Menjadi Wartawan Ekonomi dan Kerumitan-kerumitan yang Menyenangkan

Ema Fitriyani
Asisten editor kumparanBISNIS
Konten dari Pengguna
11 November 2018 2:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ema Fitriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menjadi Wartawan Ekonomi dan Kerumitan-kerumitan yang Menyenangkan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Anak-anak SD antusias menyambut peresmian listrik di Desa Silangkitang Tambiski, Tapanuli Selatan.
ADVERTISEMENT
Sebuah grup baru masuk di salah satu nomor WhatsApp (WA) saya Sabtu sore (9/11) saat dalam perjalanan pulang dari tempat liputan di Ciloto, Cianjur ke Jakarta. Grup baru ini bikin saya kaget, bukan hanya dari pembuatnya, tapi juga nama yang dibubuhkan: Mas Habibi created group Wartawan Kredibel, Mas Habibi added you.
Ngapain nih Mas Habibi? Salah masukin nomor paling,” pikir saya sambil terus memandangi layar HP, sebab nomor yang Mas Habibi masukkan ke grup adalah nomor yang jarang saya gunakan sehari-hari. Kalaupun ada nama grup WA yang aneh, saya pikir judulnya tidak seperti itu, tapi seperti yang sudah-sudah, macam “Tukang Geser” atau “Kerja Mulu, Kapan Mainnya?” yang merepresentasikan kegiatan kami sebagai wartawan baru di Jakarta selama ini.
ADVERTISEMENT
Pernah juga ada teman yang mengganti nama grup menjadi “PSO” atau Public Service Obligation karena saban hari obrolan kami soal subsidi BBM dan listrik. Belakangan, nama grup itu diganti menjadi “Hidup Berkah” karena kami berniat insaf dari kebiasaan menggosipi beberapa pejabat di kalangan kementerian atau perusahaan.
Beberapa menit sebelum Mas Habibi mengagetkan saya di WA dengan grup itu, sebenarnya saya lagi melamun. Suasana perjalanan di Ciloto yang hujan, macet, dan dingin memang pas banget bikin pikiran jauh melayang sambil memandangi kebun teh yang jarang ditemui dari belakang jendela bus mini yang membawa kami ke Jakarta. Alih-alih transkrip rekaman tapi pusing karena jalanan berliku, saya kepikiran sesuatu.
Kebetulan isi lamunan saya sore itu tentang 1 tahun saya di kumparan yang jatuh pada 1 November 2018 lalu. Mengingatkan juga kepada teman-teman di sekitar yang resign dari dunia kewartawanan yang mulanya ingin saya jadikan postingan di Instagram karena sudah lama enggak update di akun sendiri. Maklum, setiap hari wajib menulis berita, jadi mendadak menulis caption IG susah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Beberapa di antara mereka yang resign berasal dari kumparan, ada juga dari media lain. Saat tahu mereka memilih meninggalkan profesi ini, saya bertanya sekaligus merajuk. Kenapa sih kok resign?
Beberapa dari mereka memberikan jawaban. Dengan berbagai alasan yang kadang bisa saya terima, tapi juga amat disayangkan. Seorang wartawan senior berkata, “itu kan cuma perjalanan yang harus dilewati”.
Omongan senior itu ada benarnya juga. Menjadi bagian dari kumparan adalah sebuah perjalanan, termasuk di hidup saya setelah lulus kuliah Mei tahun lalu. Dan bulan ini, tepat satu tahun perjalanan itu dilalui. Perasaaan baru kemarin onboarding di Kuningan City.
Mas Habibi meminta yang ada di grup itu untuk menceritakan apa saja yang kami lalui selama setahun sampai akhirnya kami semua lulus sertifikasi kewartawanan dari Dewan Pers. Kalau diminta untuk bercerita pengalaman selama liputan, saya bisa. Tapi kalau dibubuhi dengan sebutan seperti nama grup baru itu, terdengar berat sekali.
ADVERTISEMENT
Sebagai anak baru di industri yang serba cepat ini, saya masih harus belajar banyak, sehingga saya tidak tahu apakah saya benar-benar kredibel sebagai jurnalis atau tidak. Berita pagi masih suka ditegor karena basi, isu yang diajukan tiap malam juga kerap kurang greget. Menulis judul apalagi, 80 persen kayaknya sering diedit meski maksudnya kurang lebih sama.
Tapi, mari kita bercerita saja tentang perjalanan satu tahun ini.
Saya lupa bagaimana mulanya ditempatkan di Pos Energi. Salah satu desk yang bisa dibilang paling banyak dihindari wartawan ekonomi. Bagi mereka yang sudah lama meliput di pos lain saja enggan terjun ke isu ini, apalagi saya yang 'bau kencur'. Saya juga lupa kapan pertama kali diminta meliput isu energi. Yang pasti, awal-awal di sana, kepala rasanya mau pecah. Pusing bukan kepalang.
ADVERTISEMENT
Biar kalian yang membaca tulisan ini tidak ikut pusing, saya beri gambaran soal Pos Energi. Di dalam desk ini, terbagi atas empat cabang, yaitu permigasan (minyak dan gas), kelistrikan, minerba (mineral dan batu bara), dan energi terbarukan. Dari keempat bagian ini, masing-masing dipisahkan industrinya yaitu di hulu dan hilir.
Mudahnya, begini. Misalnya dalam permigasan, perusahaan negara dan perusahaan swasta mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dari sumur-sumur yang mereka gali di Tanah Air. Aktivitas dan bisnis ini berada di hulu. Lalu minyak mentah yang dihasilkan itu kemudian diproduksi menjadi BBM seperti yang dibuat Pertamina yang memiliki Premium, Pertalite, dan Pertamax CS. Regulasi mengenai bisnis produk BBM jadi ini berada di hilir. Kira-kira begitu.
ADVERTISEMENT
Pusing dengan penjelasannya? Sama!
Setahun berjalan, saya juga masih kerap garuk-garuk kepala. Hulu migas memang menjadi salah satu isu energi yang bikin rasanya oksigen di otak menipis dan tarikan nafas lebih dalam. Kami disuguhi informasi tentang blok-blok penghasil migas di Indonesia. Kadang, mereka juga menyebut tentang teknologi yang digunakan dalam sumur-sumur itu. Belum lagi mengenai sistem lelang migas dengan alur persyaratan yang membingungkan atau bisnis hulu gas yang dipenuhi trader bermodal kertas.
Melihatnya saja belum pernah, tapi kami diminta membayangkan dan memahami teknologi yang digunakan para insinyur itu di dalam sumur yang berada di lepas pantai dan laut dalam. Lalu diminta menuliskannya sesederhana mungkin. Ya, Tuhan, cobaan macam apa ini?
ADVERTISEMENT
Yang enggak kalah bikin pusing adalah isu minerba, terutama Freeport! Gunung emas di Papua dengan segala kebijakan pemerintahan di masa lalu membuat isu ini sangat sensitif, apalagi di tahun politik seperti sekarang. Saya ingat betul, suatu hari, entah di akhir 2017 atau awal 2018, saya diminta meliput konferensi pers di Kementerian ESDM, salah satu narasumbernya adalah Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono.
Saat doorstop, seorang wartawan dari koran Tempo bertanya tentang bagaimana cara pemerintah menguasai 51 persen saham Freeport Indonesia melalui Rio Tinto, salah satu perusahaan yang memiliki hak partisipasi di PT Freeport Indonesia. Pak BG, sebutan dirjen berambut putih itu, hanya menjawab kurang lebih: iya, jalannya memutar.
ADVERTISEMENT
Besok paginya, sebelum naik kereta untuk liputan, saya beli korannya. Kaget bukan kepalang, ternyata headline mereka satu halaman muka tentang Freeport hasil liputan kemarin, padahal quote Pak BG cuma “Iya, jalan memutar”.
Dari situ saya makin penasaran dengan pos ini. Isu-isu energi, meskipun melelahkan untuk dipahami apalagi ketika dikaitkan dengan isu politik, tapi menyangkut hajat hidup banyak orang, mulai dari bensin yang kamu isi, listrik yang kalian nikmati, gas tabung yang ada di dapur, sampai tambang emas Papua yang selalu menjadi polemik.
Di hilir, Pos Energi ini sangat dekat dengan rakyat, tentunya selain drama di dalamnya yang tidak kalah seru dan tetap kadang bikin kepala mau pecah seperti pergantian Direktur Utama Pertamina. Belum lagi polemik tarif listrik yang tidak naik hingga 2019.
ADVERTISEMENT
Di antara kerumitan isu energi yang mayoritas saya follow up di Jakarta, terselip juga sisi humanis. Salah satu momen itu adalah saya dapatkan ketika berkunjung ke Desa Silangkitang Tambiski di Tapanuli Selatan. Sejak pagi, anak-anak sekolah di sana sangat antusias menyambut peresmiaan sumber listrik dari energi terbarukan yang akan dilakukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM. Dengan keberadaan listrik, desa mereka tidak lagi gelap, bahkan azan bisa berkumandang dalam 5 kali sehari.
Menjadi Wartawan Ekonomi dan Kerumitan-kerumitan yang Menyenangkan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Menjadi Wartawan Ekonomi dan Kerumitan-kerumitan yang Menyenangkan (2)
zoom-in-whitePerbesar
Memahami Karakteristik Narasumber dan Rekan Media yang Lain
Kita tinggalkan isu energi yang panas, mari beralih ke pejabat dan pekerja media di pos ini. Ternyata tidak hanya materinya saja yang ribet, orang-orang di dalamnya juga harus bisa saya mengerti. Ini tantangan kedua selain membayangkan sumur-sumur minyak nun jauh di sana, sementara kami menggarapnya dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
Saya masuk di Pos Energi saat Kementerian ESDM dipimpin oleh Ignasius Jonan sebagai menterinya dan Arcandra Tahar sebagai wakil menteri. Kedua orang ini memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Jonan merupakan akuntan yang pernah mengurusi perhubungan Indonesia, sementara Arcandra lahir dari profesi perminyakan dan pernah bekerja di Houston, Amerika Serikat. Jadi, kalau bertanya soal permigasan sebenarnya lebih enak ke Acandra ketimbang Jonan.
Tapi, kedua pejabat ini memiliki kesamaan, selain sama-sama baper terhadap pemberitaan di media, mereka kerap membalikkan pertanyaan kepada wartawan yang mewawancarai. Sontak ini membuat wartawan, apalagi seperti saya yang lahir kemarin sore, gugup bukan kepalang. Untungnya, salah satu editor, Michael Agustinus atau Mas Miki, suka mengingatkan saya agar baca dan pahami isunya dulu sebelum liputan, tentunya selain memahami titipan pertanyaan dari dia yang maha melimpah itu.
ADVERTISEMENT
Belakangan, saya amati, salah satu trik wartawan energi jika ada isu yang rumit dan ditanya balik, mereka akan mengelaknya dengan meminta agar Arcandra memberikan kelas khusus kepada wartawan. Dan ini ampuh, saya pernah mengikuti kelasnya di press room Kementerian ESDM. Lumayan, selain bisa mendapatkan kelas dari dia, juga bisa berkenalan karena dia akan bertanya satu per satu nama wartawan dan medianya, bahkan latar pendidikan S1 kami.
Yang harus dipahami wartawan saat doorstop adalah melihat momentum untuk bertanya hal-hal yang serius atau berpotensi untuk dijawab no comment oleh narasumber. Ini tidak terjadi hanya di pos energi saja sih, tapi di semua pos dan lintas desk.
Wartawan baru seperti kami kerap dititipi banyak pertanyaan yang kadang bahkan belum mulai doorstop sudah ditanya oleh redaktur apakah jawabannya sudah dapat atau belum. Sejak awal masuk, saya diajari oleh teman di lapangan, kalau setelah acara selesai, alur doorstop yang benar adalah bertanya tentang acara yang baru saja si narsum buka atau mengomentari maksud dari isi sambutannya di podium.
ADVERTISEMENT
Kalau perlu, puji dia misalnya batik yang digunakan hari itu bagus atau sepatunya keren. Meski terdengar pereuss, ini penting untuk menjaga mood narasumber. Setelah itu, baru masuk ke pertanyaan dari isu yang kita kejar.
Dan teknik itu berhasil. Saat meliput acara Menteri BUMN Rini Soemarno di Jawa Tengah untuk melihat progress ruas tol Pejagan dan Jembatan Kali Kuto, kami menuju Bandara Ahmad Yani yang baru untuk kembali ke Jakarta. Karena dari tadi siang titipan pertanyaan redaktur soal Freeport dan progress Holding Migas sempat ditanyakan, saya dekati Rini.
ADVERTISEMENT
Mulanya saya pancing dengan kekaguman saya terhadap bandara yang baru ini. Minta saja pendapat dia tentang bandara ini dan potensi jumlah penumpang yang datang. Setelah itu baru masuk ke isu-isu yang kami kejar dan syukurnya dia mau menjawab.
Masih dalam acara yang sama, dalam rombongan Rini ada juga Deputi Kementerian BUMN, Ahmad Bambang (Pak Abe). Saat itu, saya laporan ke Mas Miki kalau di sini ada Pak Abe lagi nganggur, enggak ada wartawan yang nempel dan dia dalam keadaan santai. Kamu tahu, sejak di kumparan, bukan cuma sayang kalau lihat makanan didiamkan, tapi gemes juga lihat ada narsum lagi diam, enggak ada yang deketin.
Dekatin aja, Ma. Pak Abe itu bocor dulu di Pertamina. Siapa tahu dapat informasi soal siapa Dirut Pertamina yang baru, sudah ada calonnya belum. Bisa ditanya juga soal tuduhan BUMN Karya rugi ke dia,” kira-kira begitu kata Mas Miki di WA.
ADVERTISEMENT
Dan saya mencoba mendekati Pak Abe. Karena dia pernah ada kasus matahari kembar di Pertamina, pasti enggan kalau ditanya soal siapa calon Dirut Pertamina meski sebagai Komisaris Perseroan seharusnya dia sudah tahu jawabannya.
Saat itu saya memulai pertanyaan tentang BUMN Karya yang berada di bawah kedeputian dianggap mengalami kerugian besar. Jawabannya, sudah pasti dia membantah. Dia mengatakan hal itu sudah pernah dibahas dan ada datanya. Saya meminta data yang dia maksud meski sebenarnya saya sudah punya dari Wianda Pusponegoro, Staf Khusus Bu Rini.
Karena Pak Abe gerah ditanya-tanya terus sementara rombongan sudah jauh jalan di depan, dia akhirnya memberikan iPhone yang canggihnya itu ke saya. Dia bilang, “Cek sendiri datanya, kirim ke WA kamu”. Meski sering WA Pak Abe, tapi nomor saya tidak pernah disimpan. Di situlah momen saya membubuhkan nama Ema Reporter kumparan di HP-nya, harapannya ini akan memudahkan saya kalau mau bertanya di kemudian hari. Dan pendekatan ini berguna saat ramai beberapa isu belum lama ini.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya selain menghadapi kerumitan di Pos Energi, pos BUMN juga sangat menarik untuk ditelusuri. Di bawah Kementerian BUMN, ada ratusan perusahaan negara yang nasibnya berbeda-beda. Ada BUMN yang amat agresif melaju, beberapa di antaranya justru sakit karena merugi. Belum lagi pergantian direksi dan komisarisnya yang kerap sangat politis seperti Pertamina dan Garuda.
Omong-omong soal pergantian Dirut Pertamina, saya pernah mengalami kejadian yang mbatin selama beberapa minggu. Pada Jumat (20/4) yang berkah itu, redaktur meminta saya meliput acara Rini Soemarno kunjungan ke salah satu rumah sakit pemerintah di daerah Petamburan.
Selain meliput acaranya, saya ingin mengejar isu-isu BUMN strategis seperti progress holding migas. Sialnya, kami yang meliput tidak bisa doorstop karena Rini langsung masuk mobil usai selfie sana-sini dengan para dokter dan karyawan rumah sakit itu.
ADVERTISEMENT
Agenda kedua saya pada Jumat keramat itu masih pukul 17:00 WIB. Saya usul ke redaktur untuk geser dan standby di Kementerian BUMN saja dan running isu BUMN sembari follow up soal isu Budi Waseso menjadi Dirut Bulog. Karena letak press room Kementerian BUMN berada di pojok lobi atas, sangat tidak strategis mencegat narsum, terutama Rini dan para deputinya yang selalu masuk lewat pintu dekat parkir mobil di bawah.
Saat itu, saya dan salah satu rekan media menunggu di basement parkiran sambil sarapan di kantin dari pukul 11:00 WIB. Sambil menelpon sana-sini, sebuah Alphard hitam masuk dan keluarlah Elia Massa, Dirut Pertamina saat itu, pukul 13:30 WIB. Melihat ada narsum penting, saya lapor ke Mas Miki. Tak curiga apa-apa dengan kedatangan Elia Massa, dia hanya berpesan tanyakan soal rencana tanda tangan 8 blok migas yang akan diberikan Pemerintah ke Pertamina sore itu yang menjadi agenda kedua saya.
ADVERTISEMENT
Selama menunggu Elia Massa, kami dibuat bingung sama supirnya. Beberapa kali dia menyalakan mesin mobil yang membuat kami sigap. Tapi ternyata setelah itu mesin mati. Sejam kemudian, yang ditunggu keluar. Seperti melihat es teh manis setelah kepanasan di basement, kami langsung mendekati Elia Massa.
Dia tampak kaget tapi juga bingung menjawab saat saya menanyakan rencana tanda tangan nanti sore. Sekretaris Perusahaan Pertamina, Syakhrial Muchtar, menghalangi kami saat menyodorkan pertanyaan lebih ke dalam mobilnya, dia pun berlalu sementara pertanyaan saya tentang di dalam apa saja yang dibicarakan Rini belum sempat dijawab.
Sambil duduk lemas di basement, saya dan Ulum mendapat pesan kalau pukul 15:00 WIB bakal ada konpers di Kementerian BUMN tentang progress holding migas. Kami berdua masih berpikir positif kalau pertemuan Elia Massa di atas selama satu jam ngomongin tentang perkembangan holding migas.
ADVERTISEMENT
Tak dinyana, 3 menit sebelum pukul 15:00 WIB di hadapan para wartawan yang sudah kumpul di lantai 3, salah satu Deputi Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, mengatakan Elia Massa dicopot dari Dirut Pertamina. Mendengar itu rasanya ingin mengutuki diri sendiri, kenapa saya tidak peka untuk sekadar melontarkan pertanyaan pencopotan dirinya.
Isu tentang pencopotan Elia Massa sebenarnya sudah berlangsung lama, tapi kemudian redup lagi. Redaktur pun tidak ada yang punya firasat apa-apa kalau Jumat itu bakal jadi hari keramat.
Meninggalkan Elia Massa yang sudah berlalu, hari masih belum usai. Saya menuju ke Kementerian ESDM dengan agenda penandatanganan 8 blok migas bersama Pertamina. Tentu saja, Elia Massa tidak ada di situ, digantikan oleh Plt Nicke Widyawati yang sekarang sudah menjadi Dirut Definitif Pertamina.
ADVERTISEMENT
Dari satu hari yang panjang itu, saya belajar bahwa apapun isu yang mau dikejar, tanyakan dulu kepentingan narasumber datang atau berada dalam pertemuan yang dia lakukan.
Menjadi Wartawan Ekonomi dan Kerumitan-kerumitan yang Menyenangkan (3)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Bersama wartawan-wartawan Pos Energi dari media lain di Kementerian ESDM.
Terakhir, kerumitan lain yang saya hadapi di pos ini ada mengambil hati para rekan media di dalamnya. Jujur saja, saya sempat ingin nangis menghadapi para senior di sana karena belum begitu kenal. Kejadian yang paling teringat adalah saat pertama kali saya meliput Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII, Kementerian ESDM, Pertamina, dan PT PGN.
Bagi anak baru yang tidak kenal siapa-siapa padahal sudah beberapa kali meliput energi di tempat lain, rasanya amat merutuki nasib malam itu. RDP sampai malam, melihat pada anggota dewan berdebat, materi energi yang sulit, sementara berita belum ditulis satu pun karena enggak paham.
ADVERTISEMENT
Puncaknya, setelah liputan selesai, saya mengadu ke Mas Miki kenapa para wartawan energi sikapnya dingin-dingin. Sebagai senior yang ngepos di sana selama 2 tahun, dia memberikan jawaban yang rasional atas rengekan saya. Sepanjang perjalanan dari Stasiun Palmerah menuju Stasiun Bogor, saya pun bertekad untuk bisa masuk ke dalam circle para wartawan senior ESDM yang bukan saya saja yang merasa mereka dingin, tapi wartawan lainnya, hehe.
Syukurnya, badai dingin itu sudah terlewati dan saya bisa belajar banyak dari mereka setiap harinya soal isu-isu yang rumit ini tapi menyenangkan.
Sebenarnya tidak hanya energi, isu lain di ekonomi juga banyak yang menarik seperti sektor perdagangan dan pertanian. Misalnya saja perkara jagung bakar yang kamu makan dan berbagai komoditas pertanian lainnya dengan segala regulasi ekspor-impor yang ada bisa berujung pada perang dagang internasional. Pun dengan tempe yang saat ini dipolitisisasi kedua kubu capres-cawapres, ternyata harga impornya di AS masih stabil bagi industri dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, saya masih tidak tahu apakah pengalaman ini merepresentasikan kredibilitas, paling tidak bagi diri saya sendiri. Yang pasti, setiap harinya adalah pembelajaran yang bisa datang dari narasumber atau petuah-petuah dari para redaktur.
Di balik telepon dari kantor soal titipan isu juga sebenarnya merupakan ilmu yang bahkan kadang saya harus transkrip saking rumitnya materi yang mesti saya pahami. Mengulik bagaimana para redaktur dulu di lapangan juga sesungguhnya menjadi hal yang seru untuk didengarkan dan bisa menjadi motivasi.
Begitulah sepenggal kerumitan di lapangan yang menantang dan melelahkan setiap harinya, mulai dari bangun tidur harus membuat berita pagi sampai hendak memejamkan mata pun harus memikirkan isu liputan besok. Semua rumit tapi harus dihadapi, ya hadapi saja dengan rasa senang selagi kamu mau melakukannya.
ADVERTISEMENT