Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jihad Fi Sabilillah
19 Mei 2018 11:49 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Ema Laura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nusantara kembali terluka, Surabaya merasakan duka.
Atas nama jihad untuk menikmati ademnya surga, satu keluarga melakukan aksi bom bunuh diri di beberapa gereja. Beramai-rami netizen mengguncang jagat maya mengecam tindakan teror bom dengan menyematkan tagar #SuroboyoGakWediWani serta berbagai hahstag lainnya.
ADVERTISEMENT
Ketika banyak orang bersimpati, segelintir orang memperkeruh suasana dengan berbagai cuitan maupun unggahan foto korban bersimbah darah tanpa sensor sama sekali. Kejadian yang terus berulang mengakibatkan stereotype terhadap Islam dan simbol-simbolnya semakin mendalam.
Besar ataupun kecil teror di Indonesia, kami yang sedang mengais rejeki di negara orang tetap merasakan gelombang efeknya. Bagi yang bercadar semakin disorot gerak-geriknya ataupun tekanan dari majikan yang mengidap Islamophobia. Tekanan yang pernah aku rasakan dari Siuce.
Hari kedua bekerja di rumah ini, aku dan Siuce baru bisa bertemu. Setelah makan malam Siuce menjelaskan apa saja peraturan di rumah, cara kerja dan yang terakhir dengan tatapan tajam Siuce mengatakan bahwa aku tidak boleh melakukan ritual ibadah apapun di rumah ini.
ADVERTISEMENT
"We are not friend," kata Siuce saat itu. "No problem," jawabku santai seperti di pantai.
Pencuri tetaplah lebih pintar dari pemilik rumah kalau tidak ketangkep. Bagaimana tidak no problem, lha wong aku sudah mengamati situasi rumah dengan cara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Kamar tidurku letaknya bersebelahan dengan kamar mandi, kamera cctv hanya menghadap ke ruang tamu, Akung setiap waktu berbaring di ranjang, sudah ada jadwal Bobo pergi dan pulang dari pasar jam berapa saja, amanlah untuk nyuri waktu melaksanakan salat.
Soal salat bisa dijamak, puasa bisa diakali dengan alasan diet, ngaji atau mengikuti kajian lainnya bisa nonton handphone. Kalau aku melawan dengan argumen, bisa-bisa harus angkat koper saat itu juga. (Di situlah aku nyengir kuda).
ADVERTISEMENT
Siuce penganut ajaran Buddha dari Nepal, entah apa namanya. Aku tak pernah tanya macam-macam karena hal ini masuk ranah pribadi. Setiap pagi aku harus menyalakan dupa, mengganti air, beberapa hari sekali mengganti bunga, dan membersihkan tempat sembahyangan.
Tempat sembahyangan ini hanya berupa lemari kaca yang berisi beberapa patung dewa dan dewi Kwan Im. Di depan lemari ada papan kecil tempat gelas-gelas berisi air, buah atau makanan lain sebagai sesaji. Saat cicit Bobo datang papan ini dimasukkan ke dalam lemari agar tak mengganggu cicitnya yang suka berlarian.
Lazimnya salat wajib itu lima kali sehari, tetapi aku mengerjakannya tak tentu berapa kali sehari. Sehari dua kali, tiga kali bahkan sering tidak mengerjakan sama sekali. Subuh bisa mengerjakan tepat waktu kalau tidak terlelap dalam kantuk setelah semalaman begadang dengan Akung.
ADVERTISEMENT
Zuhur dan Asar dijamak saat Bobo berangkat belanja. Magrib-Isya dijamak saat istirahat tiba. Mengerjakan salat sistem borongan seperti ini bukan berarti tanpa risiko.
Sebelum salat, ada ubo rampe yang harus dipersiapkan yaitu kain lap, alat pembersih serta seember air. Hal ini untuk mengantisipasi sewaktu-waktu Bobo pulang tak sesuai jadwal.
Kalau tiba-tiba pintu terbuka, gerak refleks melepas mukena lalu pasang aksi nginem lagi entah tadi salatnya sampai rokaat yang keberapa. Salat dengan keadaan serba deg-degan, membiasakan panca indra untuk trengginas dan melatih kita menjadi pemain drama.
Hatinya khusuk, pikiran waspada, telinga dengan seksama mendengarkan suara dari lubang kunci pintu utama, majikan tiba kita pura-pura bekerja.
Witing tresna jalaran saka kulino, batu ditetesi air sekian waktu pasti akan tergerus juga. Sama halnya dengan Siuce, dulu membaca buku saja harus main petak umpet. Lambat laun Siuce fine-fine saja melihat aku memegang buku, Al Quran atau bacaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Siuce dan Bobo juga tahu aku nyuri waktu mengerjakan salat, puasa, dan di luar rumah memakai kerudung. Dulu ada berita aksi teror yang pelakunya mengenakan kerudung, cadar, gamis atau teriak-teriak Allahu akbar, Siuce pasti langsung menyalahkan Islam. Menuding-nuding Islam itu agama penuh kekejaman. Sekarang hanya komentar, "Orang ini kejam amat." Selesai.
Tak pernah terpikir bisa sampai pada titik ini, titik di mana kita memiliki cara pandang yang sama bahwa yang salah itu bukan agamanya tetapi sudut pandang orang yang menafsirkan ajaran agama.
Aku sangat menyadari tidak melakukan hal spektakuler apa-apa, paham agama sebatas alif ba ta saja. Hanya bisa terus bekerja semangat pol-polan tanpa mengharap pada negara, hasil akhirnya Tuhan dan semesta yang bekerja.
Aku masih beruntung Siuce luluh memahami, di luar sana sangat banyak kawan BMI yang terus berupaya untuk mendapatkan waktu lima menit beribadah dengan tumakninah.
ADVERTISEMENT
Di saat kami berjuang mengumpulkan uang dan mensyiarkan agama sebisa-bisanya, ada oknum-oknum yang mengharamkan dan menyalahkan keputusan kami menjadi tenaga kerja asing. Sedih, sakit hati, hancur yang kami rasakan.
Tanpa disalahkan pun, kami sadar risiko bekerja di negara non-muslim akan kehilangan waktu beribadah, tetapi demi cinta kami rela menumpuk dosa. Tanpa diharam-haramkan pun, ada perang batin di lubuk hati kami yang terdalam.
Berbagai pertanyaan silih berganti bermunculan. Murtadkah aku karena sudah menyalakan dupa? Dosakah aku karena membersihkan patung dewa? Amal berat apa yang kumiliki saat dicabut nyawa, sedang sholat wajib selalu ditinggalkan?
Di remang malam, di antara nafas yang menahan kerinduan setangkup doa dilangitkan; "Gusti, kami tak memilih jalan jihad berlumuran darah. Apabila jalan jihad kami ini tak berhak menghirup bau surga seperti kata mereka, kami rela berada di emperan surga maupun di pojok neraka asal Engkau dan Kanjeng Nabi menemani."
ADVERTISEMENT
(Credit foto : Erna Reyy)