Agar Kita Tidak Emosi Mendengar “Fatwa” Coach Hafidin

Ahmad Natsir
Staf pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Member Waskita Jawi, Institut Kajian Agama dan Sosial Ponorogo, Alumni Pondok Modern Al-Islam Nganjuk, UIN Surabaya dan IAI Lirboyo.
Konten dari Pengguna
19 November 2021 15:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: Freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Angka tiga ratus sekian chat tertampang di sebuah grup Telegram saya. Tanpa scrolling terlebih dahulu saya mengetik sebuah pesan. “Sudah menyimak menyimak Youtube Narasi Newsroom belum. tentang kelas poligami berbayar?”
ADVERTISEMENT
“Sampean terlambat,” jawab salah seorang di antara mereka.
Namun, meski terlambat, pertanyaan saya tetap menjadikan suasana grup menghangat. Begitu juga saat saya melihat komentar-komentar di laman Youtube-nya. Tidak sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali yang merasa tidak ter-triggered dengan gaya bicara dan substansi Coach Hafidin yang beristri empat beranak dua puluh lima.
Saya tidak akan mengulas fatwa-fatwa “All Hail” Coach itu. Saya takut itu akan menyakiti hati banyak orang. Di sini saya akan memberikan sekedar tips agar kita tidak merasa tersakiti dan juga biasa saja mendengar fatwa dengan harga jutaan itu. Ingat, kita sudah diberikan “peringatan” dari Coach Hafidin, bahwa semakin dia viral dia akan semakin senang.
Sebagai disclaimer di sini saya tidak akan membela Coach Hafidin. Tolong, saya hanya ingin hidup kita ini agar tidak kagetan melihat orang-orang “aneh” di sekitar kita. Yang, belakangan orang-orang kontroversial baik dari jalur kanan maupun kiri semakin banyak. Dan kita yang berada di tengah selalu menjadi korban terombang-ambing tanpa pegangan.
ADVERTISEMENT
Ok. Saya mulai. Pertama agar kita tidak kaget bahkan emosi mendengar fatwa nyleneh tentang poligami berikut ini yang harus kita ketahui.
#1 Ajaran Islam memang membolehkan poligami
Ini sebenarnya sudah diketahui oleh semua orang, bahwa ajaran Islam membolehkan poligami. Titik. Tidak main-main, ketentuan ini jelas ditetapkan dalam surat al-Nisa’ (yang berarti perempuan) di ayat ketiga. Artinya, ketika kita membaca salah satu surat madaniyyah itu, kita akan langsung dihadapkan dengan fakta bahwa poligami adalah suatu hal yang legal bahkan ditetapkan dalam Al-Quran.
Data sejarah menyebut bahwa Abu Bakar mempunyai empat istri, Umar bin Khattab sempat menikahi tujuh istri, Utsman bin Affan menikahi tiga istri, dan Ali bin Abi Thalib tercatat pernah menikahi sembilan istri. Tentu di antara mereka ada yang diceraikan karena menaati peraturan maksimal empat orang istri, hingga karena meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
“Itu kan para sahabat Nabi. Pula, poligami mempunyai syarat harus adil dulu. Ini kan tercantum di ayat selanjutnya.”
Ya, memang demikian. Namun apabila pelaku sudah mengaku adil, kita mau ngapain? Memaksakan diri dia tidak bisa adil, begitu? Bukankah kita juga kesulitan menilai pelaku poligami itu sudah adil atau bukan؟ Yang bisa kita lakukan adalah mengukur diri kita sendiri. Misalnya, “Sudahkah saya mampu memberikan rasa keadilan untuk sekitar saya?” Hasilnya kita tidak akan mampu berbuat adil, kecuali Coach Hafidin ini. Makanya, jangan heran, ya.
#2 Masa Islam awal bahkan memperbolehkan menggauli budak perempuan tanpa batas maksimal
Sebenarnya, ini agak riskan dibahas di sini. Namun, fakta sejarah memang demikian. Umat Islam di masa awal memang tidak dilarang untuk menggauli budak perempuan bahkan tanpa batas jumlah maksimal. Ini juga disebutkan masih di surat al-Nisa’ ayat ketiga yang berbunyi, “Atau hamba sahaya yang kamu miliki.” Kemudian disebut lagi dalam surat Al-Mukminun ayat keenam, dan surat al-Ma’arij ayat 30.
ADVERTISEMENT
Maka, boleh saya katakan, Pria muslim di awal masa kemunculannya boleh menikah dengan beberapa wanita diberi batas maksimal empat, kemudian masih boleh menggauli budak perempuan yang mereka punya. Hal ini juga terekam dalam sejarah juga, beberapa sahabat Nabi mempunyai anak yang lahir dari rahim seorang budak perempuan. Ibnu Katsir, dalam Bidayah wa Nihayah-nya mencatat seorang sahabat besar mempunyai 13 anak dari beberapa budak wanita yang tidak teridentifikasi siapa namanya.
Nah, dengan mengetahui fakta-fakta tersebut kita tidak lagi akan kaget dengan apa yang diperbuat oleh Coach Hafidin. Apa yang dilakukan Sang Coach memang pernah ada pada masa lampau hampir satu setengah milenium silam. Lha bagaimana lagi, sesakit apapun memang begitulah fakta yang ada.
ADVERTISEMENT
Barangkali, kita bisa menganggap Coach Hafidin adalah wujud fosil hukum yang tetap lestari dan hidup. Blio adalah sejarah masa lalu yang kini kita anggap menyakitkan. Pertanyaan selanjutnya yang begitu mengusik saya hingga saat ini adalah, “Masihkah kita memakai produk hukum abad ketujuh untuk mendisiplinkan hukum sekarang dan masa depan?”