Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Randu Alas dan Tradisi Nyadran di Makam Kyai Dono Murah
6 Mei 2025 11:08 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Emi Hardiyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di perbatasan Gancahan VI dan VII, Sleman, Yogyakarta, berdiri pohon randu alas yang menjulang tinggi dan tampak gagah seolah menjadi penjaga abadi Makam Suruh. Bukan sekadar pohon tua, randu alas ini menjadi saksi bisu perjalanan spiritual, budaya, dan sejarah masyarakat Dusun Gancahan. Ukurannya yang besar dan posturnya yang menjulang menghadirkan suasana magis yang sulit diabaikan. Namun lebih dari itu, keberadaan pohon ini erat kaitannya dengan kisah perjuangan dan sejarah tokoh penting: Kyai Dono Murah.

Budi (33) menyatakan bahwa "letak pohon randu alas yang tepat di tengah pemakaman memberi makna simbolik". Selain itu, di bawah rindangnya, bersemayam Kyai Eyang Wirodjombodono atau Kyai Dono Murah, putra dari Pangeran Puger (adik Amangkurat I) dari istri selir. Ia adalah salah satu dari empat abdi dalem setia Pangeran Mangkubumi (kelak dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono I), yang turut serta dalam perjuangan melawan dominasi Belanda dan membangun pondasi pemerintahan Yogyakarta. Makamnya menjadi tempat ziarah dan perenungan sejarah, mengingat peran besarnya dalam penyebaran ajaran Islam dan pergerakan rakyat Mataram pada abad ke-18.
Makam Suruh, tempat peristirahatan terakhir Kyai Dono Murah, mulai dibangun pada 9 Agustus 1956 atas prakarsa tokoh masyarakat lokal dan keturunan beliau. Setelah mengalami proses pemugaran, akhirnya diresmikan pada 27 Mei 2004. Dalam kompleks makam ini, tercermin penghormatan mendalam masyarakat terhadap jasa para leluhur. Batu nisan dengan inskripsi aksara Jawa menjadi penanda masa silam, menjadi pengingat generasi sekarang akan akar sejarah mereka.
ADVERTISEMENT
Nyadran Makam Suruh
Salah satu tradisi penting yang terus dilestarikan di Makam Suruh adalah upacara Nyadran. Tradisi ini bukan hanya bentuk penghormatan kepada arwah leluhur, tetapi juga menjadi manifestasi nilai-nilai sosial dan spiritual masyarakat Jawa. Nyadran biasanya dilaksanakan menjelang bulan Ramadan, sebagai momentum untuk menyucikan diri dan mempererat persaudaraan. Warga berkumpul membawa tumpeng, bunga, dan sajian lain untuk didoakan bersama. Tidak hanya menjadi ajang doa, Nyadran juga memperkuat kohesi sosial dan pewarisan nilai-nilai budaya antar generasi.
Dalam konteks sejarah, tradisi Nyadran yang dilakukan di Makam Kyai Dono Murah memiliki makna yang lebih mendalam. Selain sebagai ritual religi, ia juga menjadi simbol penghargaan terhadap semangat perjuangan dan kebijaksanaan sang kyai yang dikenal arif dan bijaksana dalam membimbing rakyat. Kyai Dono Murah dikenal tidak hanya sebagai ulama, tetapi juga tokoh spiritual dan penasihat politik di masa transisi Kesultanan Mataram menuju Kesultanan Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sekitar meyakini bahwa keberadaan pohon randu alas turut memperkuat aura kesakralan makam. Warna daunnya yang berubah mengikuti musim — gugur kecoklatan saat kemarau, dan lebat hijau kala hujan — menandakan keseimbangan alam yang dijaga. Meski mitos dan cerita mistis kadang muncul, warga kini lebih menekankan makna historis dan simboliknya. Banyak yang menganggap pohon ini sebagai pelindung makam, dan bukti peradaban yang harmonis dengan alam.
Cerita mistis tentang alat pemotong pohon yang selalu patah saat mencoba menumbangkannya menjadi bagian dari narasi lokal. Namun di balik kisah itu, muncul kesadaran baru bahwa pohon randu alas bukan sekadar pohon. Ia adalah penanda zaman, penanda tapak langkah para leluhur. Banyak warga menyatakan, pohon ini tak boleh ditebang karena merupakan bagian dari warisan sejarah yang harus dilestarikan.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif budaya, Makam Suruh dan randu alas menjadi sumber kekayaan kearifan lokal. Beberapa inisiatif telah dilakukan oleh komunitas pemuda dan tokoh adat untuk mendokumentasikan cerita-cerita lisan, mendata silsilah keturunan, serta menyusun kronik sejarah lokal. Ini menjadi bagian dari gerakan pelestarian budaya yang tidak hanya berhenti pada seremoni, tetapi juga berbasis riset dan edukasi.
Potensi Makam Kyai Dono Murah sebagai situs sejarah dan budaya mulai dilirik lebih luas. Beberapa akademisi dan peneliti budaya datang untuk menggali nilai-nilai historisnya. Pemerintah desa bersama masyarakat pun tengah mempertimbangkan pengajuan kawasan ini sebagai cagar budaya yang dilindungi. Dengan cara itu, harapannya warisan ini tidak punah, melainkan menjadi inspirasi dan pembelajaran bagi generasi berikutnya.
Pohon randu alas bukan lagi dianggap sekadar lambang mistis. Ia kini dilihat sebagai saksi sejarah, sebagai pengingat bahwa di bawah naungannya pernah berdiri tokoh besar yang mengabdikan hidupnya untuk rakyat dan agama. Dalam dahan dan daunnya, tersimpan jejak peradaban dan kebijaksanaan. Dalam diamnya, pohon ini seakan terus mengajarkan: bahwa sejarah bukan untuk ditakuti, melainkan dihormati dan diwarisi.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari ekosistem budaya yang hidup, Makam Suruh dan randu alas menyatukan dimensi spiritual, sosial, dan historis. Tradisi Nyadran menjadi pengikat, menyambungkan masa lalu dengan masa kini. Maka, siapa pun yang datang berziarah ke tempat ini tak hanya menyaksikan pohon tua dan makam leluhur, tapi juga turut merasakan denyut sejarah yang terus hidup di tengah masyarakat Gancahan.