Konten dari Pengguna

Fikih: Haruskah Dimulai dengan Bersuci?

Ahmad Natsir
Staf pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Member Waskita Jawi, Institut Kajian Agama dan Sosial Ponorogo, Alumni Pondok Modern Al-Islam Nganjuk, UIN Surabaya dan IAI Lirboyo.
18 Maret 2021 13:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pria melakukan wudhu sebelum shalat di sebuah sungai. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pria melakukan wudhu sebelum shalat di sebuah sungai. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Rabu siang hari kemarin adalah jadwal presentasi pertama untuk mata kuliah Pembelajaran Fikih, mata kuliah yang sudah biasa dikurikulumkan untuk mahasiswa perguruan tinggi keislaman. Namun, pertemuan harus ditunda, lantaran kesalahan teknis yang terjadi. Urutan presentasi nomor dua puluh sekian tiba-tiba menjadi nomor urut pertama dalam presentasi.
ADVERTISEMENT
Tak ayal, karena berhubungan dengan kelas lain dan akan menjadi materi yang akan diujikan di UTS yang akan datang, pertemuan harus diadakan ulang minggu depan dengan materi bersuci (thaharah).
Sepulang dari rumah dan merebahkan badan, saya, kok, kepikiran, mengapa fikih harus dimulai dengan bersuci? bukankah materi tadi berupa hukum fikih siyasah (politik) juga bisa dijadikan nomor urut nomor satu? Bukanlah bermuamalah dengan orang lain juga menjadi kebutuhan mutlak umat Islam pada zaman sekarang?
Pikiran saya mendadak ke mana-mana, sepanjang yang saya temukan dan yang saya dapatkan di pesantren, buku-buku hadis kemudian disusul dengan buku-buku fikih selalu dimulai dengan bab bersuci.
Sementara, bab akhlak malah berada di bagian bab buku terutama buku-buku hadis Nabi. Ini sungguh menggelisahkan saya. Meskipun saya sudah mendapatkan jawabannya, berupa bersuci memang menjadi syarat sebuah ibadah, namun, itu tidak cukup memuaskan untuk menjawab kegelisahan saya.
ADVERTISEMENT
Pun, umat Islam saat ini sedang dihadapkan dengan problem sosial yang kian tanpa batas. Sekarang, misalnya, komunikasi antar umat beragama demi mencapai kedamaian bersama lebih diutamakan daripada hanya problematika ibadah. Di mana problematika ibadah ialah problem pribadi yang sangat privat.
Kemudian, saya ingat, di tahun 2017 saat seminar proposal penelitian, ada sebuah proposal yang diajukan oleh teman saya, Ahmad Lutfi berupa munculnya ketegangan antara umat Katolik, Hindu, dan Umat Islam di sebuah wilayah di pelosok sebuah kabupaten. Ketegangan itu bersumber kepada munculnya perbaikan manajemen lembaga peribadatan salah satu agama. Saya dikejutkan dengan komentar reviewer kami yang notabene adalah seorang guru besar sosiologi di perguruan tinggi Islam kota.
Beliau berkomentar, “Saya yakin, ketegangan itu dimulai saat mereka sudah mengenal salat,” kata beliau tanpa menampakkan keraguan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Saat itu, dari kami para presentator proposal saat itu, sama sekali tidak ada yang menyanggah ataupun memberikan kritik atas pernyataan itu. Kami membenarkan dalam hati. Pun, dalam konteks lokus penelitian yang ada saat itu munculnya ketegangan memang berawal dari penduduk agama tertentu yang mulai memperbaiki tata cara ibadahnya.
Dalam pandangan saya, (sekali lagi saya tegaskan) komentar tersebut sungguh sangat tajam, dan saya sangat yakin tanpa keraguan ini berawal dari pembelajaran fikih yang selalu dimulai dengan hal ibadah terlebih dahulu. Salat tentunya bisa dilaksanakan setelah memenuhi salah satu syaratnya yaitu suci. Inilah mengapa bab bersuci diletakkan sebelum bab salat.
Padahal, kalau jika ditelaah ulang, pendahuluan bab bersuci merupakan hasil ijtihad para ulama. Tidak ada teks baik dari Al-quran maupun hadis yang secara lugas memerintah umatnya untuk mendahulukan bersuci di atas segalanya.
ADVERTISEMENT
Di antara teks Al-quran yang saya temukan ialah kewajiban seorang mukmin setelah menyatakan imannya ialah beramal salih (berbuat kebaikan). Hal ini dapat kita simak di surat Al-Baqarah ayat 25, 62, 82, 288; Ali Imran ayat 57, An-Nisa’ 122 dan masih banyak ayat yang lainnya yang menunjukkan bahwasanya kewajiban manusia setelah beriman adalah beramal saleh. Bila saya boleh menyebutkan jumlahnya mencapai 50 ayat.
Saya sendiri juga masih ingat betul kepada surat Al-’Asr yang sering dilantunkan sebelum pulang dari sekolah. Yang menyatakan bahwa manusia seluruhnya akan merugi, hanya orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati kepada kebenaran dan kesabaran yang merasakan keberuntungan.
Sementara ayat yang menghubungkan antara orang beriman dengan salat hanya terdapat di lima tempat yaitu Al-Baqarah ayat 103,Al-Nisa’ 103, Al-Maidah ayat 6, 55, Ibrahim 31. Tentu, jumlah ayat yang menggandengkan orang beriman dengan amal saleh jauh lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Jadi, mengapa misalnya, seorang yang baru masuk Islam, selepas syahadat, langsung dihadapkan kepada kewajiban salat, yang kemudian mensyaratkan baginya untuk mengetahui tentang bersuci, sementara pengajaran tentang berbuat baik sesama manusia, merendahkan hati, serta memanusiakan manusia justru tidak pernah menjadi topik utama.
Bukankah, (sekali lagi) manusia tidak akan rugi jika dia beriman dan beramal saleh?