Konten dari Pengguna

Gunung Lemongan dan Realita di Balik FOMO

Adilaka Ma'ruf
Mahasiswa Universitas Jember
11 Juni 2025 17:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Adilaka Ma'ruf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Puncak Gunung Lemongan. Foto : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Puncak Gunung Lemongan. Foto : Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Di era digital seperti sekarang, sebuah tempat bisa menjadi “trending” dalam semalam. Cukup satu unggahan foto yang viral atau satu video reels berdurasi 30 detik, maka lokasi itu akan menjadi tujuan ribuan orang yang penasaran. Gunung Lemongan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, adalah salah satu dari tempat-tempat yang kini menjadi incaran para pendaki, fotografer alam, maupun wisatawan petualang. Namun, yang jarang dibahas adalah kenyataan pahit di balik foto-foto indah yang beredar ,sulitnya medan, tingginya risiko, dan betapa media sosial bisa menyesatkan persepsi tentang sebuah tempat.
ADVERTISEMENT
Saya mengalami semua itu secara langsung. Bukan sebagai pendaki berpengalaman, bukan juga sebagai penjelajah profesional. Saya hanyalah orang biasa yang terpengaruh oleh media sosial dan saya memilih untuk menuliskan ini sebagai bentuk refleksi atas pengalaman yang tidak sekadar melelahkan, tapi juga membuka mata.
FOMO atau Fear of Missing Out adalah istilah psikologi populer yang menggambarkan kecemasan atau rasa takut karena merasa tertinggal dari pengalaman sosial yang dirasakan orang lain. Dalam konteks kehidupan modern, FOMO menjadi fenomena yang merasuk dalam banyak keputusan hidup anak muda: dari ikut tren fashion, membeli gadget terbaru, hingga memilih destinasi liburan.
Gunung Lemongan menarik perhatian saya bukan karena letaknya yang strategis atau nilai sejarahnya yang unik, tapi karena popularitasnya di media sosial. Setiap kali saya membuka Tiktok, saya melihat orang-orang mengunggah keindahan puncaknya. Ada yang memotret siluet di antara kabut, ada yang duduk di pinggir kawah yang dalam dan menakutkan, ada pula yang tersenyum dengan latar langit biru dan awan lembut. Saya yang melihat dari layar ponsel merasa harus ke sana. Bukan karena cinta gunung, tapi karena takut menjadi satu-satunya yang belum ke sana,karena banyak gunung yang tiba-tiba saja tutup permanen.
ADVERTISEMENT
Tanggal 12 Mei 2025 saya putuskan sebagai hari pendakian. Dengan peralatan seadanya, saya berangkat menuju basecamp Gunung Lemongan. Tidak ada latihan fisik intensif sebelumnya, tidak ada studi medan secara detail. Bahkan saya meremehkan komentar-komentar pendaki di media sosial yang menyebutkan bahwa jalur pendakian Gunung Lemongan tergolong sulit dan berbahaya.
Foto jalur yang tergolong cukup mudah. Foto : Dokumen Pribadi
Saya menyiapkan air minum, makanan ringan, jaket, senter, dan sepatu gunung yang sudah beberapa kali saya pakai. Pendakian saya mulai sekitar pukul 04.00 dini hari. Langit masih gelap, udara dingin menusuk kulit. Awalnya, jalur pendakian terasa cukup bersahabat. Tapi itu hanya ilusi awal. Semakin tinggi saya mendaki, semakin terlihat jelas bagaimana jalur Gunung Lemongan ini penuh bebatuan tajam, tanjakan terjal, dan area-area yang nyaris tanpa penopang alami. Di antara gelap dan nyala senter, saya mulai menyadari betapa banyak sol sepatu di jalur ini. Awalnya saya pikir itu hanya sisa dari satu dua orang. Tapi semakin naik, jumlahnya makin banyak. Beberapa sudah terlihat lapuk, beberapa lainnya seperti baru copot semalam. Ini bukan sekadar fenomena unik, ini peringatan diam-diam dari para pendaki sebelum saya “jalur ini tidak main-main.”
ADVERTISEMENT
Saya pun mulai merasakan penderitaan fisik. Setiap langkah terasa lebih berat. Sepatu saya yang dulunya nyaman mulai terasa tak sanggup menopang jalur yang tidak rata. Lutut saya mulai nyeri, dan napas saya semakin pendek. Di titik ini, saya mulai menyesal mengabaikan komentar orang-orang di media sosial. Mereka benar jalurnya sangat sulit, bukan hanya karena elevasi, tapi karena perpaduan antara licinnya bebatuan, minimnya penopang alami , dan medan yang tidak ramah bagi pendaki pemula.
Sekitar pukul 08.00 pagi, saya berhasil mencapai puncak. Udara sangat dingin, tapi matahari mulai menyinari area di bawah sana. Kabut yang tadinya tebal perlahan menghilang. Di depan saya terbentang pemandangan yang tidak bisa dituliskan dengan kata-kata biasa. Gunung Semeru terlihat jauh dari atas puncak ini. Danau-danau kecil di kejauhan memantulkan cahaya pagi. Langit biru bersih, hanya dilukis awan-awan tipis yang melayang lembut. Rasanya seperti berada di dunia lain. Sebuah tempat yang hanya bisa diakses oleh mereka yang cukup keras kepala untuk terus naik.
ADVERTISEMENT
Namun, rasa puas itu tidak datang sepenuhnya. Di dalam hati, saya tahu bahwa saya telah mempertaruhkan banyak hal demi sampai di sini termasuk keselamatan saya sendiri. Dan semua itu dimulai karena saya ingin memenuhi standar media sosial yang sangat membuat penasaran.
Setelah mengabadikan beberapa foto dan mengisi logbook di puncak, saya memutuskan untuk turun. Langit mulai gelap dan mendung bergulung di kejauhan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun. Jalur yang tadi sudah sulit menjadi semakin berbahaya. Setiap batu menjadi licin, dan beberapa bagian jalur mulai berubah menjadi aliran air kecil. Saya harus berjalan dengan perlahan, sesekali jongkok untuk menjaga keseimbangan. Saya sempat terpeleset dua kali, meskipun tidak sampai jatuh parah. Tapi ketegangan tidak pernah surut. Saya tahu, dalam kondisi seperti ini, satu kesalahan kecil bisa berujung fatal. Saya terus melangkah, meskipun kaki mulai tremor dan napas tidak stabil. Akhirnya, setelah perjalanan panjang dan menegangkan, saya tiba kembali di basecamp.
ADVERTISEMENT
Tubuh saya basah kuyup, pakaian kotor, dan seluruh badan terasa remuk. Tapi saya selamat. Itu yang paling penting. Saya sempat duduk cukup lama di basecamp sebelum memutuskan untuk pulang. Dalam kondisi lelah seperti itu, perjalanan pulang bisa sangat berbahaya karena risiko microsleep yang bisa membuat saya kehilangan kendali secara tidak sadar di jalan.
Perjalanan ke Gunung Lemongan menjadi pengalaman yang sangat membuka mata. Saya sadar bahwa keindahan alam tidak bisa direduksi menjadi foto atau video. Pendakian bukan sekadar destinasi, tapi tentang perjalanan dan bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menghadapi alam yang tidak bisa diprediksi. Yang lebih penting, saya sadar bahwa keputusan saya untuk mendaki bukan didorong oleh terlalu cinta terhadap alam, tapi oleh tekanan sosial yang halus dari media digital. Saya ingin menyaksikan pemandangan yang dilihat orang lain. Saya ingin menjadi bagian dari tren. Saya ingin mengunggah foto dan menunjukkan bahwa saya juga bisa sampai di puncak.
ADVERTISEMENT
Ini adalah bentuk FOMO yang tidak sehat. Saya mempertaruhkan keselamatan saya demi validasi sosial. Dan saya yakin, saya bukan satu-satunya yang pernah melakukannya.
Gunung Lemongan adalah simbol dari banyak hal. Ia adalah lambang keindahan yang otentik, sekaligus peringatan bahwa tidak semua yang tampak indah di layar akan semudah itu dijangkau. Ia mengajarkan bahwa perjuangan adalah bagian tak terpisahkan dari pencapaian. Bahwa kita harus berhenti membandingkan kehidupan kita dengan potret terkurasi di media sosial. Sebagai manusia modern yang hidup dalam tekanan algoritma dan pencitraan, kita perlu kembali belajar menyaring motivasi. Bertanyalah sebelum memutuskan: “Apakah saya ingin ini karena saya benar-benar ingin, atau karena saya takut ketinggalan?”
Alam tidak butuh kita untuk memujinya. Ia hanya butuh kita untuk menghormatinya.
ADVERTISEMENT
Dan untuk saya pribadi, Gunung Lemongan bukan hanya tempat pendakian. Ia adalah guru yang mengajari lewat rasa sakit, peluh, dan keheningan di puncak, bahwa pencapaian sejati tidak perlu selalu dibagikan, tapi harus selalu dimaknai.