bebas dari luka, penyakit dan sakit), 4. Freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan penderitaan), 5. Freedom to express normal behavior (bebas mengekspresikan perilaku normal dan alami).
ADVERTISEMENT
Permasalahan eksploitasi hewan yang sudah tidak asing lagi bagi kita merupakan isu global dan regional. Eksploitasi hewan dapat terjadi dalam beberapa bentuk, termasuk perburuan, penangkapan, penggunaan hewan untuk tujuan industri, hiburan, atraksi, dan pendidikan. Seperti yang terjadi di Taman Safari Indonesia II, Jawa Timur dimana disini dokter TSI II sebagai narasumber penelitian dari artikel Kellie Joan Eccleston (2009) tentang animal welfare di Jawa Timur. Bpk. Ivan sebagai dokter, memiliki program kesejahteraan hewan dan pengayaan untuk menjamin kualitas hidup terbaik bagi hewan. Banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tentang konservasi binatang. Tetapi, dikatakan di dalam artikel ini para pekerja di Taman Safari II berusaha menciptakan proses pembelajaran melalui pertunjukkan pendidikan binatang bagi seluruh wisatawan yang dalam sebagian pertunjukannya dapat dibilang mirip dengan pertunjukkan sirkus.
Konsep taman safari ini sendiri menawarkan interaksi dengan hewan yang menggunakan mobil untuk memasuki kawasan hutan dengan melihat berbagai macam binatang yang beraneka ragam. Saat musim liburan, maraknya wisatawan yang berdatangan berdampak pada kesejahteraan hewan di TSI II. Satwa di safari ini dapat beresiko mendapatkan luka, gangguan kebisingan suara, dan polusi udara yang disebabkan oleh knalpot mobil-mobil pengunjung yang datang. Hewan-hewan hampir tidak mempunyai waktu privasi mereka, beberapa binatang menunjukkan adanya gejala perilaku menyimpang yang terindikasi stres dan kurang sehat, seperti mondar-mandir terus-menerus, memutar-mutar kepala, serta bergemetar. Adanya larangan untuk mewawancarai petugas penjaga atau pekerja di taman safari membuat penulis menyimpulkan bahwa pun mereka dapat dan boleh diwawancarai pasti jawaban mereka sudah diatur agar reputasi Taman Safari Indonesia II tidak jelek di mata wisatawan dan peneliti.
ADVERTISEMENT
Penerapan Animal Based Tourism di Obelix Village, Daerah Istimewa Yogyakarta
Salah satu contoh dari penerapan konsep animal based tourism adalah Obelix Village yang terletak di Jalan Kenangan, Krandon, Kelurahan Pandowoharjo, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman, DIY. Obelix Village dikelola oleh All Obelix yang juga merupakan pengelola dari Obelix Hills yang terletak di Prambanan. Berdiri sejak diresmikan pada 15 Oktober 2022, Obelix Village memiliki luas area sekitar 4 hektar yang hingga saat ini masih dalam pembangunan lanjutan. Dengan konsep bangunan yang menyerupai desa di Eropa, Obelix Village menjadi tujuan favorit bagi wisatawan terutama segmen keluarga dan sekolah yang ingin merasakan pengalaman edukasi. Tiket masuknya pun terjangkau, hanya dengan mengeluarkan budget 25.000 per orang di hari kerja dan 30.000 per orang di akhir pekan, wisatawan dapat menikmati berbagai macam atraksi yang ada di Obelix Village.
ADVERTISEMENT
Di Obelix Village terdapat 4 daya tarik yang bisa dinikmati oleh wisatawan yaitu Little zoo/mini zoo, Flower Garden, Mini Farm, dan River deck. Dari keempat atraksi yang ada, atraksi yang menarik perhatian di Obelix Village adalah adanya Little Zoo. Meski tak sebanyak hewan-hewan kebun binatang, Obelix Village mampu menyediakan berbagai macam hewan yang cukup bervariasi. Hewan-hewan tersebut dikelompokkan berdasarkan jenisnya, seperti mamalia (kuda poni, kelinci, kambing, domba, rusa, monyet, marmut, dan landak mini), unggas (bebek, angsa, ayam, kalkun, burung merpati, burung merak, dan burung hantu), serta reptil (iguana, ular, kadal, dan kura-kura).
Hewan yang paling menarik perhatian atau hewan populer di Obelix Village adalah kuda poni. Kuda poni tersebut banyak diminati oleh kalangan wisatawan anak-anak karena bisa ditunggangi. Tidak hanya kuda poni saja, hewan yang lucu dan menggemaskan seperti kelinci juga menjadi hewan banyak diminati disini. Pengunjung bisa berinteraksi langsung dengan memegang serta memberi makan hewan menggunakan wortel dan sayuran lainnya yang dapat dibeli langsung di Obelix Village.
ADVERTISEMENT
Sebagai destinasi yang menjadikan hewan sebagai daya tarik, Obelix Village harus memperhatikan dan menjaga kesejahteraan hewan serta hak-hak mereka yang sesuai dengan konsep Animal Welfare dari WSPA yang dikenal dengan Five (5) Freedom. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus) di Obelix, secara umum sudah cukup baik. Pengelola telah memenuhi kebutuhan pakan dan minuman yang cukup dan memadai bagi hewan-hewan yang terdapat di sana. Mereka juga membuat kebijakan bahwa pengunjung tidak boleh memberi makanan hewan yang berasal dari luar, jadi pengunjung hanya bisa memberikan makanan yang telah disediakan oleh pihak pengelola. Makanan yang diberikan kepada hewan-hewan yang berada di obelix sendiri berasal dari kebun yang juga berada di Obelix Village sehingga terjaga kebersihan dan nutrisinya. Namun, beberapa pengunjung melanggar aturan Obelix Village dengan memberikan makanan yang berasal dari luar kepada hewan-hewan di sana.
ADVERTISEMENT
Freedom from discomfort (kebebasan dari ketidaknyamanan), berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Obelix, penanganan kandang dan hewan dilakukan oleh staf yang sudah berpengalaman di bidang tersebut mereka juga bekerja sama dengan vendor yang sudah berpengalaman dan tau mengenai standar penyediaan kandang hewan. Berdasarkan hasil observasi kami kandang hewan di Obelix Village tergolong cukup bersih, namun terdapat juga beberapa kandang yang kurang nyaman bagi beberapa hewan karena terlalu kecil dan tidak sesuai dengan ukuran hewan tersebut.
Freedom from pain, injury, and diseases (bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit), pihak obelix mengatakan bahwa dalam seminggu terdapat empat kali kunjungan dari dokter hewan yang akan menjaga kesehatan hewan-hewan disana. Di Obelix Village, hewan-hewan dijadikan sebagai bahan hiburan pengunjung. Interaksi antara pengunjung dan hewan di sini cenderung terlalu bebas dan tidak dibatasi, bahkan ada beberapa kandang yang tidak mendapat penjagaan sehingga pengunjung bebas melakukan apapun di tempat tersebut.
Interaksi wisatawan dan hewan yang tidak dibatasi itu mungkin dapat membuat resiko hewan terkena penyakit menjadi meningkat. Bahkan tidak ada larangan bagi pengunjung yang sakit untuk berinteraksi dengan hewan-hewan yang terdapat di sana. Terdapat satu kuda yang mengalami stress karena suara yang terlalu bising dan bahkan sampai saat wawancara dilakukan kuda tersebut masih dalam kondisi stress. Hewan yang ternyata sakit atau stress akan dipisahkan dan dikarantina sampai sembuh, selama masa karantina hewan tersebut dilarang berinteraksi dengan pengunjung.
ADVERTISEMENT
Freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan penderitaan), hewan-hewan di obelix dapat dikatakan tidak terbebas dari rasa takut dan kesusahan karena interaksi pengunjung dengan hewan sebagian besar tidak dibatasi. Pihak Obelix mengatakan bahwa pernah ada protes dari wisatawan bahwa kelinci di sana terlihat ketakutan dan tidak mau berinteraksi dengan pengunjung karena kekenyangan. Namun, ketika kami mendatangi Obelix Village secara langsung, kelinci di sana menghampiri dan terkesan kelaparan. Di Obelix Village tidak ada kebijakan terkait pembatasan jumlah pengunjung sesuai kapasitas maksimal per-harinya, bahkan Obelix Village sendiri pernah menerima pengunjung dengan jumlah 5.000 orang dalam sehari. Tentu saja hal ini mungkin akan mempengaruhi kondisi hewan-hewan.
Mereka mungkin mengalami stress dan perubahan perilaku akibat interaksi yang berlebihan. Menurut pihak Obelix hewan yang paling rentan stress adalah kuda. Di Obelix kuda dapat ditunggangi oleh pengunjung, tetapi dulu belum terdapat kebijakan terkait batas pengunjung yang dapat menunggangi kuda per-harinya. Sehingga muncul beberapa review internet dari wisatawan yang pernah berkunjung, mengeluh mengenai kuda di sana. Keluhan tersebut kurang lebih berisi tentang kuda yang terlihat kurus dan tak sehat. Sekarang pihak obelix menerapkan kebijakan dengan membatasi hanya 30 pengunjung yang dapat menunggangi kuda per-harinya. Freedom to express normal behavior (bebas mengekspresikan perilaku normal dan alami). Hewan-hewan yang ada di Obelix Village masih sulit untuk berperilaku normal dan alami karena mereka terkesan dikurung dalam kandang. Namun terdapat juga beberapa penataan kandang hewan yang terkesan natural seperti habitat asli mereka.
ADVERTISEMENT
Dampak Positif dan Negatif Animal Welfare dalam Konsep Animal Based Tourism
Tentunya berbicara tentang ABT (Animal based tourism) ada dampak positif yang juga dapat dilihat dalam jurnal Instagranimal: Animal Welfare and Animal Ethics Challenges of Animal-Based Tourism (2020) ada 2 dampak positif yang bisa kita ketahui, pertama memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal seperti melalui lapangan kerja contohnya, di Obelix Village sendiri diketahui bahwa 80% karyawannya adalah masyarakat lokal di desa. Kedua adapun ABT bisa menjadi sarana pendidikan bagi para wisatawan tentang keanekaragaman hayati contohnya, di Obelix Village terdapat beberapa papan nama yang menjelaskan tentang hewan - hewan yang ada di sana, Dengan penerapan standar kesejahteraan yang baik dan praktik - praktik yang ramah terhadap hewan, ABT dapat memberikan kesejahteraan yang baik bagi para hewan.
ADVERTISEMENT
Setelah kita berbicara mengenai dampak positifnya adapun juga dampak negatif dari adanya ABT dalam isu animal welfare yang diambil dari jurnal Instagranimal: Animal Welfare and Animal Ethics Challenges of Animal-Based Tourism (2020), dampak negatifnya terbagi menjadi 4, yang pertama hewan terkadang menahan dari rasa lapar dan haus. Hewan dipaksa menahan rasa lapar dan haus mereka sampai bisa melakukan apa yang disuruh oleh zookeeper. Dari adanya perilaku tersebut hewan-hewan tidak mendapatkan nutrisi dan gizi yang cukup. Kedua memanfaatkan satwa liar dalam kurungan untuk hiburan, seperti contohnya di Obelix Village yang mana kuda dijadikan bahan hiburan untuk ditunggangi banyak wisatawan. Ketiga, kondisi kejiwaan yang terganggu dari aktivitas dan atraksi berupa pertunjukan yang memperbolehkan kontak dekat dengan manusia, biasanya kegiatan ini menimbulkan kondisi kejiwaan hewan terganggu, seperti stres bagi hewan, Contohnya kuda - kuda di Obelix Village mengalami stress pada masa awal - awal Obelix Village ini dibuka hal ini disebabkan kuda - kuda tersebut mengalami kelelahan karena ditunggangi banyak wisatawan. Dan terakhir Menyebarkan penyakit menular, interaksi wisatawan yang tidak dibatasi dengan hewan dapat meningkatkan risiko penularan penyakit baik dari hewan pada wisatawan ataupun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Penerapan konsep Animal Based Tourism telah memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan pariwisata. Destinasi wisata berbasis hewan dapat menjadi area untuk konservasi hewan serta pengembangan ilmu pengetahuan. Manfaat lainnya adalah tersedianya sarana rekreasi dan edukasi bagi masyarakat. Di Obelix Village sendiri, terdapat peningkatan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Namun, dibalik semua dampak positif yang ada terdapat dampak negatif yang juga perlu diperhatikan.
Isu-isu eksploitasi marak terjadi di penyelenggaraan wisata berbasis hewan, misalnya penyediaan kandang yang sempit serta pelatihan hewan dengan membuat hewan tersebut kelaparan dengan tujuan agar hewan bisa menjadi tontonan publik. Tindakan tersebut menyalahi etik dan moral. Interaksi dengan wisatawan yang kadang berlebihan dapat menyebabkan stress dan perubahan perilaku pada hewan. Selain itu dengan interaksi yang tinggi, potensi penularan penyakit juga meningkat.
ADVERTISEMENT
Pengembangan pariwisata salah satunya memang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian. Namun, tak jarang penyelenggaraan pariwisata terkadang terlalu berorientasi pada uang sehingga kurang memperhatikan keberlangsungan lingkungan. Dalam Animal Based tourism, hewan sebagai salah satu aspek dalam lingkungan kurang diperhatikan wellbeing-nya. Padahal sama seperti manusia, hewan pun juga merupakan makhluk hidup yang berhak untuk hidup dengan layak. Telah lama hewan dalam ABT dipandang sebagai objek daripada subjek, yang mana tidak diakui sebagai aktor atau agen yang memiliki suatu tujuan tertentu. Kebijakan pariwisata global seringkali memprioritaskan kebutuhan manusia di atas kesejahteraan hewan, mengorbankan hal tersebut untuk hal-hal seperti konservasi, pemenuhan kebutuhan pariwisata, dan profitabilitas (S. Lee et al. 2024).
Salah satu pengabaian atas animal welfare dalam ABT terjadi di Thailand. Salah satu daya tarik dari Thailand adalah Gajah. Saat ini terdapat 3000-4000 gajah di Thailand, akan tetapi jumlahnya terus berkurang didasari atas berbagai alasan antara lain, pariwisata, perburuan liar, dan gangguan atas habitat mereka oleh manusia. Dari banyaknya penangkaran gajah di Thailand, hanya beberapa diantaranya yang diketahui melakukan praktik yang mengedepankan etik.
ADVERTISEMENT
Dari studi kasus yang kami angkat, fakta yang terjadi adalah praktik animal based tourism yang sesuai dengan etik belum diterapkan dengan sepenuhnya sempurna di Obelix Village. Mulai dari penerimaan pengunjung yang sangat banyak, interaksi tinggi antara pengunjung dan hewan, kondisi kandang, hingga perilaku hewan yang terganggu, memperlihatkan bahwa penerapan animal welfare belum sesuai di sana. Obelix Village pun mempromosikan edukasi mengenai hewan yang kurang tepat seperti hewan dikurung, boleh disentuh seperti mainan, dan ditunggangi dengan harga yang relatif murah. Padahal kebanyakan jenis wisatawan yang datang merupakan anak-anak. Pemerintah sebaiknya memperketat perizinan dan pengawasan terhadap wisata jenis Animal Based Tourism. Perlu ada standar-standar yang perlu dipenuhi sehingga penyelenggaraannya dapat sesuai dengan prinsip animal welfare.
ADVERTISEMENT
Padahal jika melihat studi kasus lain mengenai animal based tourism seperti contoh atraksi wisata di Australia yang mempunyai sop menjaga jarak dengan hewannya, dijelaskan bahwa memang pengelola benar-benar paham perilaku hewan yang dijadikan atraksi wisata dan mereka juga mengupayakan agar hewannya tidak terganggu dan diwaktu yang sama manusia bisa mengambil manfaat wisatanya. Untuk menghindari pelanggaran terhadap animal welfare di pariwisata berbasis hewan, diperlukan pelatihan dan penempatan staf yang ahli di bidangnya, serta melakukan evaluasi tentang penerapan standar kesejahteraan hewan di destinasi secara berkala. Pengelola dapat menerapkan pembatasan jumlah wisatawan sesuai dengan kapasitas daya tampung atau carrying capacity untuk mencegah interaksi yang berlebihan antara wisatawan dan hewan. Penggunaan teknologi seperti VR juga dapat menjadi alternatif untuk mengurangi interaksi langsung.
ADVERTISEMENT