Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kiamat PNS, Strategi PHK Massal?
21 Desember 2021 12:41 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhajir R Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Dengan adanya inovasi teknologi, sepuluh tahun lagi mungkin tidak ada PNS. Mungkin semuanya PPPK, karena tidak diperlukan lagi PNS ke depan” (Bima Haria Wibisana, Kepala Badan Kepegawaian Negara).
ADVERTISEMENT
Istilah “Kiamat PNS”, tercipta dari pernyataan itu. Berawal dari ucapan Presiden Jokowi tahun 2019 yang lalu untuk menggantikan pekerjaan PNS dengan robot. Nampaknya seperti mendewakan kecanggihan teknologi dan mengkerdilkan peran manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Lalu dimodifikasi sehingga terdengar horor dan sangat menakutkan bagi PNS.
Sebagai manusia, PNS tidak akan pernah tergantikan. Yang ada adalah pergeseran pekerjaan PNS menjadi pekerjaan yang tidak diinginkan. Tantangan PNS yang sesungguhnya di era digital adalah perubahan bidang kerja yang tidak linier. Di samping sifat birokrasinya yang kaku dan diatur oleh peraturan yang berbelit-belit juga karena respons sektor publik cenderung lambat dalam menghadapi banjirnya teknologi canggih.
Akibat pekerjaan yang tidak linier itu, PNS akan bergeser pekerjaannya menjadi beberapa misalnya sebagai pengendali aplikasi, sebagai user dan advisor untuk mengawal proses, dan sebagai analis data di setiap instansi. Dampak dari pergeseran ini paling banyak dirasakan oleh pekerjaan yang sifatnya administratif.
ADVERTISEMENT
Kiamat PNS adalah taktik halus mem-PHK PNS. Maklum, untuk memecat PNS tidaklah mudah. Satu-satunya jalan memecat PNS hanya bisa dilakukan jika PNS itu melanggar aturan seperti korupsi dan tindak pidana lainnya. Bahkan mencoba merampingkan struktur PNS secara terang-terangan saja pernah beberapa kali gagal.
Dimulai dari Menpan E.E. Mangindaan yang pernah melakukan moratorium PNS selama 2011 dan 2012. Kemudian Menpan Yuddy Chrisnandi tahun 2014 yang pernah mewacanakan memangkas jumlah PNS. Semuanya blunder akibat resistensi dari PNS. Sebagai alternatif moratorium pun kembali dipilih sehingga tidak ada penerimaan CPNS selama 5 tahun berikutnya.
Menpan Tjahjo Kumolo lebih keras lagi. Tahun 2020 yang lalu Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2017 tentang manajemen PNS sebagai aturan turunan Undang-Undang No.5 Tahun 2014 akhirnya direvisi menjadi PP Nomor 17 tahun 2020. Dalam beleid baru itu salah satu klausul ditambahkan pasal pemecatan PNS akibat perampingan organisasi.
ADVERTISEMENT
Sepertinya ada maksud terselubung di balik sekadar melempar isu robotisasi PNS. Padahal penerimaan CPNS dari tahun ke tahun selalu saja membludak. Tercatat jumlah pelamar rata-rata 3,1 juta orang per tahun sejak tahun 2018. Ini membuktikan CPNS masih tetap menjadi favorit para pencari kerja dibanding PPPK.
Pemerintah akhirnya mengerem derasnya pelamar PNS. Merekrut besar-besaran PPPK mulai tahun 2021 kemudian memutuskan tidak merekrut PNS lagi mulai tahun 2022. Tujuannya ingin memperbanyak PPPK. PNS akan tetap dipertahankan tetapi dalam jumlah yang kecil dan stabil.
Berdasarkan data Kemenpan RB, formasi PPPK terisi termasuk guru dan nonguru ada 975 ribu lebih tahun 2021. Dibanding CPNS pada tahun tersebut sebanyak 3,03 juta orang sangatlah kecil, hanya berkisar 2,5% dari jumlah yang melamar CPNS 2021. Mengganti PNS dengan PPPK, apa yang terjadi? PPPK ternyata kurang peminatnya dan banyak masalah. Kenapa?
ADVERTISEMENT
Tenaga kerja milenial yang banyak seperti di era digital ini mana mau mereka jadi PPPK yang dikontrak putus sambung tiap tahun dan diberi angan-angan jaminan hari tua yang tidak pasti. Honorer saja enggan apalagi fresh graduate. Kalaupun ada, paling hanya honorer siluman atau yang usianya mendekati setengah abad ke atas karena telah lama mengabdi.
Tahun 2019 lalu ada 51 ribuan PPPK lulus. Bayangkan begitu mereka lulus saat itu tidak ada kejelasan NIP sehingga belum bekerja. Ada yang sudah lama menunggu tapi malah keburu dijemput ajal. Ada lagi yang saking lama menunggu SK, begitu terima, eh malah pensiun. Kalaupun direkrut PPPK yang lemot dan loyo itu apakah pemerintah bisa menjamin kalau semua sudah jadi PPPK tanpa PNS, birokrasi kita akan smart?
ADVERTISEMENT
Belum lagi pelaksanaan ujian CASN di tahun 2021 juga bermasalah. Peserta di beberapa daerah berhasil membobol sistem CAT. Lebih dari 200 peserta lulus dengan nilai sempurna yang tesnya dikerjakan oleh joki dari luar lokasi. Walaupun sempat didiskualifikasi, tapi tetap saja mencoreng wajah birokrasi kita.
Orang akan berpikir, jangan-jangan jumlah CPNS yang sudah lulus tahun-tahun sebelumnya ternyata hasil kecurangan juga yang baru ditemukan sekarang. Beritanya pun sempat heboh dan didesak DPR untuk seleksi ulang dari awal. Coba bayangkan, seleksi berbasis teknologi saja masih bisa dicurangi. Lalu mau bikin robot?
Di lain pihak pelamar PPPK guru tahap pertama juga merana. Sampai hari ini belum jelas kapan lanjut tahapan pemberkasannya. Sistem ujian 3 tahap itu datanya amburadul, padahal sudah dinyatakan diterima. Dengar-dengar ada peserta yang melompat tahapan ujian dan dinyatakan lulus lagi. Dibalik amburadulnya data itu, sekarang sudah lanjut lagi rekrutmen tahap kedua.
ADVERTISEMENT
Setelah itu pemerintah masih tetap berharap, agar mereka yang baru lulus kuliah untuk mendaftar PPPK tahun 2022 akibat jatah PNS dihilangkan. Mencoba penerapkan zero growth melalui rekrutmen penuh PPPK dengan tetap menggunakan sistem CAT yang dibarengi restrukturisasi PNS yang ada. Dari satu sisi menerima PPPK kurang dari jumlah yang pensiun. Sementara dari sisi lain membangunkan PNS dari tidurnya.
Pemerintah mengutak-atik jabatan dan posisi PNS yang sedang nyaman-nyamannya untuk di-nonjob-kan. Dengan cara menghapus jabatan struktural PNS eselon III, IV, dan V lalu menggantinya dengan jabatan fungsional yang sedang berproses saat ini.
Usaha pemerintah mengurangi PNS hasilnya tidak juga muluk-muluk amat. Berdasarkan pengumuman BKN bahwa sampai dengan 30 Juni tahun 2021, ada 4,08 juta PNS di seluruh Indonesia. Hanya berkurang 3,3 persen dibanding tahun 2019 yang berjumlah 4,16 juta orang. Hanya segitu ya hasil jerih payah mengurangi PNS?
ADVERTISEMENT
Atau mau mencoba merumahkan PNS? Mana berani pemerintah. Banyak pertimbangan yang salah satunya karena ada puluhan juta orang yang menjadi tanggungan setiap PNS. Kalaupun berani, ada begitu besar multiplier effect yang harus ditanggung. Takut dicemooh PNS juga dan bisa berujung demonstrasi masal yang berakibat lumpuhnya pelayanan publik.
Bukan hanya itu, dulu di akhir pemerintahan SBY sempat juga ada wacana terlontar dari anggota DPR yang sempat bocor kalau PNS akan dipensiun dini dengan pesangon hingga mencapai 1 milyar. Dan gagal karena APBN tidak mampu.
Lalu dilanjutkan oleh pemerintah Jokowi dengan mengubah sistem pensiun PNS dari sistem pay as you go menjadi fully funded. Skema pembayaran pensiun yang dulu dibayar seluruhnya oleh APBN, kini ditanggung patungan bersama PNS dengan alasan menyelamatkan anggaran negara. Tapi belum bisa diterapkan juga, APBN keburu disambar Covid-19.
ADVERTISEMENT
Tidak ada lagi cara lain untuk dicoba. Tidak perlulah harus dinyatakan langsung PHK karena takut meresahkan PNS. Emang bisa? Maka dipilihlah narasi yang mengkambinghitamkan era digital sebagai pembenaran memecat PNS.
Nah, dari sinilah gelagat ke arah pemecatan PNS sebenarnya sudah terbaca. Tidak bisa dengan cara yang kasar, maka harus dilakukan dengan strategi yang halus. Entah cara apa saja itu, karena semua perangkat hukum sudah siap tinggal eksekusi saja. Saat ini yang dipilkirkan bagaimana biar PNS nyaman dipecat tanpa sakit yang dirasakan.
Sehingga pada akhirnya nanti akan muncul kata-kata yang menyejukan hati. Eufemisme PNS akan mendampingi robot, gaji PNS tidak akan berkurang walaupun ada robot, pengadaan robot akan bertahap karena butuh waktu dan biaya besar, PNS tidak akan dihilangkan sama sekali, dan masih banyak lagi kata-kata lainnya.
ADVERTISEMENT
Bisa saja itu hanya hiburan atau bujukan agar jangan panik. Nanti kalau panik produktivitas kerja akan berkurang. Lalu ketika PHK massal nantinya berhasil, maka tertutuplah semua carut-marut dan ketidakmampuan pemerintah mengelola PNS.