Konten dari Pengguna

Ketika Shiratal Mustaqim Bukan Lagi Rambut Belah Tujuh

Ahmad Natsir
Staf pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Member Waskita Jawi, Institut Kajian Agama dan Sosial Ponorogo, Alumni Pondok Modern Al-Islam Nganjuk, UIN Surabaya dan IAI Lirboyo.
10 Juni 2021 13:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jalan yang lurus. Sumber: freepik
zoom-in-whitePerbesar
Jalan yang lurus. Sumber: freepik
ADVERTISEMENT
Kemarin malam saya melamun, entah mengapa tiba-tiba saya teringat dengan kehidupan masa lalu saat di pesantren. Dan entah mengapa, di antara file kenangan masa lalu yang begitu banyak dari sana. Sebuah ingatan tentang pembelajaran seni tilawah Alquran menghampiri saya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, almarhum Ustaz Nafi' mengajarkan kami lantunan surat Al-Shaffat ayat 117-118 dengan nada bayati jawab yang masih begitu saya ingat.
Ayat itu berbunyi: "Dan kami telah memberikan kepada mereka berdua (Musa dan Harun) sebuah kitab penjelas dan kami telah tunjukkan kepada mereka shiratal mustaqim." Lafadz shiratal mustaqim inilah yang membuat angan-angan saya melambung. Kemudian bertanya, “Bukankah ini adalah shiratal mustaqim yang kami lantunkan dalam setiap salat sebanyak minimal tujuh belas kali?”
Pertanyaan itu kemudian menggeliat di benak saya. Bahkan setelah saya amati kata perkata pun mirip. Di surat Al-Fatihah tertulis ihdina al-shirat al-mustaqim (tunjukkanlah kami ke shiratal mustaqim) sedangkan di surat al-Shaffat tertulis wa hadayna huma al-shirat al-mustaqim (dan kami telah beri petunjuk kepada keduanya shirat al-mustaqim).
ADVERTISEMENT
Jadi, apa yang selama ini kita dambakan dan harapkan yaitu jalan yang lurus, Nabi Musa dan Harun sudah lebih dahulu memilikinya. Angan-angan saya berkecamuk.
Rasa penasaran akhirnya membuat saya mengulik kembali kata itu dalam Al-quran. Terlebih dahulu, saya kulik pendapat para ulama klasik, dan seketika mata saya menuju tafsir karya Tabari. Tabari memaparkan beberapa penafsiran sahabat, Ibnu Abbas mengartikannya sebagai jalan Sang Pemberi Petunjuk, sebagian ulama mengatakan itu berarti jalan menuju surga. Kemudian Tabari mencantumkan sebuah definisi dari Abu Ja’far menurutnya shiratal mustaqim bermakna jalan yang jelas yang tidak bengkok.
Merasa tidak puas, saya membuka tafsir karya Ibnu Katsir, beliau mengutip beberapa pendapat ulama sebelumnya di antaranya; Ali bin Abi Talib mengartikannya sebagai kitab Allah (Alquran), namun ada riwayat dari Ibnu Abbas bahwa kata itu bermakna jalan Zat yang Maha Pemberi Petunjuk yaitu agama Allah yang tidak bengkok. Akhir dari penjelasan Ibn Katsir shiratal mustaqim adalah Islam.
ADVERTISEMENT
Terakhir, saya mengintip Tafsir Al-Qurani li al-Quran (Tafsir Qur’ani dengan Alquran) karya Abdul Karim Khatib saya tertarik dengan judul tafsirnya: menafsirkan Alquran dengan Alquran. Yang saya temukan kemudian ialah kata shiratal mustaqim diartikan dengan jalan yang lurus di atas kebenaran dan keadilan menuju kebaikan dan kebahagiaan, orang yang berjalan di atasnya tidak akan tersesat, dan kaki yang berjalan di atasnya tidak akan terpeleset. Saya hanya bertanya dalam hati di mana tafsir dengan Alqurannya ini?
Saya menyerah, belum jelasnya makna shiratal mustaqim ini membuat saya menutup kitab-kitab tafsir dan membuka Alquran kembali. Mungkinkah Allah sama sekali tidak memberikan petunjuk?
Kemudian penjelajahan saya mulai menemukan titik terang. Kata shirat disebutkan dalam Al-quran sebanyak 45 kali dalam berbagai format. Sementara, kata shirat diikuti dengan kata mustaqim diulang-ulang sebanyak 34 kali. Jumlah yang menurut saya tidak sedikit.
ADVERTISEMENT
Sebagian menyebut bahwa menyembah Allah adalah shiratal mustaqim seperti dalam surat al-Zukhruf: 63; Yasin: 61; Maryam: 36; dan Ali ‘Imran: 51. Merasa belum puas, lagi-lagi saya mencari ayat lain dalam Al-quran yang menyebut lebih detail mengenai shiratal mustaqim. Sampai kemudian saya menemukan surat al-An’am ayat 151-153. Dan ini mengagetkan saya.
Yang membuat saya kaget adalah shiratal mustaqim yang disebut dalam ayat tersebut dengan kata wa anna hadza shirati mustaqima (dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus) mempunyai deskripsi yang sangat tidak asing di telinga banyak orang.
Sepuluh perintah Tuhan, dasa titah, atau ten commandments. Detak jantung saya berdebar kencang saat saya membaca ulang surat tersebut. Dengan detail Allah memerinci jalannya yang lurus sejumlah sepuluh buah, yaitu: (1) tidak menyekutukan Tuhan; (2) berbuat baik kepada orang tua; (3) tidak membunuh anak karena takut miskin; (4) tidak mendekati perbuatan yang keji; (5) tidak membunuh manusia kecuali dalam keadaan tertentu; (6) tidak memakan harta anak yatim secara zalim; (7) memenuhi timbangan; (8) berbuat adil; (9) memenuhi janji; (10) menjaga persatuan.
ADVERTISEMENT
Saya menutup Al-quran dan merasa puas dengan penjelasan yang diberikan Allah sendiri dalam kitab-Nya. Itulah jalan yang telah diberikan kepada Musa dan Harun dalam ayat yang lain. Saya lega pendapat saya ini ternyata mempunyai pendukungnya, Muhammad Syahrur dan dipantik oleh kolega di komunitas Waskita Jawi saya. Saya pun menjadi semakin mantap.
Kemudian, sebuah pertanyaan menggelitik hati saya, mengapa jarang ada mufassir yang mengartikan shiratal mustaqim dengan sepuluh perintah Tuhan? Mungkinkah ada situasi politik yang menutup tafsir Alquran dengan Alquran. Padahal, ketika Al-quran sudah menjelaskan dirinya sendiri maka kita tidak perlu lagi repot dengan penjelasan lain.
Dan, sekali lagi, jika Allah sendiri sudah menjelaskan bahwa shiratal mustaqim ialah sepuluh perintah Tuhan, masihkah kita mengartikannya dengan rambut belah tujuh?
ADVERTISEMENT