Konten dari Pengguna

Mengajar Moderasi Beragama dengan Dogma, Mungkinkah?

Ahmad Natsir
Staf pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Member Waskita Jawi, Institut Kajian Agama dan Sosial Ponorogo, Alumni Pondok Modern Al-Islam Nganjuk, UIN Surabaya dan IAI Lirboyo.
9 Oktober 2020 15:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Natsir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
u
zoom-in-whitePerbesar
u
ampanye visi moderasi Islam masih begitu kentara. Hal ini sangat jelas terlihat saat Kementerian Agama menyaring para peserta CPNS tahun 2019 di mana seleksi kompetensi bidang (SKB) baru selesai kemarin hari (3 Oktober 2020). Sementara, tema filterisasi peserta masih sama dengan tes periode yang lalu: mengembangkan visi moderasi dalam beragama.
ADVERTISEMENT
Akhirnya benar, kisi-kisi soal yang muncul pun berkutat antara tafsir Al-Maidah ayat 44, hingga implementasi sikap moderasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: Siapkah Saudara memberikan kelapangan hati membiarkan pemeluk agama lain membangun rumah ibadah di daerah Saudara? Atau siapkah Saudara menghadiri jamuan makan dari dari tetangga yang tidak seagama dengan Saudara?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dipastikan bukan berangkat dari ruang kosong, melainkan visi moderasi masih dalam tahap progres yang belum selesai, kalau tidak ingin mengatakan tidak pernah selesai.
Namun, sudahkah implementasi pendidikan yang bernuansa moderasi benar-benar ditanamkan? Atau kita hanya dituntut untuk menjadi moderat saat dewasa, sementara saat menempuh pendidikan selama sekian tahun kita ditempa untuk bersikap eksklusif?
Sebagai pribadi yang pernah mengenyam pendidikan keagamaan saya merasakan, pendidikan moderasi, toleransi masih diajarkan setengah hati. Hal ini nampak dari pelajaran peribadahan yang masih mendambakan hitam-putih, halal-haram, walaupun yang diajarkan adalah kitab perbandingan mazhab, toh kesimpulan akhirnya sang guru akan menunjukkan mana pendapat yang arjah (unggul) dan mana yang lemah. Dan, pada akhirnya kita harus bersikap eksklusif dan tidak terbuka terhadap perbedaan.
ADVERTISEMENT
Lagi, mata pelajaran muqaranah adyan (perbandingan agama) misalnya, yang dalam hal ini terdapat dua kitab yang menjadi referensi utama, yaitu: Al-Milal wa al-Nihal karya Al-Sahrastani, kemudian Al-Adyan karya Mahmud Yunus. Kedua kitab itu digembor-gemborkan menjadi bekal setiap santri agar kelak akan hidup di masyarakat dengan bersikap plural. Namun, Jika diperhatikan sekali lagi, dua kitab ini tetaplah mengunggulkan salah satu mazhab hingga salah satu agama.
Dalam kitab itu banyak diksi-diksi klasifikasi yang mengelompokkan ini sesat dan kafir dan ini benar dan dalam petunjuk hidayah. Jadi, cukupkah menjadi moderat dengan kedua kitab tersebut?
Pelajaran tentang toleransi serta menghormati umat berlainan agama malah saya dapatkan dari pendidikan kewarganegaraan yang dipatok menjadi pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan. Pada intinya, PKn mengajarkan kepada para siswanya untuk bertenggangrasa, dan toleransi dengan seluruh warga negara tanpa kecuali, bahkan dengan negara asing yang telah memperoleh legalitas untuk tinggal di negara kita.
ADVERTISEMENT
“Kalau begitu, bagaimana implementasi pendidikan berbasis moderasi dalam pendidikan Islam, jika selama ini pendidikan Islam lebih mengarah kepada nilai-nilai eksklusif?”
Kami pernah menerbitkan buku "Islam Moderat" sebuah bunga rampai yang kami tulis ramai-ramai, kesimpulan kami ada pada menjadi moderat tanpa harus membuat sebuah sekte baru. Bermoderasi tanpa harus menggagas sebuah ide baru yang merubah asas fundamental beragama. Bermoderat kami tuangkan dalam sebuah sikap, mengurai perpecahan untuk merangkul kebersamaan. Di antaranya ialah berendah hati.
Merendahkan hati tanpa menjadi tinggi hati ialah kunci menjadi moderat. Langkahnya dengan menganggap bahwa: hanya terdapat satu kebenaran di dunia ini dan itu hanya di tangan Tuhan, yang kita mengimaninya secara merdeka dalam hati masing-masing.
Dalam waktu yang sama, yang kita imani sebagai sebuah kebenaran hanyalah sebuah tafsir dari kebenaran Tuhan yang sudah mendapatkan campur tangan manusia (logos). Sebagai bukti bahwa dia sudah tercampuri tangan manusia ialah adanya simbol (symbol) yang menjadi gambaran sebuah kebenaran, serta ada mitos berupa tokoh yang menjadi idola sebuah tafsir kebenaran, di mana figur-figur itu tetap dipertahankan dalam rangka mempertahankan simbol tersebut.
ADVERTISEMENT
Setiap tafsir atas kebenaran tunggal milik Tuhan pasti akan melewati tiga hal di atas. Tafsir yang saya imani sekali pun tetap mempunyai ketiga hal di atas. Maka saya tidak bisa mengelak lagi, bahwasanya apa yang selama ini saya yakini hanyalah belief (kepercayaan) saja, bukan sebuah kebenaran tunggal (faith) yang dimiliki oleh Tuhan semata.
Dalam pendidikan semestinya rasa hanya belief-lah yang kita tanamkan dengan mengucapkan kata-kata semisal wallahu a’lam (hanya Allah yang tahu) atau “Bisa jadi pendapat saya benar bisa jadi salah,” bisa menjadi bekal para siswa untuk merendahkan hatinya dan mampu berlapang dada menerima segala perbedaan yang ada di masyarakat.
Bukan tidak mungkin, sebuah esai yang ditulis oleh Iqbal Daryono menceritakan pengalaman salah satu puterinya yang menempuh pendidikan dasar di Australia. Di dalam kelas puterinya sudah terbiasa mendengarkan keterangan dari seorang guru yang diiringi dengan kata-kata, “Ini bisa benar, bisa juga salah.”
ADVERTISEMENT
Kerendahan hati yang terefleksi ke dalam setiap pelajaran yang disampaikan kepada siswa ternyata berpengaruh kepada puteri Mas Iqbal (sapaan Iqbal Aji ). Terbukti saat kunjungannya beserta keluarganya ke sebuah museum binatang purba saat melihat fosil dinosaurus puterinya berkata, “Jadi bentuknya dinosaurus tuh seperti ini, Pak. Tapi it can be right, it can be wrong.”
Indah memang, akan tetapi, siapkah kita menganggap keyakinan kita sederajat dengan keyakinan yang lainnya? Tiba-tiba saya merasa ragu.