Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Absennya Piagam Madinah dalam Diskusi Fikih Kenegaraan Kita
15 November 2020 12:06 WIB
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bulan Desember sebentar lagi akan datang. Seakan-akan bisa dipastikan tema yang akan terangkat kemudian, yaitu hukum mengucapkan selamat natal hingga hukum menjaga gereja saat perayaan di hari yang sama.
ADVERTISEMENT
Mengingat bulan bulan yang akan datang ini, saya teringat dengan kisah pada akhir Desember tahun lalu, seperti biasa, Ahmad, teman saya melakukan tugas yang rutin pada setiap akhir tahun bersama teman-temannya, mengamankan gereja. Tidak ada yang istimewa dengan aktivitas penjagaan mereka pada setiap tahun itu. Namun, saat itu, ada sedikit perbedaan lantaran ada seseorang yang memprotes tindakan mereka yang dia nilai melanggar prinsip etika Islam.
Protes ini dilayangkan dalam bentuk pertanyaan yang mengusik Ahmad yang sedang khidmat menjaga gereja, “Apa dasarmu menjaga gereja? Mana dalilnya? Mana?” kata seseorang tersebut dengan mata berapi-api.
Tidak banyak yang bisa dijawab oleh Ahmad tersebut melainkan sebuah kata, “kemanusiaan” dalam hati, teman saya sebenarnya masih mempunyai keragu-raguan. Namun, dawuh kiai lah yang sangat dia pegang sepenuhnya. Di balik itu semua Ahmad tetap saja menyimpan sebuah pertanyaan yang masih janggal dalam dadanya, “Apa sebenarnya dasar saya menjaga gereja?”
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, sang teman saya ini pun datang kepada seorang dosen yang mengajar di sebuah PTKIN. Sang dosen pun memberikan saran dengan penuh keyakinan, “Kalau dia bertanya lagi, sampeyan jawab saja, Piagam Madinah.”
Jujur, cerita ini membuat saya heran, sekaligus menggelisahkan saya. Sebuah pertanyaan mendasar pun muncul di benak saya, “Mengapa Sang Dosen tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan logika usul fikih yang selama ini dipakai banyak pesantren untuk mengusung narasi nasionalisme? Apa benar “sosok” Piagam Madinah bisa dijadikan landasan sikap nasionalisme?”
Berbagai pertanyaan tersebut memberondong otak saya, hingga akhirnya memaksa saya untuk membuka banyak literasi tentang perjanjian yang dibuat oleh Nabi Muhammad pasca hijrah ke Yatsrib (nama kota Madinah sebelumnya) itu.
ADVERTISEMENT
Hingga saya menemukan fakta bahwa pembahasan tentang Piagam Madinah masih asing di telinga para santri. Saya pun ketika nyantri selama empat tahun di Nganjuk, dan belajar tentang sejarah Islam, narasi yang muncul maksimal hanyalah Nabi Muhammad sukses menyatukan kaum Muhajirin dan Ansar pasca hijrah ke Yatsrib. Hanya itulah yang saya pernah dengar, dan mengenai apa dan bagaimana Nabi menyatukan kedua kubu tersebut, dan bagaimana pula isi Piagam Madinah, hal ini masih menjadi misteri saat itu.
Padahal pembahasan mengenai Piagam Madinah sudah banyak dikenal di kalangan perguruan tinggi Islam. Sudah tidak sedikit para dosen peneliti yang mencoba mengungkap teks perjanjian ini. Di Indonesia sendiri misalnya, Nurkholis Madjid menjelaskannya dalam bukunya Aspirasi Umat Islam, Abdul Aziz dengan Chiefdom Madinah, Aksin Wijaya dengan Hidup Beragama dalam Sorotan UUD dan Piagam Madinah, hingga Ziyyulhaq dengan Kitab Muhammad An-Nabi.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, pembahasan tentang Piagam Madinah sebagai visi kenegaraan sudah begitu ramai dibahas di dunia perguruan tinggi. Namun, sekali lagi, pesantren masih absen dalam membahasnya, diskusi semisal bahtsul masail juga tidak pernah meletakkan Piagam Madinah sebagai referensi. Dan, dalam hal kenegaraan lebih cenderung bersandar kepada al-Ahkam al-Sultaniyyah baik karya al-Maududi atau pun al-Mawardi, ataupun teori usul fikih. Sayangnya, dua kitab tentang ketatanegaraan yang saya sebut itu sama sekali tidak menyebut Piagam Madinah.
Sebagai sebuah naskah perjanjian yang termaktub dalam kitab-kitab muktabar, semestinya kitab ini mendapat sorotan di kalangan Pesantren. Sebut saja Sirah Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Hisyam, Tarikh Tabari, al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir, Sunan al-Baihaqi ke semua kitab tersebut mencantumkan dengan jelas Piagam Madinah lengkap dengan 50-an pasal yang mengikutinya. Mengapa tidak pula ada kalangan pesantren yang menengoknya.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, ketika saya mendapatkan undangan diskusi bertajuk Islam Nusantara, saya dengan sengaja mempresentasikan pedoman bernegara dengan Piagam Madinah. Saya merasa betul kalimat pembukaan di dalamnya yaitu “kami adalah Ummatan Wahidah (ummat yang satu) dari sekian banyak manusia yang ada” semangatnya begitu terasa layaknya proklamasi Indonesia “kami Bangsa Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya ...”
Hal ini didukung dengan kalimat selanjutnya bahwasanya perjanjian itu ditulis atas kesepakatan orang orang Mukmin, Yahudi, Nasrani, hingga kaum pagan, mereka semua bersepakat untuk saling bahu-membahu mengikuti kesepakatan yang tertera dalam perjanjian tersebut serta siap berjuang bersama-sama mempertahankan Ummatan Wahidah. Bukankah ini sama dengan sebuah kesepakatan kita ber-Indonesia. Apalagi kalau bukan berpancasila?
Kemudian, dalam perjanjian tersebut, memuat jaminan keberlangsungan adat istiadat (rib’ah). Maksudnya, negara Ummatan Wahidah menjamin setiap bani yang ikut menyepakati Piagam Madinah, hal ini jelas terdapat di pasal dua hingga pasal kesepuluh piagam tersebut. Begitu gamblangnya pasal ini menyebutkan pasal jaminan memeluk rib’ah (dan agama masuk ke dalam kategorinya) senafas dengan Undang-undang Dasar yang juga telah kita sepakati bersama.
ADVERTISEMENT
Dari sinilah seorang teman saya tadi mampu menghilangkan sama sekali keraguannya. Semangat menjaga rib’ah yang diusung oleh Nabi Muhammad juga dia usung bersama-sama layaknya menjaga sebuah negara (Ummah Wahidah). Dia pulang dari rumah Sang Dosen tadi dengan penuh rasa kepuasan, sebuah jawaban yang dinanti telah dia dapatkan.
Namun, sebuah angan-angan lagi-lagi tetap mengusik saya, Piagam Madinah itu tetap saja hanya sebuah artefak, fosil dari masa lalu, dia tetap bersembunyi, menanti kehadiran sertiap orang yang mau membacanya, menelaahnya, menjaga semangat visi kemanusiaannya. Kemudian, saya hanya ingin mengungkapkan, “Kenapa kita enggan segera menjemputnya?”