Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tempat Pembuangan Akhir Dunia di Asia Tenggara
28 Juni 2021 10:26 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:42 WIB
Tulisan dari Emma Amelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Temuan 2.041 kontainer berisi sampah impor terkontaminasi bahan beracun dan berbahaya yang tersebar di beberapa pelabuhan besar Indonesia pada pertengahan tahun 2019 silam memantik pembicaraan tentang industri ekspor-impor limbah di dalam negeri (Trianita, 2020a). Kontaminan dalam sampah impor tersebut sengaja diselundupkan oleh pihak eksportir dengan sepengetahuan pihak importir. Tidak hanya kontaminan berupa bahan beracun dan berbahaya, dalam kontainer sampah impor tersebut juga terselip jenis sampah polutan yang tidak bernilai ekonomi atau tidak bisa didaur ulang.
ADVERTISEMENT
Kasus penyelundupan kontaminan dan polutan dalam sampah impor tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2019, Filipina mengonfrontasi langsung Kanada atas kiriman sampah polutan ilegal dengan mengembalikan kontainer-kontainer berisi sampah ke negara asalnya (CNN Indonesia, 2019). Langkah serupa juga hendak ditempuh oleh Malaysia atas kiriman ribuan ton sampah polutan yang diselundupkan untuk dihancurkan menggunakan metode yang tidak ramah lingkungan (Christiastuti, 2019). Indonesia mewacanakan pengembalian kontainer-kontainer sampah ke negara pengirim, tetapi hingga awal tahun 2020, investigasi Tempo menemukan bahwa banyak di antara kontainer-kontainer tersebut yang mangkrak di pelabuhan (Trianita, 2020b).
Berkebalikan dengan anggapan umum tentang sampah yang tidak berharga, industri sampah global bernilai miliaran dolar AS. Catatan United Nations Commodity Trade Database menunjukkan bahwa nilai ekspor sampah global menginjak angka 4,5 miliar dolar AS, sementara nilai impornya menyentuh angka 6,1 miliar dolar AS pada tahun 2017 (UN Comtrade, n.d.). Nilai sesungguhnya dari industri ekspor-impor sampah global diperkirakan jauh lebih besar karena terdapat banyak transaksi ilegal yang tidak tercatat oleh lembaga berwenang (Sembiring, 2019). Mulanya, Tiongkok adalah pemain terbesar dalam industri ini dengan mengimpor nyaris setengah dari total sampah yang diekspor di seluruh dunia. Akan tetapi, keadaan berubah ketika Tiongkok mengeluarkan kebijakan National Sword tentang larangan impor beberapa jenis limbah pada tahun 2017 yang mulai efektif berlaku pada bulan Januari 2018 (Sahajwalla, 2018). Alhasil, negara-negara Asia Tenggara menjadi destinasi baru bagi sampah-sampah yang semula diimpor oleh Tiongkok dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan beberapa negara Eropa (Uhm, 2021).
ADVERTISEMENT
Keterlibatan dalam industri sampah global, khususnya sebagai pihak importir, bukan tanpa konsekuensi. Tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan bahwa harga yang harus dibayar tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Alih-alih menjadi opsi pengelolaan limbah yang lebih ramah lingkungan, aktivitas ekspor-impor sampah justru turut berkontribusi dalam intensifikasi pencemaran dan pengrusakan lingkungan global.
Terlepas dari keberadaan kontaminan dan polutan, pemindahan sampah dari satu negara ke negara lain sekadar untuk didaur ulang meninggalkan jejak karbon yang tidak sedikit. Keberadaan kandungan kontaminan dan polutan memperparah derajat pencemaran dan pengrusakan lingkungan yang timbul akibat aktivitas ekspor-impor sampah.
Sampah yang tergolong kontaminan dan polutan tidak dapat didaur ulang sehingga sering kali berakhir dimusnahkan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti pembakaran (Trianita, 2020c). Selain dibakar, sampah-sampah polutan dan kontaminan sering kali dibuang begitu saja ke laut maupun sungai, juga dibiarkan tergeletak di sembarang tempat.
ADVERTISEMENT
Selain mencemari lingkungan, sampah-sampah ini juga membahayakan kesehatan manusia, baik itu yang bekerja mengelola limbah maupun tinggal di sekitar area pengelolaan limbah (Sembiring, 2019; Trianita 2020c).
Memo Mantan Presiden Bank Dunia, Lawrence Summers (dalam Nixon, 2011), semakin menegaskan natur ketidakberkelanjutan dari industri ekspor-impor sampah. Dalam memo tersebut, Summers menyebutkan bahwa membuang limbah ke negara-negara berkembang yang berpenghasilan rendah menguntungkan dari segi ekonomi, serta mengusulkan pertimbangan kadar polusi di negara berkembang yang relatif rendah sebagai justifikasi pembuangan limbah yang dihasilkan oleh negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Summers mengabaikan aspek lingkungan dan manusia dalam hitung-hitungan untung-ruginya.
Selama ini, pergerakan limbah lintas batas negara diatur dalam Konvensi Basel 1989 dan rangkaian amandemennya; yang terbaru dikeluarkan pada tahun 2019 dan secara khusus menyoal perihal limbah plastik. Kesepuluh negara anggota ASEAN telah menandatangani Konvensi Basel 1989, tetapi hanya tiga negara—Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia—yang menandatangani amandemen terbaru. Di samping itu, masing-masing negara juga telah mengeluarkan kebijakan terkait aktivitas ekspor-impor sampah. Kendati demikian, perangkat dan upaya yang sudah ada belumlah cukup untuk menghentikan praktik ekspor-impor sampah yang culas di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, upaya terpadu di tingkat kawasan menjadi penting untuk membendung suplai sampah dari negara-negara maju agar Asia Tenggara tidak menjadi tempat pembuangan akhir dunia.
ADVERTISEMENT
Referensi
Christiastuti, N. (28 Mei 2019). Malaysia Kembalikan Kiriman 3 Ribu Ton Sampah Plastik ke 14 Negara. Detik. Diakses pada 25 Juni 2021, melalui https://news.detik.com/internasional/d-4568494/malaysia-kembalikan-kiriman-3-ribu-ton-sampah-plastik-ke-14-negara
Nixon, R. (2011). Slow Violence and the Environmentalism of the Poor. Cambridge, Massachusetts; London, England: Harvard University Press.
Sahajwalla, V. (2018). Big challenges, micro solutions: Closing the loop in Australia’s waste crisis. AQ: Australian Quarterly, 89(4), 13-18. Diakses pada 25 Juni 2021, melalui https://www.jstor.org/stable/26529678
Sembiring, M. (2019). (Rep.). S. Rajaratnam School of International Studies. Diakses pada 25 Juni 2021, melalui http://www.jstor.org/stable/resrep26804
Trianita, L. (25 April 2020a). Skandal Impor Limbah dari Negara Maju ke Indonesia. Tempo. Diakses pada 25 Juni 2021, melalui https://majalah.tempo.co/read/hukum/160303/skandal-impor-limbah-dari-negara-maju-ke-indonesia
Trianita, L. (25 April 2020b). Wawancara Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ihwal Impor Limbah ke Indonesia. Tempo. Diakses pada 25 Juni 2021, melalui https://majalah.tempo.co/read/hukum/160314/wawancara-direktur-jenderal-penegakan-hukum-kementerian-lingkungan-hidup-dan-kehutanan-ihwal-impor-limbah-ke-indonesia
ADVERTISEMENT
Trianita, L. (25 April 2020c). Bagaimana Sampah Impor di Tangerang Beralih ke Tukang Loak. Tempo. Diakses pada 25 Juni 2021, melalui https://majalah.tempo.co/read/hukum/160292/bagaimana-sampah-impor-di-tangerang-beralih-ke-tukang-loak
Uhm, Y. (2021). Plastic Waste Trade in Southeast Asia After China’s Import Ban: Implications of the New Basel Convention Amendment and Recommendations for the Future. California Western Law Review, 57(1). Diakses pada 25 Juni 2021, melalui https://www.semanticscholar.org/paper/Plastic-Waste-Trade-in-Southeast-Asia-After-China%E2%80%99s-Uhm/ad10a0ea187bc14aea85e3d11b9253c8df3df8af
UN Comtrade. (n.d.). UN Commodity Trade Database, HS code. No. 391510, 391520, 391530, 391590. Diakses pada 25 Juni 2021, melalui https://comtrade.un.org/data/