Meluruskan Pemahaman Bambang Widjojanto tentang Kasus Irman Gusman

Eman Suparman
Prof. Dr. Eman Suparman | Mantan Ketua Komisi Yudisial | Guru besar hukum di Universitas Padjadjaran | Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.
Konten dari Pengguna
18 Maret 2019 9:30 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eman Suparman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bambang Widjojanto di Balai Kota Foto: Nadia Jovita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bambang Widjojanto di Balai Kota Foto: Nadia Jovita/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernyataan tertulis mantan pemimpin KPK Bambang Widjojanto tentang penangkapan terhadap mantan Ketua Umum PPP Muchammad Romahurmuziy (Romy) menarik untuk dikomentari karena tampak kontroversial, meskipun mungkin tujuannya untuk menggiring KPK agar masuk lebih dalam lagi guna menyingkap siapa sebetulnya pejabat tinggi negara yang berkepentingan di balik kasus ini.
ADVERTISEMENT
Dalam keterangan tertulisnya yang dipublikasikan di media massa, Bambang dikutip mengatakan, "Kasus Romy menjadi menarik karena suap-menyuap yang diduga dilakukannya punya sense sebagai trading in influence. Modus operandinya, nampaknya agak mirip seperti juga terjadi pada kasus korupsi yang dilakukan Irman Gusman maupun Lutfhi Hasan dan beberapa kepala daerah."
Ada dua hal yang perlu dikomentari dari kutipan pernyataan tesebut. Pertama, trading in influence, dan kedua adalah klaim Bambang bahwa kasus Romy ada kemiripan dengan penyataan, "Kasus korupsi yang dilakukan Irman Gusman maupun Lutfhi Hasan dan beberapa kepala daerah".
Cukup mengagetkan bahwa pengacara yang adalah mantan ketua LBH dan mantan pemimpin KPK ini kurang jeli mendudukkan pesoalan trading in influence itu dalam hukum positif negara.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya delik trading in influence belum bisa dipidana, jika mengikuti asas hukum pidana yang semestinya, sebab negara belum menetapkan pasal-pasal sanksi terhadap perbuatan perdagangan pengaruh, meskipun United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) sudah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006.
Sanksi hukum tentang perdagangan pengaruh masih dibahas di DPR RI dan belum ditetapkan sebagai undang-undang, baik sebagai pasal tambahan dalam UU Tipikor maupun dalam aturan hukum lainnya.
Para pengadil (hakim) mestinya belum bisa menggunakan delik perdagangan pengaruh untuk menjerat seorang tersangka, sebab dasar hukumnya belum ada. Pengadil tak bisa mendasari kesimpulannya dalam pemeriksaan perkara pada dasar hukum yang belum ada. Itu kalau kita mau mengikuti azas hukum pidana yang semestinya.
ADVERTISEMENT
Kedua, cara Bambang Widjojanto menyamaratakan modus operandi kasus Romy dengan kasus Irman Gusman menunjukkan bahwa mantan pimpinan KPK ini kurang memahami apa yang sesungguhnya terjadi dalam kasus Irman Gusman.
Terpidana kasus suap kuota pembelian gula impor di Perum Bulog Irman Gusman selaku pemohon mengikuti sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Tipikor. Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Dalam kasus Irman Gusman, sebagaimana yang diuraikan secara rinci dalam buku Menyibak Kebenaran: Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman-- yang berisi anotasi dari belasan profesor dan doktor ahli hukum serta paktisi hukum-- tidak ada mens rea sama sekali.
Bahkan ada pula pakar hukum pidana dari Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, yang mengatakan bahwa terdapat "kekhilafan yang nyata dari hakim" dalam memutus perkara ini, karena pasal dakwaannya tidak tepat bahkan didasari pada dakwaan jaksa yang diwarnai keragu-raguan, bukan kepastian.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti dalam kasus Romy, dalam kasus Irman Gusman pangkal ceritanya adalah niat baik (bukan niat jahat) dari wakil masyarakat Sumatera Barat ini untuk meringankan beban hidup masyarakat yang diwakilinya di DPD RI, yaitu berupaya untuk menurunkan harga gula yang melambung tinggi di bulan puasa 2016.
Bambang Widjojanto menggunakan istilah "kasus korupsi yang dilakukan Irman Gusman" dalam pernyataan tertulisnya yang diberitakan media massa baru-baru ini.
Yang terjadi sesungguhnya adalah bukan Irman "melakukan korupsi" seperti pemahaman Bambang, tetapi ada sepasang suami-istri asal Padang yang datang ke kediaman Irman pada 16 September 2016 tengah malam dan memberikan buah tangan atau oleh-oleh yang tidak pernah diberitahukan sebelumnya kepada Irman, dan Irman pun tidak pernah menyadari pada saat menerima pemberian itu bahwa isi bingkisan itu adalah uang.
ADVERTISEMENT
Irman baru mengetahui tentang isi bingkisan itu ketika petugas KPK masuk menangkapnya lalu si pemberi mengarang cerita dadakan bahwa uang itu diberikan untuk Irman membeli mobil. Padahal Irman tidak butuh mobil dan topik itu pun tidak pernah disinggung dalam pembicaran mereka sebelum petugas KPK masuk.
Penangkapan Irman Gusman terkesan sarat rekayasa politik, karena ia ditangkap dengan menggunakan Sprindik atas nama orang lain (bukan atas nama Irman Gusman), yaitu nama Xaveriandy Sutanto, suami dari Memi. Surat itu pun tertanggal 24 Juni 2016 yang sebenarnya tidak diperlukan lagi karena orang yang mau ditangkap KPK sesuai isi surat itu ternyata sudah ditangkap dan menjalani hukuman tahanan kota di Padang.
ADVERTISEMENT
Dari kejadian itu dapat dipastikan bahwa Irman bukan melakukan korupsi seperti yang dipahami oleh Bambang, tetapi terjebak atau dijebak menerima pemberian yang tidak pernah diketahui isinya sebelumnya. Jaksa kemudian menuduh Irman menerima suap lalu mendakwanya dengan Pasal 12 huruf b dan dakwaan alternatif yaitu Pasal 11 UU Tipikor.
Terhadap dakwaan primer Pasal 12 huruf b ini para guru besar hukum yang memberikan anotasinya dalam buku tersebut di atas menyatakan bahwa dakwaan itu tidak tepat, karena urusan distribusi gula impor sama sekali tidak ada kaitannya dengan jabatan dan kewenangan Irman Gusman sebagai Ketua DPD RI. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan Bulog.
Terhadap dakwaan alternatif Pasal 11, para guru besar hukum itu berpendapat bahwa KPK seharusnya memberikan waktu 30 hari kepada Irman untuk melaporkan pemberian itu yang diistilahkan sebagai gatifikasi. Aturan hukumnya seperti itu.
ADVERTISEMENT
Faktanya adalah 5 hari setelah penangkapannya, Irman menyerahkan Laporan Gratifikasi kepada KPK tetapi laporan ini tidak diproses. Artinya hak Irman untuk mematuhi aturan hukum tentang pelaporan gatifikasi itu diabaikan oleh KPK.
Kasus Irman Gusman terjadi ketika di DPD RI sedang terjadi pergolakan yang menghendaki pemangkasan masa jabatan pimpinan dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Bahkan dalam persidangan, hakim juga sempat bertanya kepada Irman apakah kasus ini ada kaitannya dengan gonjang-ganjing di DPD RI. Jaksa KPK juga bertanya apakah Irman berniat mencalonkan diri dalam Pemilihan Pesiden RI. Jadi bisa saja orang awam berasumsi bahwa ada nuansa kepentingan politik yang mewarnai penanganan perkara Irman.
Ada banyak pertanyaan di hati pemerhati hukum tentang kasus Irman Gusman ini. Sebab untuk pemberian Rp 100 juta yang tidak pernah diketahuinya sebelumnya, tidak pernah dinikmatinya, bahkan hanya singgah sebentar di rumahnya itu, ia didenda Rp 200 juta, dihukum 4 tahun 6 bulan, ditambah lagi dengan hukuman politik yaitu pencabutan hak politiknya selama 3 tahun yang dihitung mulai sejak ia selesai menjalani pidana penjara tersebut. Padahal Pasal 38 KUHP menyatakan bahwa hukuman tambahan seperti itu mestinya diberlakukan sejak pidana pokok diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi saya menduga, biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk membiayai penegak hukum yang menangani kasus ini jauh lebih besar dari uang Rp 100 juta itu yang juga tidak berasal dari anggaran negara melainkan dari perusahaan swasta. Jadi, Irman tidak merugikan negara dan penegak hukum yang menangani kasus ini juga tidak menguntungkan negara.
Aneh juga bahwa sebagai salah seorang yang dikenal cukup gigih memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia, Bambang Widjojanto lalai melihat kasus Irman Gusman dengan menggunakan kacamata penegakan HAM demi menyibak kebenaran dan keadilan.
Ketum PPP Romahurmuziy mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Hanya satu asumsi yang bisa menjelaskan ketidakpahamannya terhadap kasus Irman Gusman: ia belum cukup mempelajari fakta-fakta yang melatarbelakangi kasus ini sehingga menganggap bahwa kasus Irman dan Romy sama motivasi dan modus operandinya.
ADVERTISEMENT
Bahkan penggunaan istilah 'modus operandi' itu sendiri sudah menunjukkan bahwa ia menganggap Irman sebagai seorang penjahat, padahal pangkal tolak dari kasus Irman bukannya niat jahat melainkan niat baik untuk menolong masyarakat di daerahnya sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya selaku senator Sumatera Barat.
Alangkah baiknya seorang penegak hukum tidak mengeluarkan pendapat ataupun penilaian untuk konsumsi publik yang kemudian dapat mengundang sanggahan yang membuktikan ketidakpahamannya terhadap kasus yang dikomentarinya. Sebab tugas penegak hukum adalah menegakkan hukum demi kebenaran dan keadilan yang sesuai dengan cita hukum negara yaitu Pancasila.
Ditinjau dari sudut pandang moralitas, orang yang berhak menilai orang lain bersalah adalah orang yang bebas dari kesalahan. Sebab ukuran yang kita gunakan untuk menilai orang lain akan digunakan orang lain untuk menilai diri kita.
ADVERTISEMENT
Apalagi, di negara ini setiap putusan pengadilan diawali dengan jargon Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, keadilan yang ditegakkan di pengadilan adalah keadilan yang sesuai dengan ukuran dan standar Tuhan Yang Maha Esa itu seperti yang diajarkan oleh berbagai agama yang diakui negara.
Tapi satu hal penting yang luput dari perhatian banyak orang, bahkan para penegak hukum, adalah bahwa tidak akan pernah keadilan ditemukan di tempat di mana tidak ditemukan kebenaran, sebab keadilan adalah buah dari kebenaran.
Aturan hukumnya harus benar dulu, intepretasi terhadap teks-teks hukum itu harus benar dulu, para penyelidik, penyidik, pendakwa, dan pengadil yang menangani suatu perkara pun harus benar perilaku dan motivasinya, dan semua saksi dan fakta persidangan harus juga dipertimbangkan dengan benar, kemudian kesimpulannya harus juga benar dan bebas dari kepentingan.
ADVERTISEMENT
Jika benar terjadi demikian barulah keadilan yang ingin ditegakkan dapat sungguh-sungguh merupakan keadilan yang sesuai dengan deklarasi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.